IBU Emilia Ose
Pukan. Ema Tenga atau Mama Emi, sapaan akrab kerabat atau koleganya. Ia salah
seorang pengrajin tenun ikat lokal. Aktivitasnya memuliakan tenun lokal di
desanya ia lakukan berpuluh tahun. Putri semata wayangnya, Yohana, juga
mewarisi semangat itu. Mereka dua penenun lokal. Keduanya juga bertani.
Pengrajin tenun
ikat ibu-anak ini tinggal di dusun Kluang, Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun,
Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Sang suami, Ignas Gelole Mudaj, juga
dari dusun ini. Ignas kerap bolak balik ke tanah Jiran, Malaysia, untuk
membantu ekonomi keluarga.
Saya biasa
menyapanya dengan akrab, ala kampung: "Ema Tenga" atau
"Tata". Sejak libur di kampung halaman, saya selalu menyempatkan diri
ke rumahnya. Maklum masih kerabat dalam suku kami. Ia menikah dengan kaka
Ignas, saudara dalam suku.
Selain berbagi
cerita, hal menarik lain yaitu aktivitasnya menenun sarung, selendang dari
bahan lokal dan pabrikan dengan sentuhan seni tinggi. Hasil karya ibu-anak ini
selain untuk memenuhi permintaan pengunjung di wilayah Lembata dan pengunjung
dari luar, juga untuk kebutuhan lokal terutama acara-acara perkawinan atau
kebutuhan para biarawan atau biarawati asal kampung halaman yang tengah
berlibur.
"Ibu-ibu di
desa ini banyak yang setia menggeluti aktivitas tenun ikat. Setiap hari kami
suka bertenu dan saling omong bagaimana mencari mode dan variasai warna dengan
tetap berpijak pada motif lokal agar hasil kreasi kami mendapat tempat di hati
calon pembeli. Tenun ikat kita ini warisan leluhur yang perlu dilestarikan dan
dipertahankan agar tak hilang dengan hadirnya aneka kain tenun pabrikan dalam
negeri maupun impor," kata Ibu Emi, pekan pertama Maret lalu, saat saya
ngobrol di rumahnya.
Sang putri, Yohana,
juga mewarisi semangat yang sama. Melalui proses belajar dari ibunya, Yohana,
juga telaten dalam merancang motif dan bentuk tenun ikat agar punya daya tarik
tersendiri bagi calon pembeli atau peminat. Bila sang bunda ibarat guru, Yohana
tak lebih seperti murid yang setia menimba ilmu dan ketrampilan sang bunda.
"Saya membantu
mama mulai dari memilih warna benang, memberikan sentuhan warna agar punya
nilai artistik hingga memintal bersama-sama untuk mendapat tenun ikat yang siap
menyapa calon pembeli. Kegiatan ini saya geluti sembari aktif ikut membantu
memasak untuk Pastor Paroki Santu Joseph Boto," kata Yohana.
Jiwa kerja ibu Emi
menggeluti aktivitas tenun ikat lokal, boleh jadi warisan ibu dan ayahnya. Ayah
Ibu Emi, Karolus Kia Pukan (kami memanggal dengan Bapa Kepala Kia), adalah
mantan Kepala Kampung Kluang sebelum kampung kami maju setingkat menjadi Desa
Labalimut dan seterusnya mekar menjadi Desa Belabaja. Kepala Kia jugalah yang
menjadi salah satu motor penggerak bersama kepala kampung/dusun Belabaja dan
dusun Boto (Labalimut) berdirinya SMP Lamaholot Boto (kini SMP Negeri 2
Nagawutun).
Tak hanya dalam
urusan aktivitas memuliakan tenun ikat. Ibu Emi dan ibu-ibu lainnya baik di
Belabaja dan Labalimut juga concern di bidang seni tari lokal. Sejak Belabaja
pisah dari induknya, geliat seni tari juga nampak dari semangat warga. Bahkan
aktivitas seni tari juga nampak sejak Belabaja dipimpin Paulus Genere Pattyona,
Alfons Perawin Pukan hingga Ferdinandus Perawin Mudaj.
Tatkala ada
penyambutan rombongan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik
Indonesia di Dusun Boto, Desa Labalimut, ibu Emi bersama rekan-rekannya sesama
warga dan aparat desa ambil bagian dalam prosesi penyambutan. Tarian lokal
disertai sapaan adat disuguhkan untuk memanjakan mata tamu dari Jakarta dan
Lewoleba, kota Kabupaten Lembata. Dua sekretaris desa, Belabaja dan Labalimut:
Josef Enga Alior dan Tarsis Lako Ketoj langsung turun lapangan menyambut
rombongan di jantung dusun Boto.
