Headlines News :
Home » » Terbang Tinggi Bersama Habibie

Terbang Tinggi Bersama Habibie

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, September 12, 2019 | 6:28 PM

Oleh Reza Indragiri Amriel
Mantan Ketua Delegasi Indonesia
Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia

SEWAKTU kekuasaan Presiden Soeharto masih kuat, datukku--Maaz namanya--sudah membuat ramalan bahwa kelak akan ada satu nama yang menjadi presiden Indonesia berikutnya.

"Habibie. BJ Habibie," sebut Datuk Maaz di bangku ruang tamu rumah panggung kami. Kenapa nama Bacharuddin Jusuf Habibie yang ia sebut belakangan baru saya paham penyebabnya. Ramalan itu tak ubahnya harapan. Harapan datukku ialah laksana pantulan dirinya sendiri, yaitu dua sisi pada satu orang.

Seperti halnya Habibie, datukku pun orang pintar. Rapor datukku yang dipenuhi angka-angka mengagumkan. Saking pintarnya, ia berkisah bisa melalui kelas tertentu hanya dalam waktu satu tahun, ketika para pelajar lainnya di tingkatan yang sama harus menempuh masa dua tahun.

Datukku juga mahir berpidato. Namun, ketika kutanya mengapa ia tidak meneruskan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, betapa pun kesempatan itu ada, jawabnya, "Emak (ibunya datukku) melarang. Takut anaknya jadi kafir."

Kafir, pada masa itu, bersinonim dengan penjajah Belanda. Di dalam kata 'kafir' terkandung serbaaneka kedurhakaan tabiat manusia. Itulah sumber kerisauan orang-orang dulu; biar pun pintar dan bersekolah tinggi, tapi itu tak ada gunanya apabila kepribadian rusak binasa.

Terlihat betapa kuatnya pengaruh sosok ibu. Walau dengan arah yang berbeda, kedahsyatan peran ibu pula yang menentukan lurus bengkoknya perjalanan hidup Habibie. Tuti Marini Puspowardojo ialah sosok yang punya tekad berkobar-kobar untuk menyekolahkan anak-anaknya, termasuk Habibie, setinggi-tingginya dengan jerih payahnya.

Hebatnya, bak layang-layang berbenang kukuh, walau terbang jauh menuntut ilmu, Habibie tetap kembali ke tempat ibu pertiwi menunggu. Ayahku punya kiasan tersendiri untuk menggambarkan kepintaran Habibie. "Dia seperti tak bisa berhenti bicara ketika kesempatan itu tiba."

Pemandangan itu senyatanya bisa disaksikan dalam sekian banyak tayangan wawancara Habibie di TVRI pada era 1980-an. Pewawancara seperti kepayahan saat berhadapan dengan tamunya yang satu itu. Seakan-akan lebih sulit bagi si pewawancara untuk menyetop Habibie berbicara ketimbang saat mengerahkan isi kepala guna merumuskan pertanyaan bermutu yang akan diajukan kepada narasumbernya.

Bola mata Habibie seperti bola dunia. Begitu kedua mata itu membelalak, berjuta-juta halaman ensiklopedia pun seketika terbuka. Isi buku pintar itu seolah-olah ingin Habibie bentangkan sebanyak-banyaknya, ceritakan setuntas-tuntasnya, agar lawan bicaranya juga ikut melanglang buana dari ujung ke ujung jagat ilmu pengetahuan.

Namun, sekali lagi, kepintaran bukanlah segala-galanya. Ada satu warna lagi yang melekat pada datukku dan juga menjadi aura Habibie. Mereka dekat pada agama. Ritual ibadah mewujud ke dalam perilaku keseharian yang sangat tenang sekaligus teguh di jalan lurus. Seumur-umur hanya sekali datukku murka, yaitu ketika mendapati seseorang dalam keadaan mabuk akibat menenggak minuman keras.

Habibie pun, sebagaimana kubaca biografinya dan kusimak berbagai cerita lisan dari orang-orang yang dekat dengannya, menautkan hatinya pada agama. Ini, jelas, sosok yang menghasilkan citra bening bak kristal. Pasalnya, ketika tak sedikit orang pintar dan berpendidikan tinggi malah menyekulerkan, bahkan mengateiskan dirinya. Habibie justru tampil ke depan sebagai sosok modern, progresif revolusioner, tanpa menjadi berjarak dengan agama.

Habibie memang bukan nabi. Namun, kehadirannya sebagai seorang tokoh di Tanah Air dengan membawa sekaligus kepintaran dan kedekatannya pada agama, punya pengaruh sangat nyata. Habibie-lah faktor yang melumerkan inferiority complex-ku. Dahulu kala, sedikit-banyak ada perasaan minder untuk menyapa orang yang kujumpai dengan salam, apalagi di tempat umum. Ada gumpalan yang seketika muncul di hati dan itu seolah-olah berarti kuno bahkan terbelakang, saban kali ingin kuucapkan salam. Namun berkat Habibie, lidah, hati, dan lambaian tanganku sanggam berkata, "Asalamualaikum."

Karena itulah, aku dan pasti juga banyak orang, merasa kehilangan, masygul, ketika Habibie tak berkeinginan menjadi Presiden Indonesia, setelah MPR RI menolak pidato pertanggungjawabannya. Kiprah Habibie yang tetap nyata di dunia iptek, kesetiaannya pada cita-cita mengembangkan dirgantara di Nusantara, serta kehebatannya bersama istri tercinta--Ainun--mendidik anak-anak hingga menjadi penerusnya, ialah bukti tak terbantahkan bahwa lengser keprabon bukanlah kehancuran.

Habibie, lagi-lagi, menjadi gambaran yang sangat kontras jika dibandingkan dengan sejumlah tokoh lain yang pascaturun dari singgasana kekuasaan. Tak sedikit yang langsung menjadi sinis dalam berkata-kata, angkuh, dan malah kekanak-kanakan tatkala berhadapan dengan rival-rivalnya.

Sudah sekitar dua dasawarsa Habibie tak lagi berada di lingkaran penentu kebijakan. Sebuah obrolan kecil dengan seorang petinggi maskapai penerbangan swasta patutlah didengar.

Pertanyaan kepada petinggi tersebut, mengapa perusahaannya sampai harus membeli beratus-ratus burung besi dari luar negeri. Ada ribuan tenaga kerja yang terserap akibat pesanan maskapai tersebut. Juga tak mungkin dinihilkan, jutaan dolar menggelinding kencang ke rekening bank milik pabrik-pabrik pesawat di negara-negara asing tersebut.

Sang petinggi maskapai itu menjawab dengan napas berat, "Andai impian dirgantara Pak Habibie puluhan tahun silam dilanjutkan hingga sekarang, kami tidak perlu mencari pesawat sampai ke mana-mana."

Kritik-kritik pedas yang dulu bertubi-tubi ditimpakan ke Habibie dan visi dirgantaranya, kini membuat kita gigit jari. Kepintaran Habibie yang dulu dilecehkan sebagian kalangan, membuat industri pembuatan pesawat kita mengalami stall. Selamat jalan Pak Habibie, berkah Allah SWT untukmu. 
Sumber: Media Indonesia, 12 September 2019
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger