Headlines News :
Home » » Paskah, Bola, dan Kebun

Paskah, Bola, dan Kebun

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, April 12, 2020 | 6:38 PM



TAHUN 1980-an. Di bawah lereng Labalekan, Kecamatan Nagawutun, Lembata, Nusa Tenggara Timur, suasana menjelang hingga puncak perayaan Misa Paskah sangat terasa. Jalanan ke stasi-stasi terasa hidup. Suasana itu terasa utamanya ruas jalan dari pedalaman lereng gunung Labalekan menuju Loang, kota Kecamatan Nagawutun.

Warga masyarakat, terutama yang tinggal di lereng itu berbondong-bondong menyerbu Loang. Maklum. Loang satu-satunya pasar bagi sebagian besar warga Nagawutun yang jadi urat jadi transaksi. Mendapatkan baterei ABC untuk keperluan sound system koor di Gereja Pusat Paroki Santu Joseph Boto atau kapel-kapal di wilayau paroki itu menjelang atau pas puncak Misa Paskah, Loang jadi pilihan strategis.

Pedagangnya juga menjual barang-barang kebutuhan ala.kadarnya. Kebanyakan dipasok dari Waiwerang, Pulau Adonara atau Larantuka, kota teramai di timur Pulau Flores. Loang jadi central bisnis ala warga pedalaman, terutama yang menghuni sebagian stasi di kaki Labalekan, gunung tertinggi di Pulau Lembata.

Mencari baju kaos oblong atau keperluan bagi tim olahraga bola kaki atau volley, Loang jadi pasar yang seksi. Entah ada stok barang atau tidak, Loang jadi alamat tujuan. Bukan Vera (Waiwerang) atau Seran (Larantuka). Orangtua Pak Haji B atau amak Mansur boleh jadi adalah pedagang yang diharapkan menyediakan barang-barang kebutuhan Paskah bagi warga Nagawutun, khususnya umat Katolik yang bermukim di pedalaman seperti orangtua saya atau pemerintah desa bahkan pengurus Gereja Katolik di Paroki Boto.

Para pengurus bola di stasi-stasi di Paroki Boto mulai dari Tida Apa (stasi Posiwatu), Naradiring (stasi Imulolong), Spirit (stasi Puor), POL (stasi Boto), Gempa (stasi Atawuwur), dan lain-lain akan bertaruh jalan kaki sekadar membeli kaos bagi timnya untuk berlaga dalam kompetisi olahraga menjelang hingga Paskah di stasi yang menjadi pusat perayaan tingkat paroki. Meski demikian, ada juga tim olahraga stasi tertentu yang memiliki stok kostum kiriman para perantau anak tanah di negeri Jiran, Malaysia atau Brunei Darussalam.

Olahraga, terutama bola, adalah kompetisi yang ditunggu-tunggu setiap stasi. Para pengurus akan memaksimalkan latihan bagi timnya masing-masing agar tampil prima pada puncak perayaan Paskah. Mengasyikkan? Tentu. Bola tak sekadar urusan ketrampilan olah gerak di lapangan. Ia lebih dari itu. Bola adalah aktivitas umat (rakyat) menguji kesabaran, sportivitas sesama tim dan umat.

Tak heran. Selama turnamen, meski ada gesekan antarpemain dan berujung baku marah, soal itu akan segera tanggal karena setiap pemain akan diingatkan bahwa puncak perayaan Paskah sudah di depan. Amarah dalam lapangan segera padam karena kemenangan Paskah di depan mata.

Asyik? Tentu. Bola bukan soal kalah menang. Apalagi gadis berupa uang tak ada. Bola sekadar pesta kemanusiaan yang ikut dirayakan berdempetan dengan Paskah. Tim bola kaki yang berlaga di final pun kerap meminta pastor kepala jadi wasit. Kenapa? Pastor kepala dianggap wasit yang tak pernah memihak tim manapun.

