Oleh Markus Solo Kewuta
Rohaniwan Katolik & Staf Dewan
Kepausan
untuk Dialog antar Umat Beragama di Takhta Suci Vatikan
untuk Dialog antar Umat Beragama di Takhta Suci Vatikan
VIRUS korona
baru, penyebab Covid-19, telah mengubah tata hidup kita. Seneca, seorang
filsuf, negarawan, dan penulis drama Romawi pada zaman perak sastra Latin
berkata sekitar dua ribu tahun silam, ’’Mundurlah dan pergilah ke alam
kesunyian waktu-waktu luang, tetapi biarkan keheningan itu sendiri yang
mengatur waktu-waktu luangmu.”
Di dalam kesenyapan
duniaa ini, banyak orang sedang berpikir, merenung, dan mencoba untuk memaknai
pandemi Covid-19. Mereka bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan hakiki seperti apa
arti kelahiran, kehidupan, persahabatan, cinta suami-istri, keluarga, prestasi
dan prestise, harta kekayaan, penderitaan dan kematian. Apakah sejatinya tujuan
hidup ini? Dari mana manusia berasal? Ke mana dia pergi? Juga umat Kristiani
seantero jagat tengah melakukan hal yang sama di dalam terang Jumat Agung.
Jumad Agung: Pesan
dari Salib
Kisah sengsara dan
kematian Yesus Kristus, Juru Selamat hari ini diawali dengan pembacaan warta
kenabian tentang penderitaan figur Mesias dari Kitab Yesaya (52:13 – 53:12)
yang antara lain berbunyi, ’’Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh
kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga
orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan,”
(Yesaya 53:12). Kisah itu kemudian memiliki sebuah wajah dan sebuah nama: Yesus
dari Nazaret.
Di kalangan umat
Kristiani, Yesus menjadi sebuah prototipe dan wakil dari semua orang yang
menderita, yang dibuang, yang dicabut hak waris dan hak asasinya, mereka yang
ditolak di kalangan manusia, dan yang hak hidup serta harkat martabatnya
diinjak-injak oleh mereka yang merasa lebih berkuasa.
Agonia Yesus tahun
ini menurut Injil Yohanes diawali dengan penangkapan diri-Nya di dalam taman di
seberang sungai Kidron, diseret ke hadapan pensiunan Imam Besar Hanas, mertua
Imam Besar Kayafas, lalu ke Pontius Pilatus, disambut oleh konfrontasi besar
dengan pengadilan rakyat, hingga jatuh putusan penyaliban di puncak Golgota
(Yohanes 18:1-19:42). Itu sejatinya merupakan kulminasi dari sejarah
penderitaan Yesus sejak awal hidup-Nya. Ia dilahirkan di kandang hina di
Bethlehem karena tidak ada tempat bagi-Nya di rumah orang (Lukas 2:7).
Umat Kristiani
sedunia mengenang dan merenungkan hari ini sebagai via crucis (jalan salib)
dengan langkah Yesus yang tertatih-tatih dari Sinedron melewati via dolorosa
hingga ke bukit Golgota. Di bahu-Nya, salib kian berat. Yesus jatuh sampai tiga
kali sembari dicemeti. Mahkota duri di kepala melumurkan darah di sekujur
tubuh. Drama penyaliban diwarnai oleh berbagai bentuk penghinaan. Pada
akhirnya, dari bibir-Nya terucap kata, ’’Sudah selesai”.
Tuhan dijerumuskan
ke dalam sebuah titik kejatuhan paling dalam, di mana setiap naluri kemanusiaan
akan pasti segera bangkit melawan. Akan tetapi Yesus menerima semuanya dengan
tabah dan ikhlas karena cinta-Nya akan misi kebenaran yang Dia bawa ke dalam
dunia.
Di dalam masa
pencobaan, Yesus berpesan, ’’Berjaga-jagalah dan berdoalah.” (Markus 14:38).
Atau, ’’Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.’’ (Lukas
21:19). Penginjil Matius mengakhiri Injilnya dengan pesan Yesus yang
menguatkan, ’’Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir
zaman." (Matius 28:20).
Oleh karena itu
kematian bukan merupakan kata terakhir di dalam kamus kehidupan. Kata pepatah
Jerman, ’’Die Hoffnung stirbt zuletzt.” Atau versi Inggris, ”Hope dies last.”
Keduanya bermakna bahwa harapan adalah yang terakhir tumbang/mati. Selama masih
bernapas, tetaplah berharap. Dum spiro spero. Itulah kata Cicero, negarawan dan
filsuf zaman Romawi kuno.
Di dalam kotbahnya
pada saat adorasi agung di Vatikan, 27 Maret, untuk memberkati dunia yang
tengah menderita, Paus Fransiskus berpesan, ’’Saat pencobaan adalah sebuah
’waktu untuk memilih apa yang penting dan apa yang berlalu, waktu untuk
memisahkan apa yang perlu dari yang tidak. Ini adalah waktu untuk mengembalikan
hidup kita ke jalur yang benar, yang berkenan untuk Anda sendiri, untuk Tuhan,
dan untuk sesama manusia.’’
Salib juga
mengandung sebuah pesan universal. Ia mengandung pesan cinta, kasih, kebenaran,
solidaritas, pengampunan dan penebusan. Bukan kejahatan, budaya hoax, kebencian
atau balas dendam. Salib juga mengingatkan manusia bahwa sekalipun setiap orang
berbeda, tetapi pada akhirnya bersama-sama merasa kecil dan tak berarti di
hadapan ancaman eksistensial seperti bencana alam dahsyat: pandemi dan kematian
yang menggantung ibarat pedang Damokles di atas setiap kepala.
Silentium Magnum,
Stay Home menuju Paskah
Sejak penguburan
Yesus pada Jumad Agung hingga kebangitanNya, dunia seperti senyap. Tradisi
Kristiani menamakan masa hening ini dengan nama silentium magnum.
Ibarat benih, Yesus
disemayamkan di dalam perut bumi agar tumbuh tunas-tunas kehidupan baru. Dia mati
untuk bangkit lagi dan menganugerahkan pengharapan luar biasa serta menunjukkan
jalan menuju kebangkitan.
#TinggaldiRumah
atau #StayHome kini menjadi rutinitas dan gaya hidup. Homo oeconomicus merajut
karya bisnisnya dari karantina. Di dalam terang Jumat Agung, dunia ibarat
sedang melangkah tertaih-tatih sepanjang via dolorosa dan memandang puncak
pendakian yang masih jauh dan samar-samar di balik kabut ketidakpastian.
Di dalam kondisi
seperti ini, tidak mudah bagi mereka yang tidak menggantungkan harapannya pada
Tuhan. Mereka rentan putus asa dan mudah pula menyerah pada nasib. Que sera,
sera. Whatever will be, will be.
Sedangkan orang
yang senantiasa percaya kepada kekuasaan dan penyelenggaraan Ilahi dan
menggantungkan segala harapannya pada Tuhan, akan selalu bisa tabah dan
berharap untuk sekali waktu bisa melihat titik terang di akhir jalan
penderitaan ini.
Tuhan berjanji
untuk selalu bersama dengan umat-Nya. Dia selalu bisa mengubah drama Jumat
Agung di Golgota yang gersang menjadi taman kebangkitan Minggu Paskah penuh
kuntum bunga kehidupan baru. Dia mengubah silentium magnum ke dalam musik dan
tarian pembebasan.
Di dalam terang
harapan ini umat Kristiani merenungkan misteri Jumat Agung Yesus Kristus
sekaligus situasi ”ketersaliban” manusia di masa berat ini. Mengenang agonia
Yesus Kristus membuat beban tanggungan derita menjadi ringan, karena Tuhan
telah rela turun untuk menanggung beban salib umat manusia; juga kini dan di
sini. Ketika Dia menanggung beban salib bersama manusia, maka sukacita Paskah
sudah dekat.
Sesungguhnya untuk
sampai ke sana, dibutuhkan silentium magnum agar manusia berpikir, merenung,
mentahirkan hati, dan budi dan mengembalikan hidupnya ke jalan yang benar agar
dia betul-betul layak merayakan sukacita Paskah yang artinya: Tuhan lewat untuk
membebaskan umatNya.
Sumber: Jawa Pos, 10 April 2020
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!