Oleh Asep Salahudin
Wakil Rektor Bidang Akademik IAILM Suryalaya;
Ketua
Lakpesdam Pimpinan Wilayah NU Jawa Barat
KEKUASAAN tabiatnya sering kali tidak
suka terhadap kritik, baik kekuasaan politik maupun keagamaan. Negara despotik
dan agama yang tertutup fundamentalistis, salah satunya ditandai dengan sikap
aparatusnya yang sigap membungkam segala potensi yang dianggap dapat merongrong
wibawa kuasanya. Pada suasana mencekam seperti ini, maka biasanya kritik
disalurkan dalam bentuk humor. Humor menjadi saluran strategis untuk
'mempertanyakan' segala bentuk kemapanan dan penyimpangan.
Humor ternyata
menjadi beririsan dengan hasrat keterbukaan. Demokrasi dan humor menguatkan
satu dan lainnya. Humor pada titik tertentu menjadi katalisator untuk
menurunkan ketegangan antarkelompok dan kaum yang berbeda. Di tangan seorang
humoris, tak ada yang rumit. Semua dijalani secara ringan.
Yang menarik justru
tatkala tokoh humoris menjadi penguasa, hal pertama yang akan kita saksikan
ialah bagaimana sang tokoh itu mengelola negara dengan jenaka, lewat cara-cara
yang bukan hanya menertawakan kekuasaan dan peristiwa di sekelilingnya, melainkan
juga mentertawakan dirinya.
Inilah yang dialami
pada fase ketika KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden keempat. Atau dalam
seloroh putri bungsunya, Inayah Wahid, "Gus Dur itu sesungguhnya adalah
komedian yang punya profesi sampingan sebagai presiden, kiai, budayawan, dan
penggerak sosial."
Atau dalam
perkataan Emha Ainun Najib, "Gus Dur dan Asmuni itu berasal dari desa yang
sama, Ndiwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Sebenarnya, Asmuni yang layak
menjadi ketua NU dan Gus Dur menjadi Srimulat."
Gus Dur juga yang
mengatakan perbedaan dirinya dengan presiden sebelumnya. Presiden pertama,
katanya, gila perempuan, presiden kedua gila harta, presiden ketiga gila
benaran.
"Dan presiden
keempat bikin rakyatnya gila semua..." Dalam sebuah acara di stasiun
televisi Jaya Suprana bertanya, "Apakah Gus Dur ini adalah presiden paling
kocak di dunia? Ada enggak presiden lain yang lebih lucu?" Jawab Gus Dur,
"Wah, soal itu saya gak tahu. Yang jelas saya ini nyasar. Mestinya jadi
pelawak kok malah jadi presiden." Pada momen lain, Gus Dur sendiri
berujar, "Pak Harto dulu presiden new order. Pak Habibie, presiden in
order, boleh juga out of order. Saya sendiri presiden no order."
Bahkan, pada sidang
Paripurna DPR 18 Nopember 1999, Presiden Gus Dur sempat mengolok-olok DPR,
menyamakan mereka dengan taman kanak-kanak (TK) yang membuat wakil rakyat itu
meradang. Namun, Gus Dur jalan terus dan terus menyampaikan komunikasi
berjubahkan lelucon, termasuk ketika melakukan lawatan ke berbagai negara.
Minimal melalui dua
tulisannya, yaitu Melawan melalui Lelucon (Tempo, 19 Desember 1981) dan kata
pengantar buku Mati Ketawa Cara Rusia (Pustaka Grafitipress, Maret 1986) kita
bisa menangkap asbabunnuzul sekaligus
pentingnya humor dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Mungkin
betul apa yang dibilang Bertold Brecht, "Hidup akan tersiksa di sebuah
negara yang tak karib dengan humor, tapi lebih nestapa hidup di sebuah negara
yang sangat menghajatkan humor."
Hari ini
Sayang sekali hari
ini tidak ada sosok tokoh masyarakat sipil dan politisi ulung model Gus Dur
yang selalu menciptakan jokes segar dalam melihat sengkarut kehidupan
berbangsa. Fakta sosial heterogen yang sering kali menciptakan ketegangan
diselesaikan lewat humor tanpa satu sama lain merasa tersakiti, tapi justru
tertawa mentertawakan kekurangan masing-masing.
