Oleh Al Chaidar
Program Studi Antropologi
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh
MENTERI Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Jumat (6/9), mengatakan ada kelompok yang berafiliasi dengan ISIS yang menyerukan jihad di tanah Papua. Mabes Polri sendiri sudah mendeteksi keberadaan ISIS di tanah Papua sejak 2017, sudah mulai ada 2 tahun ke belakang.
Jaringan itu berencana melakukan pengeboman
di Polres Manokwari, tapi berhasil diamankan. Sel aktif ISIS ada di Jayapura,
Wamena, Fakfak, Manokwari, Merauke, dan juga di beberapa wilayah di mana
sel-selnya memang masih melakukan rekrutmen terhadap para pendatang yang
bekerja di sana dan belum ada penduduk asli yang berhasil diajak.
Jaringan ISIS yang ada di Papua memang sudah
dideteksi sekitar 2015, menyusul kejadian dibakarnya masjid di Tolikara (Sidney
Jones, 29 April 2019, IPAC Report No 56).
Beberapa sel aktif dari Solo mulai
mengirimkan kombatan ke Papua. Pengiriman ini terus terjadi meski sudah
terdeteksi sejak dua tahun lalu dan kelompok ISIS baru mulai aktif bergerak
dalam setahun terakhir. Kelompok MIT (Mujahidin Indonesia Timur) pimpinan
Santoso dan Ali Kalora juga pernah mendapat sokongan dana dari sel tidur ISIS
di Papua.
Migrasi teroris
Kelompok teroris di Papua semuanya ialah
kelompok luar yang bermigrasi dari Maluku (2000) seusai konflik agama di sana.
Kelompok JI (Jamaah Islamiyah) dan kemudian bermetamorfosis ke JAT (Jamaah
Ansharu Syariah) melebarkan sayap ke Papua karena dilarang kembali ke Jawa
untuk menghindari penangkapan.
Migrasi teroris pada 2010 juga menyasar Papua
sebagai tempat persembunyian aman (qoidah
aminah) yang kemudian diketahui turut didukung jaringan JI yang telah lebih
dulu mendiami tanah Kasuari tersebut.
Polisi juga mengendus jika kelompok jaringan
teroris ISIS di Papua sempat merencanakan aksi pengemboman di Polres Manokwari
pada 2016. Pelaku yang sudah merencanakan dan mempersiapkan serangan itu
kemudian berhasil diamankan polisi. Namun, jaringannya tidak dapat ditelusuri
karena kendala luasnya wilayah Papua yang terdiri atas tiga provinsi ini.
Kelompok Abu Gar dari Ternate, dan kelompok Syahir dari Kalimantan Timur serta
Kelompok Arridho dari Sulawesi Selatan mengirimkan banyak anggotanya dan
kemudian merekrut sejumlah anggota lainnya di sana.
Rencana pengeboman terungkap kembali pada
2018 dan menunjukkan bahwa mereka terpisah dari jaringan yang bermigrasi pada
2000 dan 2010. Jaringan teroris yang berafiliasi ke ISIS mengembangkan sayap
militernya dan terpisah dari jaringan teroris yang berafiliasi dengan Al Qaeda.
Kemudian, berdasarkan hasil pengumpulan
informasi intelijen polisi, keberadaan sleeping
cells (sel tidur) ISIS diduga telah menyebar ke berbagai wilayah utama di
Papua: Jayapura, Wamena, Fakfak, Manokwari, Merauke.
Terakhir, berdasarkan analisis netnografi,
ditemukan juga ada sel sangat aktif di Sorong. Mereka masih mencoba merekrut
para pekerja untuk bergabung dengan kelompok tersebut. Para pekerja ini
terhubung dengan jaringan internet dan aktif menggunakan media sosial untuk
menyebarkan ideologi perlawanannya.
Haluan ideologis
Kendati sudah terdapat gerakan separatis OPM
(Organisasi Papua Merdeka), mereka tidak pernah melakukan kontak atau
berhubungan, apalagi bekerja sama dengan OPM. Meskipun sama-sama berstatus
sebagai teroris tamkin (Chaidar, 2017) yang organik dan bersifat teritorial,
sel-sel aktif ISIS di Papua tidak pernah berencana menjalin komunikasi, seperti
di Mindanao, Filipina Selatan. Orang-orang Papua pun tak menyangka akan berhadapan
dengan jaringan ISIS di tanah yang tengah mereka bebaskan.
Keberadaan sel aktif ISIS di Papua terjadi
karena –dalam perspektif Asef Bayat (2015)– adanya imagined solidarity (solidaritas yang terbayangkan) atas pembakaran
masjid di Tolikara. Mereka berangkat dari berbagai wilayah (Jawa, Kaltim,
Sulawesi, Ternate) untuk melakukan aksi pembalasan sebagai wujud solidaritas
atas kemalangan yang dialami saudaranya di wilayah lain.
Polisi memperkirakan, ISIS di Papua berbeda
haluan dengan kelompok separatis di Papua. ISIS tersebut memiliki jaringan
dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Indonesia. Polisi masih jadi sasaran
utama jaringan teror di Indonesia sebab aparat masih terus mengejar mereka.
Polisi pernah menangkap sel ISIS di Papua dan Papua Barat pada 2018, tapi
karena kurangnya bukti, jaringan mereka tak bisa terpetakan secara
komprehensif.
Sumber:
Media Indonesia, 26 September 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!