Oleh Ansel Deri
Eks warga Ur Mitem, Waikomo;
Eks warga Ur Mitem, Waikomo;
tinggal di Halim Perdana Kusuma, Jakarta
Sebanyak 45 keluarga di Lusikawak, Nubatukan,
Lembata, diberitakan terpaksa meninggalkan lokasi tempat tinggalnya, yang tak
jauh dari “Peten Ina” (baca: Gedung DPRD).
Selama ini, untuk sementara mereka menghuni
lahan 20 hektar yang sudah diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Lembata. Keluarga-keluarga itu dijanjikan lahan baru bersertifikat untuk
membangun rumah mereka.
Setelah lahan 20 hektar tersebut diserahkan
secara resmi, ternyata Pemkab alpa menunaikan janjinya. Kini, mereka dipaksa
keluar dari tanah sendiri. Perlakuan yang tak mengenakkan tersebut membuat
Camat Nubatukan, Gewura Fransiskus, kesal. "Pemerintah jangan abaikan hak
45 keluarga yang diusir dari lokasi Lusikawak itu. Ini menyangkut hak
masyarakat," kata Gewura (Pos Kupang,
4 Juli 2012).
Camat Gewura pantas kesal. Kekesalan itu tak
hanya soal janji lahan baru bersertifikat untuk membangun rumah yang perlu
penyelesaian. Sekitar 36 masalah di wilayahnya yang sudah diinventarisir dan
belum terselesaikan. Kini, masalah-masalah tersebut, termasuk lahan Taman Ria
Swaolsa Tite, perlu mendapat perhatian.
Mengapa? Ada warga yang memiliki sertifikat
resmi di taman tersebut. Juga sengketa kepemilikan persawahan di Uru (Ur)
Mitem. Intinya, masalah tanah harus mendapat prioritas penyelesaian agar
pemerintah memiliki legitimasi.
Tamparan
Mencuatnya persoalan Lusikawak dan puluhan
kasus di wilayah Nubatukan, merupakan tamparan bagi Pemkab Lembata. Bagaimana
pun kasus tersebut dan sejumlah kasus lain di Nubatukan mencerminkan rendahnya
perhatian dan sensitivitas pemerintah selaku pelayan masyarakat.
Kondisi ini diperburuk lagi dengan minimnya
kepedulian DPRD terhadap persoalan masyarakat yang nota bene bermukim di
beranda “Peten Ina”. Direktur Social Development Center Thomas Koten menyebut, tata laku politikus (wakil rakyat) seperti
ini memancarkan sebuah kesimpulan bahwa tabiat mereka lekat dengan katastrofe
kemanusiaan. Nilai-nilai agung kemanusiaan yang melekat pada dirinya sebagai
makhluk beradab runtuh (Sinar Harapan,
4 Juni 2012).
Karena itu, keluhan camat pantas lahir.
Keluhan itu lahir tak hanya untuk Pemkab Lembata dan dan jajarannya selaku
pemegang otoritas kekuasaan di wilayahnya. Keluhan tersebut tidak langsung
menjadi tamparan atas peran DPRD secara kelembagaan dan para anggota legislatif
selaku pemegang mandat rakyat. Mengapa? Para politikus “Peten Ina” mestinya
berpaling dan ikut memikirkan jalan keluar yang tengah membelit masyarakat.
Pengajar Ilmu Politik Universitas Paramadina
Djayadi Hanan menilai, kadang politikus yang mengemban tugas sebagai wakil
rakyat hanya memikirkan diri sendiri, egois.
Para politikus tak peduli rakyat. Padahal,
mereka adalah orang-orang terseleksi. Mereka memiliki komitmen mengabdi, bukan
mencari penghidupan. Mereka juga memiliki keterampilan yang cukup untuk membuat
kebijakan yang menguntungkan rakyat (Republika,
15 Mei 2012).
Fungsi DPRD
Menjelang pelantikan 25 anggota DPRD Lembata
periode 2009-2014 pada 1 September 2009, penulis sempat menguraikan sekilas
tugas dan fungsi wakil rakyat. Pertama, fungsi legislasi yaitu kewenangan
penyusunan peraturan daerah, yaitu menginisiasi lahirnya rancangan peraturan
daerah (Ranperda) dan juga membahas dan menyetujui/menolak Ranperda yang
diusulkan eksekutif.