Karena humor
sesungguhnya punya kemampuan langsung menembus palung keinsafan manusia yang
paling subtil; kesadaran nurani. Untuk menjadi manusia rohani, bukan sekadar
terampil menghidupkan ritualisme agama, melainkan juga menyalakan sensitivitas
humor. Supaya menjadi insan kamil, bukan instan kamil.
Maka itu, kalau
kita membuka khazanah kearifan perenial, para sufi (mistikus) selalu
menyampaikan pesan-pesan rohaniahnya tidak secara didaktik dan akademik, tapi
lewat senarai cerita jenaka, melalui narasi yang sarat dengan kisah penuh
perlambang yang bikin seseorang tertawa, mentertawakan dirinya. Yang paling
populer seperti diperkenalkan Nasruddin Hoja pada abad ke-13 atau Abu Nawas
dari Persia yang hidup sekitar 756-814 M.
Dalam telaah
sosiolog Peter L Berger, seperti dikutip Sindhunata dalam majalah Basis (2018)
bahwa sesunggguhnya agama tidak bisa mengelak untuk menerima tertawa sebagai
bagian dari dirinya. Tawa dan religiositas itu ialah 'saudara dalam roh'.
Bagaikan satu kesatuan dalam anatomi, fenomenologi tertawa mau tak mau harus
membimbing orang ke teologi tertawa. Tawa itu senantiasa ada dalam sejarah
manusia.
Bukan hanya pada
mulanya ialah sabda, melainkan juga pada awalnya ialah tawa. Asal-usul itu
ialah firman sekaligus lelucon. Tak ada kultur yang 'ada' dan bertahan lama
tanpa faktor tertawa. Kemampuan untuk menangkap sesuatu secara komikal ialah
universal sifatnya, maka komik atau tawa bukan hanya pengalaman biasa
sehari-hari, melainkan suatu elemen antropolgis yang konstan dan kontinual ada
dalam setiap masyarakat.
Humor bukan
melambangkan sisi dangkal komunikasi manusia, melainkan justru menjadi
modus eksistensial kehadiran manusia. Tawa menjadi saluran epifani ilahi
sekaligus talang transendensi. Tawa dapat mengungkap sisi terdalam rohani dan
halaman muka yang dapat mendefinisikan hakikat kemanusiaan kita. Bukankah
khitah kehadiran agama (dan negara) ialah dalam rangka meningkatkan kegembiraan
jemaah (dan warga), dan kegembiraan salah satuya diekspresikan dalam bentuk
tawa.
Mana mungkin
seorang rohaniwan dan kepala negara bisa bikin gembira umat dan rakyatnya kalau
dia sendiri murung, tak pernah gembira dengan dirinya, tidak pernah menampakkan
raut muka yang riang. Mustahil ahli agama dan pemimpin negara bisa bikin
jemaatnya senang, kalau dirinya pemarah.
Orang bisa bertahan
dengan perut lapar, tapi ketika stres menghinggapi, biasanya sering kali berujung
pada tindakan bunuh diri. Humor justru hadir agar orang bisa terbebas dari
kesumpekan hidup, bisa melejitkan daya nalarnya dan akhirnya hidup
berlama-lama. Hanya ada di NKRI sebuah tragedi masih berkelindan dengan komedi;
tentang bekas ketua DPR yang menabrak tiang listrik dan sekarang giliran pohon
Sengon yang menabrak elite PLN yang menjadi biang kerok listrik padam. Hanya
orang-orang NKRI dalam suasana duka di tanah para nabi masih sempat nyerobi doa
tanpa etika.
Merdeka itu tertawa
Bagi saya, Menuju
Indonesia unggul yang menjadi tema HUT ke-74 RI, salah satunya harus dibuktikan
dengan keseriusan negara memastikan kemampuannya bikin segenap warga bahagia.
Merdeka tidak sekadar bebas dari kolonialisasi Jepang dan Hindia Belanda, tapi
juga merdeka ialah rasa riang dalam berbangsa dengan merasakan keadilan yang
merata, pengakuan yang setara, serta keterwakilan dalam politik yang saling
memuliakan. Merdeka ialah rute
demokrasi menuju bahagia bersama. Selamat ulang tahun ke-74. Dirgahayu
Indonesia.
Sumber: Media Indonesia, 16 Agustus 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!