Oleh Fitriana
MS
Praktisi Komunikasi
KETUA Umum DPP Partai NasDem Surya Paloh telah bertemu
dengan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto sebelum menjabat Menteri
Pertahanan. Surya Paloh juga telah bersilaturahim dengan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).
Dan tidak tertutup
kemungkinan, Surya Paloh bertemu dengan Partai Amanat Nasional (PAN) dan juga
Partai Demokrat.
Sehingga, ada yang
mempertanyakan, kenapa Partai NasDem yang dikenal sebagai 'die harder' Presiden
Joko Widodo itu 'mendadak' demen main sama 'geng sebelah'? Bukankah Partai
NasDem sudah mendapat jatah tiga kursi di kabinet?
Maaf, saya gunakan
tanda kutip dalam kata mendadak. Itu karena dalam hemat saya, Surya Paloh
bukanlah politisi karbitan. Semua langkah Surya pasti sudah dihitung masak dan
matang.
Saya mungkin sok
yakin. Saya memang tidak kenal secara pribadi dengan Surya Paloh. Saya juga
mungkin tidak dikenal Surya Paloh. Tapi,
saya ingin mengatakan, tidak perlu saling kenal untuk bisa paham. Demikian pula
sebaliknya, buat apa saling kenal kalau tidak membuat saling paham?
Karena itu, izinkan
pandangan saya berikut dilihat sebagai pengamatan orang awam. Bukan orang
saling kenal yang biasanya penuh puja puji.
Dalam pengamatan
saya, Pemilu 2019 menjadi ajang kontestasi dengan suhu lumayan panas. Padahal
suhu panas rentan membuat pecah, putus, apapun yang ada di atasnya.
Dalam konteks
pemilu, saya meyakini banyak bagian dari
masyarakat terpecah. Kamu di sana, saya di sini. Kamu orangnya si 'itu' dan
saya orangnya si 'ini'.
Pandangan itu
memang sudah mencuat, jauh hari ketika mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok tersandung pasal penistaan agama. Mereka yang marah
kemudian berkumpul, bersatu, dan bergerak.
Mereka yang membela
Ahok pun tak kalah. Mereka juga berkumpul, bersatu, dan bergerak.
Puncaknya ada
Gerakan 212, dan ada juga Gerakan Seribu Lilin untuk Ahok. Seperti apapun
bentuk gerakan, tapi kedua sisi sama-sama bergerak.
Pemilu berlalu,
pandangan si 'itu' dan si 'ini' ternyata tidak menjadi reda. Sampai Presiden
terpilih diumumkan pun, si 'ini' dan si 'itu' masih berkubu-kubu. Salah bicara
sedikit, langsung aksi dan reaksi.
Kehidupan seperti
api dalam sekam, gelas beling yang fragile, atau tinggal menunggu waktu api
menyala ke permukaan dan gelasnya pecah.
Lalu, dalam kondisi
seperti itu, dalam hemat saya, sudah sepantasnya ada yang mengambil peran
menggandeng si 'ini' dan si 'itu'.
Siapa yang
sepantasnya turun tangan mendinginkan suasana? Semua pantas. Semua yang merasa
punya tanggung jawab soal sila ketiga Pancasila, pantas-pantas saja mengambil
peran itu. Jadi bukan soal nomor satu atau nomor dua. Tapi satu ditambah dua
sama dengan tiga alias persatuan Indonesia.
Apa segenting itu?
Memang kita tidak dalam situasi perang. Tetapi, mengutip Johan Galtung —ahli
studi perdamaian dari Norwegia— ada definisi lain dalam memaknai perdamaian
yaitu lewat konsep positive peace.
Galtung
mendefinisikan konsep ini sebagai "integrasi seluruh unsur peradaban
manusia". Dalam tataran ini, Galtung memandang perdamaian tidak hanya
sebatas menghilangkan kekerasan, tetapi juga mengubah relasi antarmanusia
sehingga setiap individu dapat memaksimalkan potensi dirinya tanpa mendapatkan
tekanan apa pun.
Surya Paloh
tampaknya paham tentang situasi ini. Apalagi dalam konteks Surya Paloh sebagai
salah satu 'raja media' dan kini menjadi pimpinan partai politik, Surya Paloh
punya kekuatan itu.
Surya pun seperti
'pasang badan' untuk konsep positive peace sebagaimana digagas Galtung.
Bagaimana tidak? Keputusannya bertemu Prabowo dan PKS bukan tidak mungkin
membawa implikasi dimaki, dicaci, bahkan ditinggal pendukungnya.
Tapi Surya Paloh
mengambil peran itu. Merangkul semua, berbicara dengan semua, bukan hanya
dengan yang satu suara. Tidak menjadi soal apakah 'saya' koalisi atau 'mereka' oposisi.
Semua 'kita'.
Komunikasi politik
ialah politik yang berkomunikasi. Bukan politik yang 'diam-diaman', bahkan
enggan bersalaman. Komunikasi politik berperan mencairkan suasana. Bukan
sekadar bagi-bagi kursi dengan sesama koalisi, melainkan juga "mengintegrasikan
seluruh komponen bangsa".
Sumber: Media Indonesia, 1 November 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!