Headlines News :
Home » » Emilia Ose Pukan, Akhir Ziarah Pengrajin Tenun Lokal NTT

Emilia Ose Pukan, Akhir Ziarah Pengrajin Tenun Lokal NTT

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, November 06, 2019 | 9:19 PM

IBU Emilia Ose Pukan. Ema Tenga atau Mama Emi, sapaan akrab kerabat atau koleganya. Ia salah seorang pengrajin tenun ikat lokal. Aktivitasnya memuliakan tenun lokal di desanya ia lakukan berpuluh tahun. Putri semata wayangnya, Yohana, juga mewarisi semangat itu. Mereka dua penenun lokal. Keduanya juga bertani.

Pengrajin tenun ikat ibu-anak ini tinggal di dusun Kluang, Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Sang suami, Ignas Gelole Mudaj, juga dari dusun ini. Ignas kerap bolak balik ke tanah Jiran, Malaysia, untuk membantu ekonomi keluarga.

Saya biasa menyapanya dengan akrab, ala kampung: "Ema Tenga" atau "Tata". Sejak libur di kampung halaman, saya selalu menyempatkan diri ke rumahnya. Maklum masih kerabat dalam suku kami. Ia menikah dengan kaka Ignas, saudara dalam suku.

Selain berbagi cerita, hal menarik lain yaitu aktivitasnya menenun sarung, selendang dari bahan lokal dan pabrikan dengan sentuhan seni tinggi. Hasil karya ibu-anak ini selain untuk memenuhi permintaan pengunjung di wilayah Lembata dan pengunjung dari luar, juga untuk kebutuhan lokal terutama acara-acara perkawinan atau kebutuhan para biarawan atau biarawati asal kampung halaman yang tengah berlibur.

"Ibu-ibu di desa ini banyak yang setia menggeluti aktivitas tenun ikat. Setiap hari kami suka bertenu dan saling omong bagaimana mencari mode dan variasai warna dengan tetap berpijak pada motif lokal agar hasil kreasi kami mendapat tempat di hati calon pembeli. Tenun ikat kita ini warisan leluhur yang perlu dilestarikan dan dipertahankan agar tak hilang dengan hadirnya aneka kain tenun pabrikan dalam negeri maupun impor," kata Ibu Emi, pekan pertama Maret lalu, saat saya ngobrol di rumahnya.

Sang putri, Yohana, juga mewarisi semangat yang sama. Melalui proses belajar dari ibunya, Yohana, juga telaten dalam merancang motif dan bentuk tenun ikat agar punya daya tarik tersendiri bagi calon pembeli atau peminat. Bila sang bunda ibarat guru, Yohana tak lebih seperti murid yang setia menimba ilmu dan ketrampilan sang bunda.

"Saya membantu mama mulai dari memilih warna benang, memberikan sentuhan warna agar punya nilai artistik hingga memintal bersama-sama untuk mendapat tenun ikat yang siap menyapa calon pembeli. Kegiatan ini saya geluti sembari aktif ikut membantu memasak untuk Pastor Paroki Santu Joseph Boto," kata Yohana.

Jiwa kerja ibu Emi menggeluti aktivitas tenun ikat lokal, boleh jadi warisan ibu dan ayahnya. Ayah Ibu Emi, Karolus Kia Pukan (kami memanggal dengan Bapa Kepala Kia), adalah mantan Kepala Kampung Kluang sebelum kampung kami maju setingkat menjadi Desa Labalimut dan seterusnya mekar menjadi Desa Belabaja. Kepala Kia jugalah yang menjadi salah satu motor penggerak bersama kepala kampung/dusun Belabaja dan dusun Boto (Labalimut) berdirinya SMP Lamaholot Boto (kini SMP Negeri 2 Nagawutun).

Tak hanya dalam urusan aktivitas memuliakan tenun ikat. Ibu Emi dan ibu-ibu lainnya baik di Belabaja dan Labalimut juga concern di bidang seni tari lokal. Sejak Belabaja pisah dari induknya, geliat seni tari juga nampak dari semangat warga. Bahkan aktivitas seni tari juga nampak sejak Belabaja dipimpin Paulus Genere Pattyona, Alfons Perawin Pukan hingga Ferdinandus Perawin Mudaj.

