Oleh Frans Maniagasi
Pengamat Papua
PADA Senin (30/9),
Metro TV dalam program Editorial Media Indonesia yang berjudul Bersama Pulihkan
Harmoni Papua, saya diwawancarai lewat telepon sebagai narasumber tentang
bagaimana pendapat saya tentang topik editorial tersebut.
Seperti kita
ketahui, peristiwa Wamena pada 23 September 2019 merupakan rentetan kejadian
yang terjadi sebelumnya di beberapa kota di Papua, mulai Manokwari, Sorong,
Fakfak, Jayapura (19-21 September 2019) sebagai reaksi terhadap ujaran
kebencian bernada rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jumat (16/8).
Kejadian ujaran
kebencian rasialisme itu tanpa disadari telah menimbulkan reaksi meluas
sehingga eskalasinya tak terbendung. Di luar dugaan, ujaran rasial itu kemudian
berkolaborasi dengan masalah Papua seperti ‘bara’ yang memperoleh momentumnya.
Bara permasalahan
Papua yang diakibatkan soal kesejarahan penyatuan Papua dengan negara RI, yang
masih saja dipersoalkan sebagian masyarakat Papua, hingga soal ketidakadilan,
masalah HAM, ketimpangan, dan jurang kesenjangan sosial. Lalu, soal ekonomi dan
budaya antara orang asli Papua dan masyarakat pendatang seakan-akan memperoleh
momentumnya.
Ledakan emosi dan
kemarahan masyarakat Papua di Wamena itu telah menimbulkan kerusakan fisik dan
psikis. Bahkan, disertai eksodus besar-besaran masyarakat Wamena keluar Papua
selain di dalam Papua, terutama di Jayapura, Timika, dan Merauke.
Ekses dari kejadian
ini bukan saja menimbulkan trauma kepada masyarakat pendatang, melainkan juga
terhadap orang asli Papua yang sudah mengalami trauma berkepanjangan sejak
wilayah ini menyatu dengan negara RI.
Oleh karena itu,
pemulihan Papua bukan saja mencakup soal keamanan dan kenyamanan maupun
ketertiban, melainkan juga mencakup dialog yang konstruktif untuk penyelesaian
bara permasalahan Papua yang menghambat proses kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Pemulihan keamanan
dan ketertiban pascakasus Wamena menjadi prioritas jangka pendek. Namun,
tuntutan dialog yang konstruktif guna penyelesaian soal Papua untuk jangka
panjang sangat mendesak menjadi agenda yang tak bisa dikesampingkan.
Dengan kata lain,
pemulihan keamanan dan ketertiban Papua akibat ujaran kebencian yang bernada
rasialisme telah menimbulkan ekskalasi konflik yang luas merupakan premis
minor. Sebaliknya, pemulihan menuju penyelesaian bara persoalan Papua selama 56
tahun Papua menyatu dengan RI sebagai premis mayor mesti dituntaskan
penyelesaiannya. Itu karena hal ini menyangkut eksistensi dan keberlanjutan
NKRI.
Upaya terpadu untuk
menyelesaikan masalah Papua harus melibatkan semua pihak. Menata ulang lanskap
masalah Papua merupakan keharusan. Itu karena kasus ujaran kebencian bernada
rasialisme telah menjadi amunisi yang menyatukan mereka sehingga menunjukkan
solidaritas dan soliditas orang Papua.
Dari perspektif
antropologi, meskipun orang asli Papua terdiri atas 250 lebih suku bangsa
dengan bahasa daerah dan budaya yang berbeda-beda, tapi ada nilai-nilai
kesamaan yang menyatukan mereka. Kesamaan itu yang kita temui tatkala mereka
menghadapi ujaran kebencian rasialisme.
Namun, di sinilah
kegagalan kita memahami orang Papua. Narasi yang kita kembangkan berdasarkan
pengalaman kita terhadap mereka bukan berdasarkan pengalaman orang Papua,
melainkan justru imajinasi dan pengalaman kita.
Karena kita gagal
paham, dengan serta-merta secara sumir kita berpendapat bahwa eksodus
besar-besaran dari Wamena hendak digiring pada logika mempertentangkan adanya
perbedaan antara orang Papua versus pendatang.
Sama halnya isu
rasialisme dibelokkan pada soal referendum. Dengan pembelokan isu menjadi justifikasi terhadap
pengalaman dan imajinasi kita, sedangkan kita mengabaikan imajinasi dan
pengalaman orang Papua.
Dominasi imajinasi
dan pengalaman itu mengakibatkan kita luput dalam melihat permasalahan yang
timbul di Wamena. Tidak saja karena rasialisme, tapi juga bahwa ada pihak lain
yang menunggani insiden Wamena sebagai sasaran antara untuk menutupi bahwa di
belakang isu rasial terjadi perang proxy. Maka itu, konflik dan kekerasan pun
tetap langgeng dipertahankan di Papua.
Dengan latar ini,
pertanyaannya ialah bagaimana pemulihan di Papua mesti dilakukan. Pemulihan
yang dilakukan ialah meletakkan imajinasi dan pengalaman orang Papua tentang
dirinya sehingga bagaimana peranan dan fungsi Papua dalam keindonesiaan.
Artinya, selama ini kita menuntut bahwa Papua mengikuti kita, tapi kita tidak
pernah mau mengikuti Papua. Akibatnya, kekerasan dan diskriminasi terus
dilestarikan.
Maka dari itu,
dialog yang konstruktif dengan masyarakat Papua perlu diintensifkan untuk
menyelesaikan bara permasalahan yang sudah bertahun-tahun tidak pernah tuntas.
Dialog yang
konstruktif ialah mengubah diri kita menjadi Papua sehingga kita dapat memahami
keinginan dan aspirasi mereka. Dengan dialog itu, menjadikan Papua dalam
keindonesiaan dan sebaliknya sehingga terjadi saling pengertian dan pemahaman
dengan mengemban narasi-narasi positif untuk Papua.
Terkait dengan hal
itu, pemerintah perlu mengintensifkan pendekatan berbasis kemanusiaan.
Pendekatan berbasis kemanusiaan dimulai dengan komunikasi yang konstruktif
untuk membangun sikap saling percaya dan memahami antara pemerintah dan
stakeholders terkait dan strategis.
Dialog kemanusiaan
dapat dilakukan dengan tiga pendekatan. Tiga pendekatan itu ialah reflektif
mengevaluasi apa saja yang telah kita lakukan terhadap Papua. Kemudian
korektif, memeriksa apa saja kesalahan dan kekeliruan yang selama ini telah
kita lakukan di Papua. Yang terakhir ada rekonstruksi apa yang kita hendak lakukan
terhadap Papua menuju pemulihan Papua sekaligus pemulihan Indonesia.
Sumber:
Media Indonesia, 8 Oktober 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!