Oleh Ansel Deri
Orang Udik dari Kampung
SEKOLAH di kampung tempo
doeloe, tahun 80-an, mengasyikkan. Ada hal menyenangkan. Pake seragam baru.
Putih-biru dan Pramuka. Seragam putih-merah segera tanggal. Menyandang predikat
anak atau siswa siswi SMP juga jadi kebanggaan. Lebih dari itu pasti banyak
teman baru. Dari kampung-kampung dari luar Boto, kampung saya. Meski masih
dalam satu bahasa daerah, akan sangat beda teman-teman dari kampung lain yang
hanya bisa berbahasa Indonesia. Mereka yang bisa berbahasa Indonesia, lebih
banyak anak guru. Itu pun kalau bahasa daerah, bahasa ibu jadi bahasa pengantar
harian. Namun, menarik bagi saya, banyak teman dari keluarga guru dari
desa-desa di luar Boto, sangat fasih bahasa daerah. Meski mereka melewati masa
SD di luar Boto. Semisal Mingar (Desa Pasir Putih) atau Imulolo.
Dua teman
seangkatan di SMP Lamaholot Boto tahun 1984 anak guru yaitu Ana Maria
Margaretha Ose Labaona atau Suster Amaria SSpS dan Lorensia Magi Lewar. Teman
saya Sr Amaria, orang dari Atawuwur atau Atawai, kampung/desa tetangga. Atawai
saya kenal juga dengan Sisi Rimba. Nama ini familiar dengan sebutan demikian
karena berada dalam pelukan hutan atau rimba. Boleh jadi ini ditandai dengan
Dua atau Lamadua, sepotong kawasan di sebelah timur Gereja Stasi St Rafael
Atawai. Seingat saya, Dua ini lokasi keramat untuk memberi makan (sesajen) bagi
para tuan tanah atau leluhur suku Lamadua atau Duan yang sudah berpulang.
Atawai ini adalah kampung dalam balutan panorama alam yang masih mempesona. Ia
(Atawai) kampung asal kawan Sr Amaria, tempat di mana pasutri bapa guru Yohanis
Kari Lewar-Ny Kari Lewar, orangtua kawan saya Lorens Magi Lewar, tinggal. Bapa
guru Ani Kari, begitu kami menyapanya, lama menetap dan mengajar banyak anak
kampung Atawai di SDK Atawuwur (Atawai). Bapa guru Ani Kari sesungguhnya berasal
dari Solor, pulau mungil di depan Loang, kota kecamatan Nagawutun. Kalau tak
salah, di sini beberapa anak bapa guru Ani Kari lahir dan tumbuh kemudian
melanjutkan sekolahnya di SMP Lamaholot Boto, termasuk kaka Don Lewar dan teman
saya, Lorens Magi. Sedang bapa guru Frans Bako Labaona, lama mengabdi sebagai
guru di SDK Pasir Putih, Mingar, kampung yang menempel di bibir pantai nan
eksotik menghadap laut Sawu, tak jauh dari Loang, kota paling jumbo tempat
orangtua kami pigi timbang (jual) kemiri dan kopra untuk hidup dan biaya
sekolah kami anak-anak petani.
