Pembelajar
Filsafat, Penggemar Sepak Bola
Sepak bola
modern, dengan segala suguhan teknik permainan tingkat tinggi, dus dengan daya
seni dan keindahan yang menghipnotis dan menghibur, kemudian terus berkembang
dalam balutan kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya, seperti telah
mengalahkan segala-galanya. Piala Eropa yang kini sedang berlangsung di
Polandia dan Ukraina, serta Piala Dunia, misalnya, telah sanggup menenggelamkan
manusia di seantero dunia dari rutininitasnya yang membosankan untuk ikut
terlibat sebagai penonton, entah itu hanya lewat layar televisi maupun menonton
langsung di stadion-stadion yang megah bagaikan gedung pertunjukkan seni.
Daya pikat sepak
bola yang begitu tinggi, yang mampu mnghipnotis miliaran pasang mata di bawah
kolong langit itulah, kemudian mampu menyedot selera dan keinginan orang untuk
lebih mamilih menonton sepak bola ketimbang pergi mengikuti kebaktian di
gereja. Di Eropa, khususnya di mana industri sepak bola begitu mendominasi,
telah membuat para jemaat lebih suka menonton pertandingan sepak bola yang
disuguhi tim-tim kesayangannya daripada pergi ke gereja pada akhir pekan.
Maka, kata
sejumlah sosiolog, sepak bola dengan segala gebyarnya bukan saja semakin
menggoda dan menghipnotis manusia, tetapi seakan telah mampu melindas ibadat
keagamaan. Apalagi, dalam perhelatan-perhelatan sepak bola berskala besar
seperti Piala Eropa, Piala Dunia atau Olimpiade, tersaji aneka acara baik pada
pembukaan, penutupan maupun pada saat sedang berlangsungnya pertandingan, bak
ritual keagamaan yang bernuansa sakral.
Michael Novack,
dalam bukunya The Joy Sport (1976) mengatakan perhelatan
olahraga akbar tidak lebih semacam liturgi atau upacara riligius agama-agama.
Di sana ada tatacara yang nyaris sakral; ada askese, ada simbol-simbol
kebesaran negara-negara seperti bendera, lagu kebangsaan, kostum, dan
lain-lain, serta ada tempat sakral yang dikhususkan bagi para pemain, penonton,
pelatih dan lain-lain yang tidak dapat diganggu gugat. Ketika si pemain
mengenakan kostumnya, maka ia menjadi semacam 'imam' bagi para fansnya, yang
tidak lebih merupakan 'wakil umat beriman' yang harus 'dihormati'.
Para pemain atau
para bintang lapangan hijau yang mampu menjebol gawang lawan, yang memenangkan
pertandingan, dan mengharumkan nama bangsanya, kerap digambarkan sebagai 'orang
suci' dan 'penyelamat'. Sementara para fans mereka sering dilukiskan sebagai
'orang-orang beriman dan berbudi luhur' yang selalu dengan sepenuh hati
berziarah ke stadion-stadion. Dan, stadion-stadion bak panggung teater atau
gedung-gedung pertunjukkan seni seperti di Eropa, khususnya di Jerman yang
sering disebut heiliger rasen, yang secara gamblang dapat diartikan 'lapangan
rumput yang nan suci atau sakral'. Stadion-stadion sepak bola yang megah sering
pula disebut 'katedral', Katedral Bernebeu, New Camp, Old Strafford, D Alfonso
Henriques, Olympic Stadium, katedral Municipal, dan lain-lain.
Dan, siapa pun
yang mengamati sepak bola akbar (ritual keagamaan) di stadion (tempat ibadah)
akan mengakui ekspresi para penonton seperti orang yang sedang berdoa khuzuk
atau bersorak memuji Sang Ilahi. Dan, para pemain tatkala menjebol gawang
lawan, kerap juga memberikan tanda salib atau bersujud syukur di lapangan. Tak
jarang terlihat juga para penonton terdiam, merentangkan tangan sambil mulut
bergerak dalam doa hening. Semua itu seperti terbawa dalam daya rirual magnis
nan dahsyat.
Itulah yang
kemudian dikatakan Sindhunata dalam sebuah tulisannnya, bahwa berbagai
peristiwa religious atau ritual di lapangan hijau, semakin menyadarkan akan
kebenaran kata-kata yang sering diucapkan orang di tengah dunia sekuler ini,
"Saya ini spiritual tetapi bukan religius." Lantaran meski di tengah
hingar-bingar dan sorak-sorai menyaksikan serunya pertandingan sepak bola,
orang terus menunjukkan perilaku keagamaannya sambil berdoa baik untuk
keselamatan para pemain pujaannya atau bagi kemenangan timnya.
Maksudnya, pengalaman
spiritual orang modern sekarang tidak lagi bisa ditangkap oleh wadah-wadah
kereligiusan yang institusional. Sangatlah tidak bijaksana mengecap mereka
tidak lagi mengenal Tuhan, melulu dari agama formal belaka. Alias mereka telah
menciptakan lapangan hijau sebagai tempat berdoa, dan dalam moment tertentu,
mereka menjalankan aktivitas keagamaanya, ibarat di padang rumput itulah mereka
beragama, dan menunjukkan eksistensi keagamaannya.
Pencarian cara
baru beriman yang dimaksudkan di sini dalam situasi tertentu memang semakin
cocok di Eropa. Mengingat seperti ditulis Ibrahim Ado-Kurawa dalamTheorizing
the Football Religion (2004), bahwa orang-orang Eropa kini lebih memilih
menonton sepak bola daripada ke gereja. Di Inggris, jumlah jemaat yang datang
ke gereja hanya sekitar 13 persen pada tahun 1992. Dan, kini jumlah itu terus
menurun. Banyak riset konvensional juga menyimpulkan bahwa popularitas gereja
kalah oleh popularitas sepak bola.
Para sosiolog
yang mengamati dimensi sosial sepak bola menegaskan bahwa salah satu fungsi
sepak bola memang mempertahankan dan mengembangkan tatanan sosial. Fungsi ini
juga kerap diperankan oleh agama. Dalam ritual sepak bola lahir semangat
kemanusiaan seperti kedamaian, persaudaraan dan solidaritas di antara pemain dan
penonton. Bahkan dalam ranah politik, sepak bola semakin dikemas menjadi alat
diplomasi politik.
Yang terakhir
ini, memang sepak bola dan olahraga lainnya oleh banyak pemimpin dunia semakin
dijadikan sebagai arena untuk menunjukkan eksistensi, kemuliaan dan kehormatan
bangsanya. Bahkan, sejak 1960 Robert Kennedy di depan United Statedmengatakan,
sepak bola dapat dipandang sebagai suatu ukuran yang menunjukkan sejauh mana
suatu bangsa di mata internasional.
Sumber: Suara
Karya, 15 Juni 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!