Tahun 2000,
Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) memberikan Kehati Award kepada Sidomuncul. Perusahaan ini diberi award sebagai salah satu industri yang memiliki komitmen besar dalam
menangani masalah lingkungan. Kehati Award, diakui Irwan Hidayat, tidak
hanya dibanggakan tetapi menuntutnya untuk berbuat sesuatu.
Meski demikian, menurut Irwan Hidayat, visi awal perusahaan ini yakni membawa manfaat bagi
masyarakat dan lingkungan. Apa di balik roda bisnis jamu
tradisional
terkemuka di Indonesia ini?
Ternyata, ia mendapat inspirasi dari
kata-kata Mother Theresa, biarawati dan seorang
pekerja sosial dari Calkuta, India.
Filosofi itu sudah diterapkan
dalam visi dan misi perusahaan. Visinya adalah
membawa manfaat bagi masyarakat dan lingkungan. Jadi, kalau ditanya dari mana inspirasi itu dating, ya, dari kata-kata Ibu Theresa. “Kalau hidup itu tidak bermanfaat bagi orang
lain, hidup itu nggak berguna.”
Irwan sepertinya dilahirkan untuk industri jamu.
Nasibnya, diakui memang sudah demikian. Waktu lahir tahun 1947, konon ia nangis terus. Waktu nenek datang, baru nggak nangis. Ya, sejak lahir Irwan Hidayat diasuh sang nenek. Kemudian tahun 1949, neneknya mengungsi ke Semarang dari Yogyakarta. Irwan pun diboyong ke Semarang. Tahun 1951, didirikan pabrik jamu. “Makanya pada saat itu
logo Sidomuncul itu adalah gambar saya dan nenek,” katanya mengenang.
Irwan Hidayat membenarkan dirinya seperti sudah menyatu dengan dunia jamu. Maklum. Sejak umur 4 tahun, ia sudah hidup di tengah-tengah jamu dan aromanya. Jadi ia tahu persis bagaimana Sidomuncul lahir kemudian besar
hingga saat ini. Ia lahir, tumbuh,
dan besar di tengah-tengah bungkusan, aroma, dan berbagai literatur serta istilah tentang jamu.
Bahkan diakui, mungkin darah dan dagiungnya
sudah terkontaminasi jamu. “Saya percaya kepada
penyelenggaraan Ilahi. Jadi seseorang itu sudah ditentukan mau kerja di bidang
apa dan diberi porsi tersendiri, ya, sudah penyelenggaraan Ilahi. Saya percaya bahwa jamu adalah jalan hidup saya,” katanya.
Irwan Hidayat, sulung dari empat bersaudara, mengaku
bahwa capaian Sidomuncul tentu harus disyukuri. Baginya, kehadiran Sidomuncul
karena sudah jadi
kehendak Tuhan. Namun, cara mensyukurinya sederhana. Ia mengakui setiap hari selalu berusaha keras tetapi
rezeki selalu dari Tuhan. Komitmen perusahaan satu:
lakukan yang benar. Ia sendiri pun nggak pernah berpikir
tentang hasil.
Ia juga melihat kompetitor sebagai pemicu menjaga
kualitas produk. Sebuah
kesuksesan pasti terancam oleh bagaimana mempertahankannya untuk tetap eksis. Perusahaan selalu menyadari bahwa pasti ada pihak atau orang lain terjun dalam bisnis yang sama. Baginya, kompetisi merupakan sesuatu yang positif. Kompetisi malah membuat perusahaan lebih maju.
Irwan Hidayat sangat menghargai kompetitor karena dari
sana ia belajar. Belajar
dari yang lebih pintar dan sukses. Kompetitor itu merupakan sebuah hal yang positif. Jadi
kalau ada pabrik jamu yang hebat, maka harus kita anggap sebagai sahabat, bukan
musuh.
“Musuh
justru dari yang jelek-jelek karena kita tidak mendapat inspirasi dari sana.
Seorang sahabat kan gunanya memberikan inspirasi. Kalau nggak memberikan
inspirasi, nggak ada gunanya, dong. Oleh karena itu, kompetitor adalah sahabat
yang baik,”
tandasnya.
Perusahaan jamu ini juga makin mendekatkan pelayanan bagi
karyawannya menjelang hari raya keagamaan. Salah satu programnya yakni Mudik Lebaran. Pada 2002 lalu, misalnya, merupakan Mudik Lebaran yang ke-13 sejak program itu dimulai tahun 1991.
“Mudik
Lebaran menjadi jati diri Sidomuncul. Sidomuncul sama dengan Mudik Lebaran.
Tentunya akan kami tambah. Misalnya Sidomuncul sama dengan kualitas, Sidomuncul sama dengan penelitian, Sidomuncul sama dengan aman, Sidomuncul sama dengan berguna, dan lain sebagainya,” ujarnya. (Ansel Deri/Bagian 2)
Ket foto: Irwan Hidayat
Sumber foto: majalahexcellent.com
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!