TAHUN 1980-an. Di bawah lereng Labalekan, Kecamatan Nagawutun,
Lembata, Nusa Tenggara Timur, suasana menjelang hingga puncak perayaan Misa
Paskah sangat terasa. Jalanan ke stasi-stasi terasa hidup. Suasana itu terasa
utamanya ruas jalan dari pedalaman lereng gunung Labalekan menuju Loang, kota
Kecamatan Nagawutun.
Warga
masyarakat, terutama yang tinggal di lereng itu berbondong-bondong menyerbu
Loang. Maklum. Loang satu-satunya pasar bagi sebagian besar warga Nagawutun
yang jadi urat jadi transaksi. Mendapatkan baterei ABC untuk keperluan sound
system koor di Gereja Pusat Paroki Santu Joseph Boto atau kapel-kapal di
wilayau paroki itu menjelang atau pas puncak Misa Paskah, Loang jadi pilihan
strategis.
Pedagangnya
juga menjual barang-barang kebutuhan ala.kadarnya. Kebanyakan dipasok dari
Waiwerang, Pulau Adonara atau Larantuka, kota teramai di timur Pulau Flores.
Loang jadi central bisnis ala warga pedalaman, terutama yang menghuni sebagian
stasi di kaki Labalekan, gunung tertinggi di Pulau Lembata.
Mencari baju
kaos oblong atau keperluan bagi tim olahraga bola kaki atau volley, Loang jadi
pasar yang seksi. Entah ada stok barang atau tidak, Loang jadi alamat tujuan.
Bukan Vera (Waiwerang) atau Seran (Larantuka). Orangtua Pak Haji B atau amak
Mansur boleh jadi adalah pedagang yang diharapkan menyediakan barang-barang
kebutuhan Paskah bagi warga Nagawutun, khususnya umat Katolik yang bermukim di
pedalaman seperti orangtua saya atau pemerintah desa bahkan pengurus Gereja
Katolik di Paroki Boto.
Para pengurus
bola di stasi-stasi di Paroki Boto mulai dari Tida Apa (stasi Posiwatu),
Naradiring (stasi Imulolong), Spirit (stasi Puor), POL (stasi Boto), Gempa
(stasi Atawuwur), dan lain-lain akan bertaruh jalan kaki sekadar membeli kaos
bagi timnya untuk berlaga dalam kompetisi olahraga menjelang hingga Paskah di
stasi yang menjadi pusat perayaan tingkat paroki. Meski demikian, ada juga tim
olahraga stasi tertentu yang memiliki stok kostum kiriman para perantau anak
tanah di negeri Jiran, Malaysia atau Brunei Darussalam.
Olahraga,
terutama bola, adalah kompetisi yang ditunggu-tunggu setiap stasi. Para
pengurus akan memaksimalkan latihan bagi timnya masing-masing agar tampil prima
pada puncak perayaan Paskah. Mengasyikkan? Tentu. Bola tak sekadar urusan
ketrampilan olah gerak di lapangan. Ia lebih dari itu. Bola adalah aktivitas
umat (rakyat) menguji kesabaran, sportivitas sesama tim dan umat.
Tak heran.
Selama turnamen, meski ada gesekan antarpemain dan berujung baku marah, soal
itu akan segera tanggal karena setiap pemain akan diingatkan bahwa puncak
perayaan Paskah sudah di depan. Amarah dalam lapangan segera padam karena
kemenangan Paskah di depan mata.
Asyik? Tentu.
Bola bukan soal kalah menang. Apalagi gadis berupa uang tak ada. Bola sekadar
pesta kemanusiaan yang ikut dirayakan berdempetan dengan Paskah. Tim bola kaki
yang berlaga di final pun kerap meminta pastor kepala jadi wasit. Kenapa?
Pastor kepala dianggap wasit yang tak pernah memihak tim manapun.
Pastor
Lambertus Paji Seran SVD atau Pastor Tarsisius Tupen Pr seingat saya pernah
jadi wasit. Dua imam ini pernah menjadi pastor kepala di Paroki Boto kala itu.