Awal masuk SMP
Lamaholot Boto tahun 1984 banyak lulusan SD sekitar Boto membanjiri sekolah
menengah swasta tua ini. Seingat saya, tiga SMP swasta yang beken kala itu
yaitu SMP Sinar Pelita Lodoblolong di Hadekewa, kota yang akrab orangtua kami
bayar bea (pajak). Berikut SMP Tanjung Kelapa Lerek di Atadei dan SMP APPIS
(Aksi Putra-Putri Ikan Sembur) Lamalera. Kampung nelayan yang sudah mendunia
ini menyumbang banyak ata kebelekej (orang besar dalam benak kami). Sebut saja,
Prof Dr Gorys Perawin Keraf, penulis buku Tata Bahasa Indonesia; Dr Alex Soni
Keraf, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup erah Presiden Abdurrahman Wahid;
para imam seperti Pastor Alex Beding SVD, P Bosco Beding SVD, mantan anggota
Lembaga Sensor Film, P Yohanes Prasong; Moses Hodehala Beding CSsR di Sumba;
Bruno Ulanaga Dasion, misionaris di Jepang; praktivisi dan motivator Josef Bura
Bataona; dosen dan praktisi asuransi Pius Kia Tapoona; akademisi Dr Mance
Dasion & Dr Jakobus Blikololong, dan lain-lain. Mengapa tak banyak
teman-teman lanjut di sekolah-sekolah di atas, itu karena pertimbangan jarak
saja. Masuk SMP Lamaholot Boto sedikit mudah dalam urusan pengiriman bekal
untuk makan minum. Dalam catatan saya, teman-teman angkatan dari Atawai
termasuk banyak. Sekitar delapan hingga sembilan orang. Mereka dari latar
keluarga beragam: petani dan guru.
Awal tahun
ajaran kami sepertinya masih menyesuaikan diri. Tak hanya dengan situasi
sekolah dan fasilitas pendukung yang sangat minim. Kursi seingat saya kami bawa
sendiri dari rumah. Bapa saya harus sowan ke tukang kayu di kampung agar
menyelesaikan kursi tanggungan saya. Ayah lepas padi 1 blik ke tukang dan
jadilah kursi. Kalau dihitung, 1 blik padi setara 10 kg beras merah atau hitam.
Sistem barter jalan tanpa hambatan karena stok padi ladang di lumbung banyak.
Barangkali beda dengan anak guru seperti dua teman saya: Amaria dan Lorensia.
Bagaimana dengan guru-guru? Kala itu kami cukup puas dengan guru-guru lulusan
setara SMA. Plus satu dua orang yang baru lulusan PGSLP yang tinggal menunggu
mengikuti tes PNS. Guru-guru kami kala itu rata-rata dari desa semua. Ada
Valentinus Blida Batafor (kepala SMP), Yohanes Layir Wujon, Elias Tada Asaan,
Maria Goreti Wujon, Viktoria Kewa Sakeng, Frans Sales Pukan, Sr Helena Wewo
SSpS, Donatus Ero de Ona, dan Margaretha Lelo Klobor. Kaka suster ini orang
Mataloko, Ngada. Ia bertugas di SSpS Boto tapi membantu ngajar Agama dan Kesenian.
Angkatan kami
termasuk rombongan belajar jumbo. Selain kami dari Boto, banyak juga dari
Atawai, Liwulagang, Ile Boli, Mingar, Puor, Uruor, Idalolong, dan Imulolong.
Teman-teman dari desa tetangga ada yang tinggal di rumah penduduk karena
orangtua mereka kenal atau masih kerabat. Tinggal tanpa bayar kos. Banyak juga
yang tinggal di asrama susteran SSpS. Mereka ini pun lebih banyak dari anak
guru. Rupanya, animo siswa baru untuk sekolah tinggi, Pak Valens Batafor dan
guru-guru putar otak. Mereka merencanakan membangun sebuah gedung asrama besar
secara swadaya agar anak-anak muridnya bisa tinggal dan dibimbing dalam
belajar. Uniknya, asrama ini khusus anak laki-laki kelas 1-3. Asrama itu
berdinding buluh (fulor) dan rangka kayu kemudian diatap pake alang-alang.
Siapa yang menanggung bahan-bahan bangunan itu? Bahan-bahan itu menjadi
tanggungan setiap murid kelas 1-3 tanpa kecuali. Setiap akhir pekan kami diberi
waktu untuk memotong alang-alang dan bahan-bahan bangunan lainnya. Setelah itu,
Sabtu pekan berikutnya, orangtua kami datang untuk mengerjakan secara
gotong-royong. Kami anak-anak sekolah akan menyiapkan makanan lokal seperti
pisang ditambah sayur-mayur dan lauk serta lawar. Minumnya, ya, tuak kelapa.
