Peneliti Hukum
Indonesia Corruption Watch
Divisi Hukum dan
Monitoring Peradilan
Judul tulisan ini mungkin berlebihan. Lagi pula apa
vampir benar-benar ada? Namun, itulah yang diucapkan oleh sutradara film Abraham Lincoln: Vampire Hunter bahwa
beberapa politisi adalah vampir.
Ia bicara dalam bungkus metafora. Petikan ini bisa jadi
memiliki makna khusus untuk membaca realitas politik di Indonesia akhir-akhir
ini.
Kisah pengisap darah itu mirip dengan cerita penguasa
yang merampas hak-hak mendasar warga negaranya. Berjubah wakil rakyat, tetapi
bersekongkol merampok anggaran negara dan menjual kewenangan yang dimilikinya.
Tentu tak semua politisi seperti ini. Agar ada perbedaan diksi, saya mencoba
menggunakan kata politikus, poli dan tikus.
Jumat minggu lalu dimulai dengan kabar seorang anggota
DPR dari Fraksi Golkar, yang bertugas di Badan Anggaran DPR, ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus dugaan korupsi Al Quran. Kita terperenyak. Rasanya
”batas” yang selama ini relatif masih dipatuhi sekarang dilabrak
Dari sudut pandang korupsi politik, ini lahir dari
persekongkolan politik dengan kelompok bisnis atau korupsi yang dilakukan demi
kepentingan dana politik. Korupsi tipe inilah yang perlu jadi prioritas utama.
Betapa tidak, setelah amandemen UUD 1945, kecenderungan kewenangan yang besar
di eksekutif atau pemerintah bergeser ke legislatif.
Di satu sisi, ini menjawab kekhawatiran tentang kekuasaan
yang sebelumnya berpuncak di tangan presiden. Namun, di sisi lain, kekuasaan
politik sepertinya membengkak di tangan badan legislatif.
Tak hanya di dalam UUD 1945, perluasan kewenangan juga
diatur dalam undang-undang tentang lembaga perwakilan rakyat, seperti memilih
dan mengesahkan pemimpin pejabat publik serta terkait dengan alih fungsi hutan.
Selain kewenangan formal tersebut, pengaruh kekuatan
politiknya sangat besar pula. Sebut saja jawaban menteri yang terkooptasi oleh
”logika” bagi-bagi kue politik. Belum lagi pengaruh elite untuk mengatur
anggaran dan pemenangan proyek tertentu.
Dari beberapa kasus yang ditangani KPK akhir-akhir ini,
kita semakin paham bahwa politikus benar-benar bisa bermain merampok uang
rakyat melalui kewenangannya.
Sebutlah kasus wisma atlet yang menjerat jajaran elite
Partai Demokrat dan mulai mengungkap praktik kotor di Badan Anggaran DPR. Ada
juga kasus DPID, yang menjerat salah satu anggota Badan Anggaran DPR dari
Fraksi PAN, yang sekarang sedang menghadapi persidangan kasus korupsi dan
pencucian uang di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Membaca data Komisi Pemberantasan Korupsi, setidaknya
sudah 57 perkara korupsi yang menjerat anggota DPR dan DPRD. Sebagian besar,
sekitar 46 di antaranya, adalah mereka yang pernah duduk sebagai anggota DPR.
Dilihat dari karakter kasus korupsi yang menjerat wakil
rakyat ini, kita menemukan beberapa model yang menarik: suap dalam pemilihan
pejabat publik, suap dalam alih fungsi hutan, suap terkait proyek APBN, dan
suap terkait pembahasan anggaran di Badan Anggaran DPR.
Itulah korupsi yang menimbulkan efek domino dan potensial
menimbulkan korupsi jenis lain. Hal ini diperburuk dengan realitas minimnya
keterbukaan dana politik. Partai sebagai satu-satunya pemasok (ke DPR) dan
mempunyai pengaruh besar dalam pengambilan keputusan belum bisa diyakini
sebagai sektor yang bersih. Korupsi yang menjerat jajaran elite partai
terungkap dari hari ke hari.