Maklum. Dua imam asal Adonara ini juga penggila bola. Kerap juga kalau keduanya
berhalangan karena tugas menumpuk, wasit biasa diambil alih satu dari beberapa
kepala desa.
Tim yang akan
berlaga dipastikan bakal menyedot para pendukung atau penggila bola yang
memenuhi sisi lapangan (plein). Boleh hiruk pikuk mendukung tim kesayangan dari
bibir lapangan tapi tabuh masuk lapangan. Nekad masuk artinya mengundang ketua
dewan stasi atau hansip (linmas) turun tangan "mengamankan".
Momen Paskah
di Boto kala itu juga akan menghentikan sejenak aktivitas umat yang sebagian
besar berprofesi sebagai petani. Kebun akan terasa seperti lockdown. Umat yang
sebagian besar mengolah kebun akan puasa di hari-hari tertentu menjelang atau
pas puncak perayaan Paskah. Semua akan bergerak menuju stasi di mana Misa
Paskah diselenggarakan. Tak ada social distancing. Mereka menyatu dalam
solidaritas seutuhnya sebagai sesama keluarga besar.
Bagi umat dari
stasi-stasi lain yang ambil bagian dalam puncak perayaan Paskah di stasi
tertentu, akan diterima penuh sukacita oleh kelompok umat basis (KUB). Di
penginapan itu masing-masing diterima penuh persaudaraan. Hasil-hasil kebun
bisa dinikmati bersama. Ubi kayu (singkong), keladi, pisang, jagung,
buah-buahan akan menjadi santapan ala orang kampung. Kopi? Jangan omong lagi.
Si tuan rumah akan menyediakan kopi manis di cerek. Tinggal tuang dalam mok
atau gelas. Tak kelapa akan menjadi minuman khas tanda persaudaraan.
Misa Paskah
juga akan terasa lain. Setiap stasi akan menampilkan lagu-lagu rohani dengan
syair lokal. Guru Stanis Deri Burin, salah seorang guru tua di masa itu yang
banyak lagu karyanya digunakan anggota koor dari stasi-stasi saat Misa
berlangsung. Bahkan hingga kini masih terawat baik. Para musisi lokal akan
mengiringi koor dari stasinya masing-masing dengan alat musik khas. Gitar
listrik, string bass, kap lampu, dan tam tam.
Perihal gitar
listrik, beberapa stasi kala itu sudah miliki. Gitar listrik itu hadiah dari Sr
Amaria SSpS dan Sr Dorotildus SSpS. Dua misionaris dari Amerika dan Eropa itu
tempo doeloe pernah bertugas di Susteran SSpS Boto. Susteran Boto itu menempati
rumah warisan Pastor Jan Knoor SVD yang pernah bertugas di Paroki St Joseph
Boto. Kini, rumah tua itu masih awet dan berusia nyaris seratus tahun. Paskah
tahun ini kembali mengingatkan saya tentang arti solidaritas sesama umat di
kampung halaman. Paskah, bola, dan kebun adalah tiga hal yang selalu
mengingatkan saya meski lokus domisili saya dengan Boto terpaut jauh.
Selamat Paskah
untuk Pastor Paroki Boto, bele tuan Bernard Kebesa Kedang SVD dan ama tuan Eman
Pr, pengurus DPP Paroki St Joseph Boto, para suster di Komunitas SSpS Boto, dan
umat sekalian. Semoga ekaja pua user fuak me para nuja golu re lef enaj. Semoga
berkat kemenangan Kristus di Kayu Salib, kita semua bangkit memajukan paroki
demi keagungan nama Tuhan. Doa dan salam saya sekeluarga dari rantau. Malem bae
mio pua.
Jakarta, 12
April 2020
Ansel Deri
Mengenang
Paskah Tahun 1980-an
di Paroki St Joseph Boto, Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka, NTT.
di Paroki St Joseph Boto, Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka, NTT.
Sumber foto ilustrasi: Copas Fb Kamillus Elu
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!