Meski memiliki
perhatian mengembangkan tenun ikat warisan orangtua, Ibu Emi tetaplah seorang
petani. Hidup-mati ekonomi ada di tangannya. Setiap hari, ia dan keluarga bolak
balik kampung-kebun untuk menyiapkan lahan pertanian memasuki hujan bulan
Oktober. Ger Fusu, Kasa, Ledar adalah sebagian lahan pertanian yang menjadi
penopang ekonomi keluarga.
Semangat menggeluti
dan mengembangkan tenun ikat adalah bagian tak terpisahkan dari para perempuan
Nusa Tenggara Timur. Kalau di desa hingga kampung sekecil Kluang, geliat
pengrajin terlihat maka di Provinsi Nusa Tenggara Timur, hal itu juga datang dari
Ibu Julie Sutrisno Laiskodat, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah
(Dekranasda) NTT.
Kepala Biro Humas
dan Protokol Setda NTT Dr Ardu Jelamu Marius, M.Sc melalui laman Facebook Senin
(4/10) melaporkan, Ibu Negara Ekuador Madame Rocio de Morino mengunjungi stan
Indonesia dalam acara Pameran Tenun dan Kerajinan Rakyat seluruh Amerika
Selatan kemudian menyaksikan dari dekat bagaimana ibu-ibu asal NTT menenun.
Isteri Duta Besar
Republik Indonesia untuk Ekuador, Ibu Dienny melaporkan dari Cuenca Ekuador bagaimana
isteri Presiden Ekuador menyatakan kekagumannya atas tenunan NTT yang
pewarnaannya berasal dari akar-akar pohon dan memiliki mutu yang tinggi.
Bu Julie Sutrisno
Laiskodat menjelaskan panjang lebar tentang tenunan khas NTT. Produk budaya ini
begitu dikagumi di berbagai belahan dunia, kata Ibu Julie Laiskodat, tidak saja
di Equador, Amerika Selatan tetapi juga di WTM London Inggris.
Lepas dari kisah di
belahan benua Amerika, kita balik ke Kluang, Desa Belabaja, desa yang pernah
disambangi Wakil Gubernur Josef A Nae Soi dan istrinya, Ibu Fransisca Maria
Djogo. Senin 4 Oktober 2019, Ibu Emi, si pengrajin tenun ikat lokal ini juga
bersama suami dan sang putri menuju kebunnya. Meski kerap capai usai kerja, ia
selalu memancarkan wajah bahagia. Rejeki berupa padi, jagung, kacang, pisang,
ubi dan sayur mayur menjadi hadia terindah alam ciptaan-Nya.
Menjelang matahari
takluk di perut bumi, ia segera menunggu sang putri mengantar sebagian barang
bawaan ke kampung dan segera kembali menjemputnya di kebun. Di saat menunggu
anak semata wayangnya menjemputnya ke kampung, ia jatuh tak sadarkan diri.
"Saat itu ada
mobil dump truck yang lewat di sekitarnya. Sopir dan kernek segera memboyong
mama tengah tuk dibawa ke kampung. Mereka bawa ke Poliklinik tetapi setiba di
dalam kamar klinik, ia sudah tak bernyawa lagi. Bisa saja kecapaian karena
kelamaan duduk untuk menggeluti aktivitas menenun," ujar Fredy Mudaj,
Kepala Desa Belabaja.
Ibu Emilia Ose
Pukan, si pengrajin tenun lokal ini mengakhiri ziarah hidupnya di kebun. Ia
menutup mata selamanya di tengah pesona alam lereng gunung Labalekan. Tuhan
memanggilnya menjadi "penenun" doa dari rumah-Nya setelah Ibu Emi
beranjak dari rumahnya di dusun Kluang. Selamat jalan, ema tenga, kakak kami
terkasih. Doa kami untukmu. Tata Ignas dan ade Yohana, semoga tata & ina
serta kerabat di kampung dihibur dengan teladan dan semangat ema tenga.
Ansel Deri
Mengenang Emilia Ose Pukan,
pengrajin tenun lokal NTT
asal Desa Belabaja, Lembata yang berpulang pada 4 November 2019 (gbr 1). Emilia (kedua dari kiri) bersama para penari lokal saat menyambut para pengunjung di Desa Labalimut, Boto (gbr 2).
Sumber foto: Fb
PukanTunggal Yohana Mudaj & screenshoot YouTube
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!