KPK Dilemahkan
Di sisi lain, terhadap kerja KPK membongkar korupsi para
politikus itu, kita juga dihadapkan pada realitas bahwa pelemahan terhadap KPK
terusmenerus terjadi. Sebuah lembaga khusus untuk memberantas korupsi yang
dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 senantiasa menjadi sorotan.
Berbagai upaya memangkas kewenangan KPK terjadi:
menghilangkan kewenangan lembaga ini sebagai penuntut dengan harapan bahwa
kekuatan politik masih bisa menekan dan memengaruhi proses penuntutan di luar
KPK.
Selain itu, kewenangan KPK melakukan penyadapan juga
dianggap sebagai musuh. Mengapa? Karena konon banyak anggota DPR serta pejabat
pemerintah dan swasta yang ditangkap tangan oleh KPK karena sebelumnya lembaga
ini berhasil menyadap komunikasi mereka.
Upaya pelemahan itu bukan halusinasi. Pada pembahasan
Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sempat terselip dalam
proses pembahasan agar KPK tidak bisa menuntut terdakwa korupsi di Pengadilan
Tipikor.
Kemudian, di sisi pemerintah pun, upaya mengebiri
kewenangan penyadapan KPK pernah terjadi ketika rancangan peraturan pemerintah
soal penyadapan ini sampai di tangan publik. Sekarang rencana melakukan revisi
terhadap UU KPK bergulir, bahkan draf RUU KPK tersebut sudah ada di tangan DPR.
Dalam konteks itulah kemudian kita berpikir, apa benar
DPR punya setitik komitmen memberantas korupsi? Secara personal mungkin masih
ada orang- orang yang relatif bersih. Namun, melihat realitas akhir-akhir ini?
Rasanya sulit percaya bahwa kerja pemberantasan korupsi didukung oleh kekuatan
politik.
Gedung KPK
Dalam beberapa hari ini diskursus publik diributkan
dengan soal anggaran gedung baru KPK yang belum kunjung disetujui DPR, dengan
berbagai argumen yang sungguh tidak masuk akal, seperti mengatakan bahwa KPK
adalah lembaga ad hoc, sembari mengartikan dengan salah paham bahwa ad hoc
berarti ”dibentuk untuk sementara”, dan argumen penghematan anggaran negara.
Mengingat kebutuhan KPK yang sangat nyata dan terukur,
logika dan akal sehat kita mengatakan bahwa KPK memang perlu didukung oleh
fasilitas gedung yang tentu tidak mewah, tetapi fungsional. Bukan untuk
kepentingan KPK, melainkan demi nasib bangsa ini ke depan agar korupsi tidak
terus-menerus menggerogoti Indonesia.
Soal prestasi pun, meskipun tak luput dari kritik, KPK
yang sudah menyerap anggaran Rp 1,376 triliun dari 2004 hingga 2011 ternyata
telah memulangkan Rp 954,36 miliar dari pengembalian kerugian negara dalam
kasus korupsi yang ditangani dan gratifikasi. Kemudian penyelamatan aset negara
dari sektor pertambangan, migas, dan kementerian/lembaga lainnya Rp 152,9
triliun.
Data yang bersumber dari Laporan Tahunan KPK 2004-2011
dan anti-corruption clearing house (acch.kpk.go.id) menunjukkan bahwa KPK sudah
mulai bekerja untuk bangsa ini. Tentu tidak seperti data-data yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan seperti yang diumbar sejumlah kekuataan politik, yang
selalu mengatakan bahwa KPK tekor!
Selain itu, sumbangan nonfinansial juga telah memberikan
efek, seperti adanya harapan bahwa penegakan hukum masih punya tempat dan tidak
tunduk dibawah bendera politik. Dan, efek pencegahan yang sedang berproses.
Namun, dalam jangka panjang, memang kita perlu juga
menghindarkan pembentukan persepsi bahwa DPR itu kotor dan busuk sepenuhnya
sehingga kita tidak butuh DPR. Dalam konteks demokrasi yang sehat, penguatan
partai politik dan DPR adalah sesuatu yang penting dilakukan.
Pemberantasan korupsi adalah salah satu jawabannya.
Seperti metafor, mengepung dan mengusir politikus vampir dari negeri ini dan
membangun sistem agar mereka lebih sulit kembali.
Sumber: Kompas, 5
Juli 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!