Tatkala ada penyambutan rombongan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia di Dusun Boto, Desa Labalimut, ibu Emi bersama rekan-rekannya sesama warga dan aparat desa ambil bagian dalam prosesi penyambutan. Tarian lokal disertai sapaan adat disuguhkan untuk memanjakan mata tamu dari Jakarta dan Lewoleba, kota Kabupaten Lembata. Dua sekretaris desa, Belabaja dan Labalimut: Josef Enga Alior dan Tarsis Lako Ketoj langsung turun lapangan menyambut rombongan di jantung dusun Boto.

Meski memiliki perhatian mengembangkan tenun ikat warisan orangtua, Ibu Emi tetaplah seorang petani. Hidup-mati ekonomi ada di tangannya. Setiap hari, ia dan keluarga bolak balik kampung-kebun untuk menyiapkan lahan pertanian memasuki hujan bulan Oktober. Ger Fusu, Kasa, Ledar adalah sebagian lahan pertanian yang menjadi penopang ekonomi keluarga.

Semangat menggeluti dan mengembangkan tenun ikat adalah bagian tak terpisahkan dari para perempuan Nusa Tenggara Timur. Kalau di desa hingga kampung sekecil Kluang, geliat pengrajin terlihat maka di Provinsi Nusa Tenggara Timur, hal itu juga datang dari Ibu Julie Sutrisno Laiskodat, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTT.

Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTT Dr Ardu Jelamu Marius, M.Sc melalui laman Facebook Senin (4/10) melaporkan, Ibu Negara Ekuador Madame Rocio de Morino mengunjungi stan Indonesia dalam acara Pameran Tenun dan Kerajinan Rakyat seluruh Amerika Selatan kemudian menyaksikan dari dekat bagaimana ibu-ibu asal NTT menenun.

Isteri Duta Besar Republik Indonesia untuk Ekuador, Ibu Dienny melaporkan dari Cuenca Ekuador bagaimana isteri Presiden Ekuador menyatakan kekagumannya atas tenunan NTT yang pewarnaannya berasal dari akar-akar pohon dan memiliki mutu yang tinggi.

Bu Julie Sutrisno Laiskodat menjelaskan panjang lebar tentang tenunan khas NTT. Produk budaya ini begitu dikagumi di berbagai belahan dunia, kata Ibu Julie Laiskodat, tidak saja di Equador, Amerika Selatan tetapi juga di WTM London Inggris.

Lepas dari kisah di belahan benua Amerika, kita balik ke Kluang, Desa Belabaja, desa yang pernah disambangi Wakil Gubernur Josef A Nae Soi dan istrinya, Ibu Fransisca Maria Djogo. Senin 4 Oktober 2019, Ibu Emi, si pengrajin tenun ikat lokal ini juga bersama suami dan sang putri menuju kebunnya. Meski kerap capai usai kerja, ia selalu memancarkan wajah bahagia. Rejeki berupa padi, jagung, kacang, pisang, ubi dan sayur mayur menjadi hadia terindah alam ciptaan-Nya.

Menjelang matahari takluk di perut bumi, ia segera menunggu sang putri mengantar sebagian barang bawaan ke kampung dan segera kembali menjemputnya di kebun. Di saat menunggu anak semata wayangnya menjemputnya ke kampung, ia jatuh tak sadarkan diri.

"Saat itu ada mobil dump truck yang lewat di sekitarnya. Sopir dan kernek segera memboyong mama tengah tuk dibawa ke kampung. Mereka bawa ke Poliklinik tetapi setiba di dalam kamar klinik, ia sudah tak bernyawa lagi. Bisa saja kecapaian karena kelamaan duduk untuk menggeluti aktivitas menenun," ujar Fredy Mudaj, Kepala Desa Belabaja.

Ibu Emilia Ose Pukan, si pengrajin tenun lokal ini mengakhiri ziarah hidupnya di kebun. Ia menutup mata selamanya di tengah pesona alam lereng gunung Labalekan. Tuhan memanggilnya menjadi "penenun" doa dari rumah-Nya setelah Ibu Emi beranjak dari rumahnya di dusun Kluang. Selamat jalan, ema tenga, kakak kami terkasih. Doa kami untukmu. Tata Ignas dan ade Yohana, semoga tata & ina serta kerabat di kampung dihibur dengan teladan dan semangat ema tenga. 
Ansel Deri 
Mengenang Emilia Ose Pukan,
pengrajin tenun lokal NTT asal Desa Belabaja, Lembata yang berpulang pada 4 November 2019 (gbr 1). Emilia (kedua dari kiri) bersama para penari lokal saat menyambut para pengunjung di Desa Labalimut, Boto (gbr 2).
Sumber foto: Fb PukanTunggal Yohana Mudaj & screenshoot YouTube
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger