Oleh Frans Maniagasi
Pengamat Masalah Papua
TIDAK menunggu lama
setelah dilantik pada Minggu (20/10), sebagai Presiden, Joko Widodo langsung
melakukan kunjungan perdana ke Papua dan Papua Barat. Kehadiran Presiden
disambut meriah oleh masyarakat Papua mulai Pegunungan Arfak, Kaimana, Wamena,
hingga Jayapura yang ditandai peresmian jembatan Youtefa di Jayapura, Senin
(28/10).
Kunjungan ini kita
apresiasi, selain menunjukkan komitmen kebangsaannya kepada masyarakat Papua,
terutama pula kemauannya untuk menyelesaikan soal Papua. Harapan kita, Jokowi
mampu dan sungguh-sungguh menyelesaikan soal Papua baik infrastruktur fisik,
nonfisik, maupun infrastruktur sosial sehingga Papua maju, bermartabat, dan
demokratis. Bagaimana semestinya Presiden Jokowi mengupayakan solusi masalah
Papua pada periode kedua?
Evaluasi otsus
Hal pertama yang
perlu saya sampaikan untuk menegasikan kemauan dan tekad Presiden Jokowi untuk
melakukan evaluasi total terhadap Otonomi Khusus (Otsus) Papua (UU No 21/2001)
mesti diapresiasi kemauan politik Presiden sehingga dibutuhkan perangkat kerja
untuk melakukan evaluasi terhadap otsus.
Sejauh ini evaluasi
yang dilakukan baik oleh Pusat maupun di Papua, hanya evaluasi tentang dana
otsus yang 2% setara DAU nasional. Sepengetahuan saya hanya ada dua kali
evaluasi yang dilakukan secara komperhensif oleh Universitas Cenderawasih pada
2003/2004, dan Kemendagri dengan Kemitraan (2007/2008). Yang terakhir ini
ditindaklanjuti dengan penerbitan berkala tentang hasil hasil kajiannya. Sejak
saat itu tidak ada lagi evaluasi yang menyeluruh.
Pada 2021 dana
otsus akan berakhir- bukan UU Otsus, penting ditekankan karena akhir-akhir ini
berkembang pemutarbalikan opini yang menyesatkan di kalangan rakyat Papua. UU
Otsus tetap berlaku selama dan sepanjang tanah Papua masih merupakan bagian
integral dari NKRI.
Evaluasi otsus
meliputi pertama, yuridis formal. Artinya, selama hampir 20 tahun (2021) sudah
18 tahun implementasi otsus kita perlu mengkaji pasal-pasal dari UU No 21/2001.
Pasal mana yang
sudah dilaksanakan, mana yang baru separuh terlaksana, dan pasal-pasal mana
yang belum sama sekali dilakukan. Misalnya, pasal 45, 46, dan 47 tentang HAM
dan pembentukan KKR hingga kini belum sama sekali dipenuhi. Dengan demikian,
kita dapat mengetahui dengan pasti sehingga jika hendak dilakukan revisi pun
pasal-pasal yang belum tersentuh itu tetap dipertahankan keberadaanya untuk
dilaksanakan.
Kedua, evaluasi
lapangan terhadap pelaksanaan otsus dengan mengkaji tiga sektor unggulan otsus,
yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, plus infrastruktur yang dibiayai
dari DTI (dana tambahan infrastruktur).
Dalam melakukan
evaluasi lapangan terhadap terhadap implementasi otsus, saya mengusulkan dua
hal, yaitu penunjukan satu tim independen oleh Presiden guna melakukan kajian
yang saksama apakah OAP sudah baik pendidikannya, kesehatan dan ekonominya.
Dari sini kita dapat mengetahui secara statistik apakah dana otsus telah
benar-benar digunakan tepat sasaran. Mungkin survei yang pernah dilakukan
kemitraan dapat dijadikan acuan.
Dari laporan survei
itu, tiga sektor ini belum mengangkat derajat peningkatan pendidikan,
kesehatan, dan ekonomi OAP. Padahal, DO setiap tahun mengalami peningkatan yang
signifikan. Berikut tim independen itu pun perlu membuat standar indikator yang
kelak dijadikan ukuran yang dapat dipedomani dalam evaluasi sektor sektor
prioritas. Yang terjadi selama ini menunjukkan adanya saling melempar kesalahan
antara Pusat dan Papua termasuk Papua Barat.
Pengalaman
menunjukkan bahwa selama ini adanya kecurigaan terutama Papua dari Pusat.
Sebaliknya, orang Papua pun curiga terhadap Jakarta. Jujur saja, pada 2001
tatkala draf UU Otsus dibahas Pansus DPR RI, tim asistensi dihadapkan kepada
kecurigaan dan ketakutan yang berlebihan terhadap rancangan undang undang ini
sehingga pendapat yang mengidentifikasi UU Otsus ialah UU separatisme.
Padahal, tim
asistensi yang membuat draf ini ialah anak anak bangsa yang berpikiran moderat,
dan mereka ialah sarjana-sarjana terbaik yang memperoleh pendidikan diberbagai
universitas di Indonesia, bahkan dari luar negeri. Mengapa saya perlu sampaikan
hal ini kalau para intelektual, akademisi, dan cerdik pandai dari Papua saja
dicurigai apalagi terhadap rakyatnya. Untuk itu, hakikat dari evaluasi terhadap
implementasi UU Otsus ditentukan sejauh mana ada trust antara Pusat dan Papua.
Tanpa trust, selama
itu, apa pun yang kita lakukan di Papua tidak akan banyak memberikan pengaruh
signifikan dalam national building keindonesiaan di tanah Papua. Maknanya trust
menjadi kata kunci untuk meletakkan basis peradaban dan relasi kemanusiaan
dengan pendekatan kultural. Itu seperti yang tergambar di balik kemegahan
jembatan Youtefa yang dibangun dan diresmikan Presiden Jokowi pada 28 Oktober
2019 bertepatan dengan 91 tahun peringatan Sumpah Pemuda.
Dalam konteks
semacam itu, jembatan Youtefa menandai berakhirnya kekhawatiran dan kecurigaan
antara Jakarta-Papua diletakkan atas dasar trust. Atas basis saling percaya
itulah, Papua mesti diperlakukan dalam keindonesiaan dan sebaliknya.
Pemekaran
Dalam kunjungan
perdana Presiden ke Wamena, ide untuk memekarkan Pegunungan Tengah sebagai
provinsi bak gayung bersambut. Mendagri Tito Karnavian mengatakan Papua Selatan
akan segera direalisasikan menjadi provinsi. Begitu juga dengan Menko Polhukam
Mahfud MD yang segera menggelarkan rapat para menteri di bawah koordinasinya
pada Kamis (31/10) untuk membahas pemekaran provinsi di Papua.
Ide tentang
pemekaran provinsi di tanah Papua bukan hal baru. Deras tunturan pemekaran
provinsi sebut saja Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Barat Daya, Saireri,
hingga yang terakhir Tabi. Menurut saya, sah saja gagasan pemekaran itu. Namun,
kita perlu mempertimbangkan dengan saksama sesuai Pasal 76 UU No 21/2001 yang
menyatakan pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas
persetujuan MRP dan DPRP, setelah memperhatikan kesatuan sosial budaya,
kesiapan SDM, kemampuan ekonomi, dan perkembangan di masa datang.
Artinya, pemekaran
provinsi mesti menjadi kebutuhan yang sungguh-sungguh dari masyarakat Papua
dengan mempertimbangkan dan memperhitungkan faktor sosial, budaya, kesiapan SDM
OAP baik dalam jajaran birokrasi pemerintahan maupun masyarakatnya, serta
kemajuan di masa datang.
Dengan demikian,
harapan masyarakat Papua dari pemekaran itu terwujudnya peningkatan
kesejahteraan dan perdamaian serta peran aktif mereka dibangsa ini sehingga
pemekaran berbuah manis yang menjamin keberadaan dan keberlangsungan mereka
dengan anak cucunya.
Dalam konteks itu
pemekaran provinsi bukan sebagai jawaban terhadap masalah akut Papua yang tidak
pernah tuntas diselesaikan, melainkan pemekaran dilakukan karena didasarkan
meminjam pepatah Romawi Kuno, Salus Populi suprema lex, artinya kepentingan
rakyat adalah undang-undang yang tertinggi. Suara rakyat mesti diprioritaskan.
Sumber: Mediaindonesia.com, 1 November 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!