Pastor Lambertus Paji Seran SVD atau Pastor Tarsisius Tupen Pr seingat saya pernah jadi wasit. Dua imam ini pernah menjadi pastor kepala di Paroki Boto kala itu. Maklum. Dua imam asal Adonara ini juga penggila bola. Kerap juga kalau keduanya berhalangan karena tugas menumpuk, wasit biasa diambil alih satu dari beberapa kepala desa.

Tim yang akan berlaga dipastikan bakal menyedot para pendukung atau penggila bola yang memenuhi sisi lapangan (plein). Boleh hiruk pikuk mendukung tim kesayangan dari bibir lapangan tapi tabuh masuk lapangan. Nekad masuk artinya mengundang ketua dewan stasi atau hansip (linmas) turun tangan "mengamankan".

Momen Paskah di Boto kala itu juga akan menghentikan sejenak aktivitas umat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani. Kebun akan terasa seperti lockdown. Umat yang sebagian besar mengolah kebun akan puasa di hari-hari tertentu menjelang atau pas puncak perayaan Paskah. Semua akan bergerak menuju stasi di mana Misa Paskah diselenggarakan. Tak ada social distancing. Mereka menyatu dalam solidaritas seutuhnya sebagai sesama keluarga besar.

Bagi umat dari stasi-stasi lain yang ambil bagian dalam puncak perayaan Paskah di stasi tertentu, akan diterima penuh sukacita oleh kelompok umat basis (KUB). Di penginapan itu masing-masing diterima penuh persaudaraan. Hasil-hasil kebun bisa dinikmati bersama. Ubi kayu (singkong), keladi, pisang, jagung, buah-buahan akan menjadi santapan ala orang kampung. Kopi? Jangan omong lagi. Si tuan rumah akan menyediakan kopi manis di cerek. Tinggal tuang dalam mok atau gelas. Tak kelapa akan menjadi minuman khas tanda persaudaraan.

Misa Paskah juga akan terasa lain. Setiap stasi akan menampilkan lagu-lagu rohani dengan syair lokal. Guru Stanis Deri Burin, salah seorang guru tua di masa itu yang banyak lagu karyanya digunakan anggota koor dari stasi-stasi saat Misa berlangsung. Bahkan hingga kini masih terawat baik. Para musisi lokal akan mengiringi koor dari stasinya masing-masing dengan alat musik khas. Gitar listrik, string bass, kap lampu, dan tam tam.

Perihal gitar listrik, beberapa stasi kala itu sudah miliki. Gitar listrik itu hadiah dari Sr Amaria SSpS dan Sr Dorotildus SSpS. Dua misionaris dari Amerika dan Eropa itu tempo doeloe pernah bertugas di Susteran SSpS Boto. Susteran Boto itu menempati rumah warisan Pastor Jan Knoor SVD yang pernah bertugas di Paroki St Joseph Boto. Kini, rumah tua itu masih awet dan berusia nyaris seratus tahun. Paskah tahun ini kembali mengingatkan saya tentang arti solidaritas sesama umat di kampung halaman. Paskah, bola, dan kebun adalah tiga hal yang selalu mengingatkan saya meski lokus domisili saya dengan Boto terpaut jauh.

Selamat Paskah untuk Pastor Paroki Boto, bele tuan Bernard Kebesa Kedang SVD dan ama tuan Eman Pr, pengurus DPP Paroki St Joseph Boto, para suster di Komunitas SSpS Boto, dan umat sekalian. Semoga ekaja pua user fuak me para nuja golu re lef enaj. Semoga berkat kemenangan Kristus di Kayu Salib, kita semua bangkit memajukan paroki demi keagungan nama Tuhan. Doa dan salam saya sekeluarga dari rantau. Malem bae mio pua
Jakarta, 12 April 2020
 Ansel Deri
Mengenang Paskah Tahun 1980-an 
di Paroki St Joseph Boto, Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka, NTT. 
Sumber foto ilustrasi: Copas Fb Kamillus Elu
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger