Staf Anggota DPR RI
PERISTIWA tragis Jl
Kalasan 10, Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus lalu, menyulut amarah sebagian
besar masyarakat, baik di Papua maupun Papua Barat. Papua menjadi seksi di mata
publik Tanah Air. Masyarakat tanah Melanesia itu seperti berselubung amarah. Merasa
tersinggung karena harkat dan martabatnya direndahkan dengan sarkastis: anjing,
babi, atau monyet. Gelombang demonstrasi sejumlah elemen mahasiswa dan
masyarakat terjadi sporadis tak hanya di beberapa kota di tanah Papua, tapi
juga kota-kota lain di Indonesia.
Peristiwa itu
bermula sehari sebelum peringatan HUT ke-74 RI pada 16 Agustus 2019. Asrama
mahasiswa Papua di Kalasan dikepung massa sejumlah ormas. Kehadiran massa itu
ditengarai dilatari adanya penistaan simbol negara yang diduga dilakukan mahasiswa
asal Papua. Akibatnya, asrama porak-poranda akibat aksi massa setelah baku
hantam massa dengan mahasiswa.
Lain Kalasan, lain
Rajabali. Sejumlah mahasiswa yang terhimpun dalam Aliansi Mahasiswa Papua
menggelar aksi damai di Balai Kota Malang pada 15 Agustus. Aksi tersebut,
demikian Wali Kota Sutiaji, mengecam penandatanganan New York Agreement antara Indonesia dan Belanda yang terjadi 15
Agustus 1962. Namun, aksi dihadang sekelompok warga di kawasan Rajabali yang
berbuntut bentrok.
Aksi di dua kota berbeda
itu memantik perhatian Presiden Jokowi. Paitua
(bapak tua, sapaan akrab dalam bahasa lokal Papua) Jokowi merasa iba kemudian
buang suara, angkat bicara. Melalui lini masa, paitua menyapa pace
(bapak) dan mace (ibu) serta basodara
(saudara dan saudari) di tanah Papua. Ia mengaku memahami mereka tersinggung.
Dari hati paitua buang suara. Sebagai saudara sebangsa dan se-Tanah Air, paling
baik ialah saling memaafkan. Emosi itu boleh, tetapi memaafkan itu lebih baik.
Demikian kata Jokowi. Apakah sebatas itu Jokowi buang suara?
Merebus batu
Perlakuan rasial
dan diskriminatif atas sebagian mahasiswa asal Papua ialah bukti nyata lemahnya
pemahaman sebagian anak bangsa atas negeri yang beraneka ragam suku, agama,
adat-istiadat, dan asal-usul yang berdiam di honai (rumah) besar bernama Indonesia.
Peristiwa Kalasan
dan Rajabali menunjukkan perjuangan warga Papua setara warga negara lainnya,
terutama hak-hak asasi manusia kerap menjelma jadi perilaku rasial dan
diskriminatif. Bagi mahasiswa asal Papua, mengharapkan keadilan dari negara,
mengutip tokoh Papua Thaha al Hamid, seperti 'merebus batu'. Kita semua anak
bangsa bisa memaklumi mengapa masyarakat Papua ganas (marah) setelah aksi rasial seperti di atas.
Dalam Heboh Papua (2010), Amiruddin al Rahab
menyebut perjuangan untuk meraih hak, khususnya hak asasi manusia di Papua
telah menjelma menjadi perjuangan politik. Ada dua faktor yang yang mendorong
gejala itu terjadi. Pertama, terlalu lamanya pemerintah mengabaikan rasa adil
di Papua sehingga persoalan kian bertumpuk. Kedua, Papua kian berjarak dengan
daerah lain akibat terlalu rendahnya solidaritas rakyat dan daerah lain
terhadap penderitaan orang Papua.
Jalinan dari kedua
faktor itu membuat rakyat di Papua seakan-akan belum menjadi bagian dari
Indonesia secara nyata. Bahkan dapat dikatakan, rakyat di Papua seakan-akan
dibiarkan berjuang sendirian untuk meraih hak konsitusional. Maka itu,
membicarakan pemenuhan hak asasi di Papua, berarti kita memeriksa keseriusan
pemangku kekuasaan di satu sisi dan di sisi lain melihat tingkat solidaritas
rakyat Indonesia dari daerah lain terhadap Papua.
Bahkan jauh
sebelumnya, dalam Otonomi Khusus Papua
telah Gagal (2012), Socratez Yoman mengingatkan agar perlu mengubah
kebijakan dan proses pembangunan yang selama ini diwarnai pendekatan keamanan (security approach) menjadi pendekatan
kemanusiaan dan kesejahteraan (humanity
and prosperity approach) yang berpijak pada kearifan lokal.
Kebijakan otonomi
khusus bagi Papua ialah solusi bijaksana, tepat, dan bermartabat. Karena itu,
dibutuhkan pemikiran jernih dan rasional untuk mengurai permasalahan krusial,
struktural, dan sistemis dalam pelaksanaan otonomi khusus (Otsus). Butuh
inovasi politik, bukan kebijakan politik yang usang, tapi dipaksakan. Dalam
kaitan dengan peristiwa Kalasan dan Rajabali yang membuat tak hanya heboh di
seluruh tanah Papua dan Indonesia, hemat saya paitua Jokowi perlu juga buang
suara lebih jauh agar masyarakat Papua merasa disapa sebagai sesama saudara
sebangsa dan se-Tanah Air yang hidup, yang menetap, di honai besar bernama
Indonesia. Apa saja langkah itu?
Menyapa rakyat
Publik tahu bahwa
Presiden Jokowi mengasihi masyarakat dan tanah Papua. Ia, misalnya, setia
memantau perkembangan terkini, terutama terkait dengan demonstrasi mahasiswa
dan masyarakat buntut peristiwa rasial Kalasan dan Rajabali. Bahkan, Presiden
Jokowi juga menyampaikan niat menyambangi Papua saat memantau tambak garam di
Kampung Nunkurus, Kupang Timur, NTT, pada 21 Agustus lalu. Mengapa kunjungan
itu penting, ada beberapa catatan.
Pertama, Jokowi
perlu ke Jayapura, kemudian bertemu langsung pemerintah dan seluruh elemen di
sana. Paitua cukup bawa badan kemudian buang suara, bicara dari hati ke hati
menyampaikan permohonan maaf secara langsung kepada masyarakat, termasuk
Gubernur Enembe dan jajarannya, DPRP dan Majelis Rakyat Papua sebagai
representasi kultural, pimpinan gereja lokal, tokoh masyarakat, pemuda, lembaga
adat, dan lain-lain.
Kedua, Papua ialah
pulau raksasa di timur Indonesia dengan kekayaan alam luar biasa besar. Ia tak
hanya menjadi sumber kehidupan dan keberlangsungan manusia di seantero jagat,
tapi juga salah satu penopang pundi-pundi ekonomi Indonesia dengan perusahaan
tambang raksasa, Freeport Indonesia. Karena itu, dalam memajukan Indonesia,
terutama tanah Papua, pemerintah dan masyarakat serta seluruh elemen harus
bahu-membahu ambil bagian dalam memajukan negeri. Masyarakat Papua mesti
sungguh dilibatkan. Tak hanya itu, Papua terdiri atas aneka ragam suku, bahasa,
dan adat-istiadat, yang mendiami gunung, lembah, bukit, ngarai, sungai, pantai,
dan setiap lekuk pulau besar itu.
Ketiga, orang Papua
ialah tipikal manusia yang sangat menjunjung tinggi keberagaman suku, agama, adat-istiadat,
ras, dan asal-usul di mana pun mereka berada. Niat Jokowi bertemu langsung
masyarakat boleh jadi sekaligus menyegarkan memori kehadiran Jokowi dan Ibu
Negara saat berada di Kampung Yoka, Papua, 5 Juni 2014. Bahwa antara Iriana,
istri paitua Jokowi, ada tali-temali kepapuaan, persaudaraan. Kata Jokowi,
Iriana diambil dari nama Irian. Kakek Iriana pernah mengajar di sana, lantas
saat lahir diberilah nama itu. "Namanya Iriana. Irian. Kenapa namanya
Iriana? Karena kakeknya dulu ialah guru di sini, Irian. Kemudian pulang saat
istri saya lahir, lalu ngasi nama cucunya Iriana. Iriana saja namanya,"
begitu kata Jokowi.
Lepas dari itu,
bila paitua Jokowi hadir di tengah
masyarakat mendengar langsung isi hati pace
deng mace dorang, niscaya mampu menghapus luka hati yang telanjur terkoyak
akibat peristiwa rasial seperti yang terjadi di Kalasan dan Rajabali.
Masyarakat Papua tentu merasa disapa sebagai sesama manusia dan warga bangsa
setara dengan saudara dan saudarinya di seluruh Indonesia. Dari sana, masyarakat
Papua juga akan menghormati setiap pemimpin sebagai pengayom, pelindung
masyarakat, dan masyarakat tetap merasa nyaman berada di mana pun di wilayah
kedaulatan negeri ini.
Hal itu juga
menjadi sumber kekuatan bagi pemerintah memaksimalkan potensi yang dimiliki
Papua untuk ikut memajukan Tanah Air dalam bingkai NKRI. Masyarakat tanah Papua
ialah tipikal manusia beradat, bukan masyarakat tak tahu adat. Momen pertemuan
ini tentu juga akan membahagiakan mereka. Bukan tidak mungkin paitua Jokowi
dianggap dan diangkat sebagai anak adat, dia yang punya tugas tambahan merawat
nilai-nilai adat, etika, tata krama, sopan santun warisan leluhurnya. Sambil
menunggu paitua Jokowi buang suara, terima kasih dalam dialek Papua pantas
disampaikan kepada paitua: wa... wa... wa...!
Sumber: Media Indonesia, 6
September 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!