Kedua, fungsi anggaran (budgeting), yaitu menyusun dan
menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ketiga, fungsi pengawasan (controlling) yaitu
melakukan pengawasan terhadap implementasi perda dan peraturan lainnya,
pengawasan pelaksanaan APBD, mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah daerah
dalam pelaksanaan pembangunan daerah (Pos
Kupang,
31 Agustus 2009).
Sepintas, tugas wakil
wakil rakyat jelas. Namun, mengapa mereka kurang peka terhadap tugas pokoknya?
Analis politik UI kelahiran Manggarai, Boni Hargens, menyebut beberapa alasan.
Pertama, ada tendensi wakil rakyat memandang jabatannya sebagai sesuatu yang
istimewa sehingga ia harus menjadi manusia istimewa atau (istilah Iwan Fals)
“manusia setengah dewa”.
Kedua, para wakil
rakyat sebenarnya bingung dengan tugas dan peran yang harus dijalankan. Si
wakil rakyat tidak jelas mengerti apa yang seharusnya dan tidak seharusnya
dilakukan.
Ketiga, lemahnya
ikatan emosional antara wakil dan yang terwakil. Perubahan sistem pemilihan,
dari proporsional ke proporsional-terbuka, yang diatur UU No. 12 Tahun 2003
dimaksudkan untuk menjamin kedekatan emosional antara wakil dan yang terwakil
dengan asumsi rakyat mengenal wakilnya.
Kenyataannya,
kedekatan emosional tak terbangun karena yang maju ke gelanggang kontestasi
pemilu adalah figur-figur yang memiliki uang dan jaringan sehingga rakyat mudah
dimobilisasi untuk datang ke tempat pemungutan suara meski nuraninya mungkin
tidak menginginkan si calon.
Proaktif
Persoalan yang
dihadapi 45 keluarga di Lusikawak (barangkali) merupakan sebuah masalah
sederhana jika Pemkab dan DPRD Lembata mau proaktif menyelesaikannya. Begitu
juga persoalan-persoalan masyarakat lainnya sepert Ur Mitem dan di seluruh
wilayah di Lembata.
Misalnya, sengketa
tapal batas antara warga Uruor dan Puor yang sempat mencuat beberapa waktu
lalu. Pun protes pemilik tanah di Bandara Wunopito yang kini belum tuntas
diberikan ganti rugi. Dalam konteks ini, sesungguhnya pemerintah sedang
diingatkan tentang bom waktu konflik pertanahan yang sekali-kali bisa meletus
jika tidak dikelola dengan cerdas.
Kita tentu ingat
kasus Mesuji di Lampung, kasus Sape di Nusa Tenggara Barat maupun kasus di Deli
Serdang, Sumatera Utara. Kasus tersebut telah memompa semangat komunal warga
berseberangan dengan pelaku bisnis gara-gara urusan tanah tidak jelas atau
dicaplok begitu saja tanpa ganti rugi.
Dalam konteks
Lusikawak, misalnya, siapa pun tentu tidak ingin persoalan itu berlarut-larut
karena akan mengganggu jalannya pembangunan. Pemkab dan DPRD Lembata beserta
semua pemangku kepentingan, terutama Camat Nubatukan dan perangkat di bawahnya,
perlu segera duduk bersama melakukan pendekatan, terutama masyarakat yang
merasa dirugikan untuk ikut mencari jalan tengah penyelesaiannya.
Hal ini penting dan
diperlukan sebagai bukti kehadiran negara (pemerintah) di tengah masyarakat
agar mendapat legitimasi. Sedangkan bagi DPRD, duduk bersama ini sekaligus
menegaskan posisinya menjalankan politik bermartabat dan tetap menjadikan
rakyat kiblat pengabdian.
Politik bermartabat, meminjam F. Budi Hardiman
(Kompas, 15
Oktober 2010), mengubah rakyat dari sekadar ”hidup belaka” (bare
life) menjadi ”hidup yang baik” (good life). Martabat politik sang pemimpin
memancar dari keberanian, komitmen, dan konsistensinya dalam menggerakkan suatu
kelompok menjadi suatu bangsa yang berdaulat.
Sumber: Flores Pos, 25 Juli 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!