Oleh Reza Indragiri Amriel
Mantan Ketua Delegasi Indonesia
Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia
SEWAKTU kekuasaan Presiden
Soeharto masih kuat, datukku--Maaz namanya--sudah membuat ramalan bahwa kelak
akan ada satu nama yang menjadi presiden Indonesia berikutnya.
"Habibie. BJ
Habibie," sebut Datuk Maaz di bangku ruang tamu rumah panggung kami.
Kenapa nama Bacharuddin Jusuf Habibie yang ia sebut belakangan baru saya paham
penyebabnya. Ramalan itu tak ubahnya harapan. Harapan datukku ialah laksana pantulan
dirinya sendiri, yaitu dua sisi pada satu orang.
Seperti halnya
Habibie, datukku pun orang pintar. Rapor datukku yang dipenuhi angka-angka
mengagumkan. Saking pintarnya, ia berkisah bisa melalui kelas tertentu hanya
dalam waktu satu tahun, ketika para pelajar lainnya di tingkatan yang sama
harus menempuh masa dua tahun.
Datukku juga mahir
berpidato. Namun, ketika kutanya mengapa ia tidak meneruskan studinya ke
jenjang yang lebih tinggi, betapa pun kesempatan itu ada, jawabnya, "Emak
(ibunya datukku) melarang. Takut anaknya jadi kafir."
Kafir, pada masa
itu, bersinonim dengan penjajah Belanda. Di dalam kata 'kafir' terkandung
serbaaneka kedurhakaan tabiat manusia. Itulah sumber kerisauan orang-orang
dulu; biar pun pintar dan bersekolah tinggi, tapi itu tak ada gunanya apabila
kepribadian rusak binasa.
Terlihat betapa
kuatnya pengaruh sosok ibu. Walau dengan arah yang berbeda, kedahsyatan peran
ibu pula yang menentukan lurus bengkoknya perjalanan hidup Habibie. Tuti Marini
Puspowardojo ialah sosok yang punya tekad berkobar-kobar untuk menyekolahkan
anak-anaknya, termasuk Habibie, setinggi-tingginya dengan jerih payahnya.
Hebatnya, bak
layang-layang berbenang kukuh, walau terbang jauh menuntut ilmu, Habibie tetap
kembali ke tempat ibu pertiwi menunggu. Ayahku punya kiasan tersendiri untuk menggambarkan
kepintaran Habibie. "Dia seperti tak bisa berhenti bicara ketika
kesempatan itu tiba."
Pemandangan itu
senyatanya bisa disaksikan dalam sekian banyak tayangan wawancara Habibie di
TVRI pada era 1980-an. Pewawancara seperti kepayahan saat berhadapan dengan
tamunya yang satu itu. Seakan-akan lebih sulit bagi si pewawancara untuk
menyetop Habibie berbicara ketimbang saat mengerahkan isi kepala guna
merumuskan pertanyaan bermutu yang akan diajukan kepada narasumbernya.
Bola mata Habibie
seperti bola dunia. Begitu kedua mata itu membelalak, berjuta-juta halaman
ensiklopedia pun seketika terbuka. Isi buku pintar itu seolah-olah ingin
Habibie bentangkan sebanyak-banyaknya, ceritakan setuntas-tuntasnya, agar lawan
bicaranya juga ikut melanglang buana dari ujung ke ujung jagat ilmu
pengetahuan.
Namun, sekali lagi,
kepintaran bukanlah segala-galanya. Ada satu warna lagi yang melekat pada
datukku dan juga menjadi aura Habibie. Mereka dekat pada agama. Ritual ibadah
mewujud ke dalam perilaku keseharian yang sangat tenang sekaligus teguh di
jalan lurus. Seumur-umur hanya sekali datukku murka, yaitu ketika mendapati
seseorang dalam keadaan mabuk akibat menenggak minuman keras.
Habibie pun,
sebagaimana kubaca biografinya dan kusimak berbagai cerita lisan dari
orang-orang yang dekat dengannya, menautkan hatinya pada agama. Ini, jelas,
sosok yang menghasilkan citra bening bak kristal. Pasalnya, ketika tak sedikit
orang pintar dan berpendidikan tinggi malah menyekulerkan, bahkan mengateiskan
dirinya. Habibie justru tampil ke depan sebagai sosok modern, progresif
revolusioner, tanpa menjadi berjarak dengan agama.
Habibie memang
bukan nabi. Namun, kehadirannya sebagai seorang tokoh di Tanah Air dengan
membawa sekaligus kepintaran dan kedekatannya pada agama, punya pengaruh sangat
nyata. Habibie-lah faktor yang melumerkan inferiority complex-ku. Dahulu kala,
sedikit-banyak ada perasaan minder untuk menyapa orang yang kujumpai dengan
salam, apalagi di tempat umum. Ada gumpalan yang seketika muncul di hati dan
itu seolah-olah berarti kuno bahkan terbelakang, saban kali ingin kuucapkan
salam. Namun berkat Habibie, lidah, hati, dan lambaian tanganku sanggam
berkata, "Asalamualaikum."
Karena itulah, aku
dan pasti juga banyak orang, merasa kehilangan, masygul, ketika Habibie tak
berkeinginan menjadi Presiden Indonesia, setelah MPR RI menolak pidato
pertanggungjawabannya. Kiprah Habibie yang tetap nyata di dunia iptek,
kesetiaannya pada cita-cita mengembangkan dirgantara di Nusantara, serta
kehebatannya bersama istri tercinta--Ainun--mendidik anak-anak hingga menjadi
penerusnya, ialah bukti tak terbantahkan bahwa lengser keprabon bukanlah
kehancuran.
Habibie, lagi-lagi,
menjadi gambaran yang sangat kontras jika dibandingkan dengan sejumlah tokoh
lain yang pascaturun dari singgasana kekuasaan. Tak sedikit yang langsung
menjadi sinis dalam berkata-kata, angkuh, dan malah kekanak-kanakan tatkala
berhadapan dengan rival-rivalnya.
Sudah sekitar dua
dasawarsa Habibie tak lagi berada di lingkaran penentu kebijakan. Sebuah
obrolan kecil dengan seorang petinggi maskapai penerbangan swasta patutlah
didengar.
Pertanyaan kepada
petinggi tersebut, mengapa perusahaannya sampai harus membeli beratus-ratus
burung besi dari luar negeri. Ada ribuan tenaga kerja yang terserap akibat
pesanan maskapai tersebut. Juga tak mungkin dinihilkan, jutaan dolar
menggelinding kencang ke rekening bank milik pabrik-pabrik pesawat di
negara-negara asing tersebut.
Sang petinggi
maskapai itu menjawab dengan napas berat, "Andai impian dirgantara Pak
Habibie puluhan tahun silam dilanjutkan hingga sekarang, kami tidak perlu
mencari pesawat sampai ke mana-mana."
Kritik-kritik pedas
yang dulu bertubi-tubi ditimpakan ke Habibie dan visi dirgantaranya, kini
membuat kita gigit jari. Kepintaran Habibie yang dulu dilecehkan sebagian
kalangan, membuat industri pembuatan pesawat kita mengalami stall. Selamat
jalan Pak Habibie, berkah Allah SWT untukmu.
Sumber: Media Indonesia, 12
September 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!