Orangtua murid bawa masing-masing dari rumah. Pake bambu. Proses bikin asrama
berjalan lancar. Anak-anak asrama tinggal, masak, dan makan minum sendiri. Pak
Valens menjadi bapa asrama. Ia menempati satu kamar khusus. Selebihnya, ruang
asrama itu dijejali tempat tidur dari bambu. Kecuali satu dua siswa yang pake
tempat tidur ‘elite’ berbahan kayu pahlawan. Bermodal tikar dan bantal.
Kebanyakan tempat tidur bambu pake newong. Pakaian sekolah digantung di
dinding. Ada satu dua menyimpan seragamnya di keler (wadah aluminium) yang
bagian luar dan dalamnya mulai karat. Mereka rata-rata siswa dari keluarga
‘berada’.
Tinggal di
asrama kala itu, menarik. Saya mulai kenal minum susu. Susu bubuk itu diisi
dalam kelombu. Entah bagaimana didatangkan saya tidak tahu. Setahu saya dan
teman-teman, setiap pagi, kami antri di pintu kamar Pak Valens untuk terima
satu sendok susu bubuk. Mau bawa mok besar, sedang atau besar jatah susu cuma
satu sendok. Tinggal masing-masing kami campur kopi lalu di depan tungku
masing-masing di belakang asrama kami putar rame-rame. Menemani ubi kayu, ubi
jalar, keladi atau pisang sebelum jam pelajaran dimulai. Kadang juga bermodal
bemi (sejenias sarimi atau supermi) dan makanan lokal, sudah cukup mengikuti
pelajaran di sekolah yang berada di depan asrama. Aktivitas usai sekolah
terutama akhir pekan rutin. Mengerjakan atau membersihkan kebun guru. Selain
membayar ongkos honor mereka, sekaligus untuk mencari uang tambahan kapur
tulis. Akhir pekan juga menjadi waktu yang pas kami semua, anak-anak sekolah,
menuju hutan untuk memotong anakan pohon waru atau jarak untuk pagar keliling
sekolah. Begitu juga buluh (bambu) muda sebagai pengganti tali pengikat pagar.
Sekali lagi, saat mengerjakan pagar, makanan lokal seperti pisang dan ubi jadi
teman setia. Halaman sekolah tergolong luas. Ditanami pisang, alpukat, kelapa
dan aneka jambu. Semua tanaman itu berbuah lebat. “Kamu makan kulit dan isinya
sampe habis. Kalau kamu ulangi lagi, saya suruh kamu makan lagi kulit dan
isinya sekaligus,” kata seorang guru saya kala itu. Beberapa teman kerap usil.
Pisang bugis (kepok) yang sudah matang setandan di dalam lumbung samping
sekolah menggoda. Beberapa teman mecopot beberapa buah untuk dimakan. Padahal,
mestinya tunggu waktunya untuk dibagi kepada setiap anak di akhir jam
pelajaran.
Proses
belajar-mengajar dalam situasi serba minim kala itu berbuah. Setiap tahun,
banyak lulusan mulai meninggalkan almamater, SMP Lamaholot Boto. Banyak
melanjutkan SLTA di Lewoleba, kota Pembantu Bupati Flores Timur Wilayah
Lembata. Banyak pula tak sempat lanjut dan memilih merantau ke tanah Jiran,
Malaysia. Ada juga bertahan meneruskan karya perutusan sebagai petani. Para
guru juga sebagian besar perlahan pindah karena diangkat jadi PNS. Ada juga
yang berhenti mengikuti suami. Begitu juga para suster guru-guru saya juga
pindah ke tempat Misi yang baru. Misalnya, Sr Cornelia SSpS atau Sr Helena Wewo
SSpS. Ada kebanggaan karena banyak dari rekan-rekan memilih hidup selibat,
entah sebagai imam atau suster. Dua teman saya yang masih kerabat dekat: Amaria
dan Rosa Nogo, masuk Kongregasi SSpS. Begitu juga kakak kelas, Pastor Patrisius
Breket Mudaj SSCC, melayani umat di Bandung sebelum terbang ke Jerman sebagai
Misionaris. Sekian lama, Amaria dan Rosa Nogo, tak bersua. Satu waktu kami
dipertemukan. Rekan Sr Rosa Nogo, kini berkarya di Ruteng, kota Kabupaten
Manggarai, ujung barat Pulau Flores. Banyak di antara teman-teman sealmamater
mengabdi dan merasul di bidangnya masing-masing. Sedang teman saya yang lain,
Amaria menunaikan tugas di Jepang. Di negeri para Kaisar itu ia menunaikan
tugas sebagai pelayan Tuhan.
Awal April
2008, Sr Amaria dan rekan-rekannya mengabarkan saya kalau ia dan rekan-rekannya
berkesempatan mendaki Gunung Fujiyama dan menikmati puncak gunung tertinggi di
Jepang itu. “Aduh! Sungguh indah pemandangan Gunung Fujiyama. Saya sungguh
menikmati betapa Ia mencintai dan menyertai hidup saya sebagai seorang anak
dari kampung terpencil, Atawai (Atawuwur), di pedalaman Pulau Lembata,” katanya
lewat surat elektronik. Saya dan Sr Amaria pernah satu kelas saat masih di
Sekolah Pendidikan Guru Kemasyarakatan (SPGK) Lewoleba, Lembata. Sebelum menuju
Puncak Fujiyama, ia mengabarkan, saat itu cuaca Nagoya, Jepang sangat cerah.
Semua penghuni negeri para pengeran itu bergembira menikmati keindahan-Nya.
Begitu pula saat berada di Puncak Fujiyama, ia terus memanjatkan doa mengagumi
keagungan Tuhan. Bahkan rasanya ia berada di Puncak Gunung Labalekan, gunung
yang juga menjadi salah satu obyek pendakian bagi siswa sekolah dasar dan
menengah di selatan Lembata. Termasuk kami anak-anak saat di SMP Lamaholot
Boto. “Saat berada di Puncak Fujiyama salju begitu lebat dan dingin sekali.
Tapi syukur saya sudah terbiasa dengan empat musim di sini sehingga walau
dingin dan panas, itu sudah menjadi bagian dari hidup dan perutusanku di negeri
Sakura ini,” cerita biarawati peraih Magister Teologi ini.
Meski mencoba menyesuaikan
diri dengan cuaca Jepang, toh, bukan berarti ia terbebas dari sergapan
penyakit. Suster Amaria sempat menderita pilek akibat salju dan kepungan dingin
Fujiyama. Namun, selama berada di Puncak Fujiyama, ia terus merenungi
perjalanan hidupnya hingga Tuhan berkeputusan menunjuk dirinya menjadi pelayan
Tuhan. Ia begitu mengagumi rencana Tuhan atas dirinya. Ia tak pernah
membayangkan kalau Tuhan memanggil dirinya di kampung Atawai atau Atawuwur, nun
di pedalaman Pulau Lembata untuk menjadi pelayan Tuhan. Apalagi, harus terbang
ke Negeri Sakura demi sebuah janji pada-Nya mewartakan kasih dan cinta bagi
sesama. “Selama seharian di Puncak Fujiyama, air mata sedih, bahagia, syukur,
berat, pasrah mengalir tak bisa saya bendung. Saya tak habis bersyukur. Tidak
ada kata yang bisa saya ungkapkan. Sungguh. Tuhan punya rencana Ilahi,”
katanya. Hari ini, sahabat baik ini berulang tahun. Dan dari tanah Air doaku
terkirim. Selamat Ulang Tahun, tema Sr Amaria SSpS. Semoga sehat selalu. Tuhan
berkati. Arigato.
Jakarta, 24 Juni 2020
Sumber: radarntt.co, 24 Juni 2020
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!