Kehidupan keluarga yang getir saat masa kecil menyadarkanya tentang arti pendidikan. Orangtuanya menasehati, jika sukses kelak mereka bisa makan beras.
SUATU hari pada 2014 jelang senja waktu Abu Dhabi, Uni
Emirat Arab, telepon genggam Marianus Wilhelmus Lawe bergetar. Namun, Lawe –demikian
panggilan akrabnya– tak ambil pusing. Ia fokus memeriksa mesin sebelum berlayar
lagi. Telepon dari Australia itu ia abaikan. Disiplin kerja dengan perusahaan
asing sangat ketat. Faktor keamanan dan keselamatan adalah segala-galanya bagi pemilik
dan crew.
Menurut Lawe, bila isteri atau orangtua di Indonesia
hendak menelpon, biasanya mereka terlebih dulu menulis pesan singkat kepadanya.
Usai bekerja di ruang mesin, ia akan menghubungi mereka. “Mereka sudah tahu
kesibukan saya saat sudah berada di kamar mesin. Kalau sudah off biasanya baru saya telepon,” ujar Lawe,
Kepala Kamar Mesin (Chief Engineer) di
kapal-kapal Allianz Abu Dhabi yang dikontrak Adnoc, ’pertamina’ Abu Dhabi.
Setelah beberapa saat setelah waktu istirahat, Lawe
memeriksa telepon genggamnya. Ada notifikasi panggilan tak terjawab. Ia segera mengirim
pesan kepada pemilik nomor tersebut. Tak lama kemudian, telepon genggamnya
kembali bergetar. Penelepon dengan bahasa Inggris membutuhkan bantuannya
sebagai chief engineer berpengalaman.
Mereka meminta Lawe segera ke Australia. Ia menyanggupi.
Kehidupan pasangan suami-isteri Yohanes Barang Waruwahang dan Martha Kenuka Brewumaking terbilang pas-pasan. Hampir seluruh
kampung di lereng gunung Lewotolok, Ile Ape, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT)
selalu dilanda kekeringan tiap tahun. Tanaman pertanian seperti jagung, pisang,
umbi-umbian, kacang-kacangan langka menopang ekonomi keluarga.
“Setiap pagi
sebelum kami memulai aktivitas atau pergi ke sekolah, ibu mengajak kami semua
khusuk dalam doa. Ibu menasehati kami agar tekun belajar, bergaul baik dengan
banyak orang tanpa memandang asal usulnya maupun agamanya. Jaga kepercayaan
orang baik-baik. Kepercayaan itu tidak
datang dua kali. Kelak kalau kami sukses maka kami bisa makan beras (nasi) dari
keringat sendiri,” kenang pemegang Master
Marine ini.
Usai sekolah, Lawe membantu orangtuanya di kebun. Atau
mengambil air di sumur untuk memasak dan menyiram tanaman. Ia dan
teman-temannya juga mengisi waktu senggang untuk berenang atau memancing di
laut. Seruan TNI Angkatan Laut Indonesia yaitu jalesveva jayamahe atau di lautan kita jaya, sangat merasuki
masa kanak-kanaknya. Seruan heroik itu tak pernah ia sadari, kelak mengantarnya
menaklukkan samudera kemudian menginjakkan kaki di sejumlah negara seperti
Asia, Australia dan Afrika.
Tamat dari SD
Inpres Tokojaeng, Desa Lamawolo, Lawe meneruskan studinya di SMP Santo Pius Lewoleba. Namun, di kelas tiga ia pindah di SMP Ratu Damai Waibalun,
Larantuka, Flores Timur.
Kehidupan ekonomi keluarga yang pas-pasan, “memecut” Lawe mewujudkan
cita-citanya menjadi pelaut. Masalahnya, tak ada sekolah kelautan di wilayah
Flores yang ia tahu.
Lawa meminta restu orangtua untuk merealisasikan
impiannya. Pada 1996, ia bertolak ke Jakarta. Bermodal tekad, Lawe mengikuti seleksi.
Tak dinyana, ia diterima di Sekolah Menengah Pelayaran Jaya di Kelapa Gading,
Jakarta. Celakanya orangtua tidak mampu bayar uang kos dan biaya sekolah. Untuk
menambahl ketiadaan itu, ia menjual
minuman ringan di stasiun Tanah Abang. Lawe juga nyambi
jualan kaos dan poster rohani di Tanjung Priok.
Mental dan semangat juang tertanam kuat dalam diri Lawe.
Di Jakarta ia tumbuh menjadi pribadi pekerja keras. Dalam refleksi ia sadar
bahwa doa kedua orangtua mendapat berkat, ganjaran dari Tuhan. Bermodal sekolah
pelayaran, ia melanjutkan kuliah pada jurusan Manajeman Transportasi di
Universitas Trisakti Jakarta.
Usai kuliah berbagai tawaran kerja berdatangan pada 2009
dan mengantongi ijazah chief engineer,
banyak tawaran bekerja di kapal-kapal asing. Ia memutuskan menjadi chief enginer sebuah kapal berbendera
Australia. Semula, ia berlayar dari Tasmania ke Adelaide. Kemudian melanjutkan
pelayaran ke Singapura lewat Bali.
Sejak 2014, Lawe lebih sering berada di Abu Dhabi karena
memegang residence visa. Setiap tiga
bulan, ia cuti ke Indonesia dan berlibur bersama orangtua di Lamawolo. “Tuhan sungguh
baik dan selalu baik selamanya,” ujar Lawe.
Rasa syukur atas karya Agung Tuhan kepada keluarga selalu
disadari terutama sejak tinggal di Jakarta. Ia memahami bahwa Jakarta
menyuguhkan aneka godaan duniawi yang bisa membuat setiap orang lupa Tuhan.
Tak berlebihan, selama di Jakarta ia tak pernah lupa mengikuti Misa.
Bahkan saat masih
kuliah di Jakarta setiap
Jumad dan Sabtu, ia mengikuti kegiatan Legio Maria di Paroki Bonaventura Pulomas, Jakarta. Bahkan, saat ini di rumahnya ia sediakan kamar khusus
untuk berdoa bersama sang
isteri, Margaretha AP Gromang dan putrinya, Grace Wahang.
Ansel Deri
Sumber: HIDUP edisi 20 Oktober 2019
Ket foto:
Lawe saat bekerja di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (1)
Bersama isterinya,
Margaretha AP Gromang dan putrinya, Grace
Wahang (2).
Usai mengikuti
Misa Minggu di Gereja St Paulus Musaffah, Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (3). Foto-foto: Dok.
pribadi
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!