Peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS);
Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
Hari Raya Kurban adalah hari kemenangan bagi
manusia. Dalam peristiwa kurban agung, Nabi Ibrahim “tidak terjadi”
mengurbankan anaknya. Ketidakterjadian ini bukan karena Nabi Ibrahim ataupun
anaknya (Nabi Ismail) menghindar dari perintah ilahi, melainkan semata karena
kehendak-Nya.
Hingga yang dikurbankan bukan manusia,
melainkan hewan sembelihan. Tuhan mengagungkan dan menghormati manusia sebagai
makhluk-Nya yang paling dibanggakan, bahkan di hadapan jin dan para
malaikat.Tuhan “tidak rela” makhluk terbaik–Nya dikorbankan untuk hal-hal apa
pun, bahkan atas nama diri-Nya sekalipun. Inilah salah satu refleksi penting
dari Hari Raya Kurban.
Refleksi ini sangatlah urgen dalam situasi
yang sarat dengan krisis kemanusiaan seperti sekarang. Di mana manusia acap
menjadi korban kejahatan manusia lain, baik secara langsung maupun tidak secara
langsung. Bahkan, tak jarang aksi kekerasan dilakukan oleh pihak-pihak tertentu
atas nama agama.
Kekerasan Bernuansa Agama
Hingga hari ini kekerasan bernuansa agama
masih menjadi salah satu persoalan utama di negeri ini. Baik aksi kekerasan
yang bersifat antaragama maupun intraagama. Kekerasan bernuansa agama telah
membuat manusia kehilangan derajat dan martabat, baik para korban maupun para
pelaku aksi kekerasan. Disebut demikian karena para korban kerap diperlakukan
secara tidak manusiawi; dipukul, dibunuh, rumahnya dibakar, bahkan juga rumah
ibadahnya.
Adapun para pelaku anarkis karena perbuatan
mereka tidak mencerminkan akal budi yang dimilikinya, alih-alih nilai-nilai
luhur agama. Hal yang tak kalah penting adalah kekerasan atas nama agama telah
mengeringkan agama dari ajaran-ajaran luhur yang ada di dalamnya. Ibarat sebuah
botol yang penuh dengan minuman segar di dalamnya, aksi kekerasan telah membuat
botol itu kosong melompong.
Tak heran bila botol itu kemudian menjadi
rawan pecah dan bisa menggoreskan luka di sana-sini. Dalam hemat penulis,
kehidupan umat bergama dalam beberapa waktu terakhir cenderung mengalami nasib
seperti botol kosong dalam ibarat di atas.
Keberagamaan menjadi suatu kerawanan yang
akut bagi terjadinya konflik, aksi kekerasan, atau setidaknya segregasi sosial,
sehingga masyarakat terpecah-pecah dalam bentuk kelompok-kelompok tertentu yang
tidak jarang terlibat dalam baku-konflik tertentu pula. Padahal secara
normatif, agama sangat menekankan pentingnya perdamaian. Begitu juga agama
sangat menekankan urgensi persatuan dan gotong royong yang jauh dari semangat
segregasi dan apatisme sosial.
Aksi Terorisme
Terorisme adalah puncak dari kekerasan atas
nama agama, mengingat aksi berdarah ini kerap mengorbankan masyarakat umum
secara brutal.Semua ini dilakukan dengan dalih keagamaan,seperti klaim
memerangi orang kafir, mati syahid,jihad. Hingga sekarang, terorisme masih jauh
dari kata selesai.
Penangkapan sejumlah orang di beberapa tempat
mutakhir (seperti Solo, Depok, dan Poso) menjadi salah bukti terkini terkait
dengan ancaman terorisme yang terus membayangi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Bahkan, kelompok teroris tampak semakin berani menantang aparat
keamanan seperti terlihat dari surat atas nama Santoto alias Abu Musyab Az-Zaraqawi Al-Indunisi yang beredar luas di media beberapa waktu lalu.
Ini merupakan sebuah ironi, mengingat perang
melawan terorisme terus digalakkan oleh aparat keamanan. Bahkan, aparat
keamanan telah berhasil meringkus, menangkap, dan membawa para pelaku teror di
Indonesia ke meja pengadilan. Khususnya tokoh-tokoh utama mereka seperti
Azhari, Noordin M Top, Dulmatin, Amrozi dkk, dan seterusnya. Alih-alih jaringan
terorisme tampak mengalami perubahan yang sangat fundamental. Setidaknya dalam
tiga hal utama.
Pertama, perubahan secara struktural.Dalam
beberapa waktu terakhir, jaringan terorisme cenderung mengecil dan terus
mengecil (dari sisi keanggotaan di masing-masing sel). Di mana satu sel
jaringan beranggotakan hanya puluhan orang. Hal ini sangat berbeda dengan
postur jaringan terorisme pada tahun-tahun sebelumnya, khususnya saat para
tokoh utama terorisme masih belum berhasil ditangkap dan dilumpuhkan oleh
aparat keamanan.
Bila sebelumnya jaringan terorisme tak
ubahnya gedung tinggi menjulang yang bisa dilihat secara kasatmata, setelah
meninggalnya tokoh-tokoh utamanya, terorisme justru berubah menjadi
“bangunan-bangunan” kecil yang sulit untuk dideteksi,khususnya oleh masyarakat
luas. Inilah tantangan terorisme mutakhir. Saat ini tak ada lagi organisasi
terorisme yang dapat dirujuk sebagai sumber utama terorisme seperti halnya
Al-Qaeda pada zaman Osama bin Laden.
Saat ini tak ada lagi tokoh menonjol yang
dapat disebut sebagai “bapak terorisme” seperti pada era Osama bin Laden,
Noordin M Top, dan yang lainnya. Akibat dari perkembangan di atas, para teroris
tak lagi membutuhkan restu dari organisasi atau tokoh yang diseganinya dalam
menjalankan aksi teror. Justru para teroris bisa melakukan aksi terorisme
secara sendiri-sendiri, kapan pun dan terhadap siapa pun. Inilah yang di
kalangan para pengamat terorisme dikenal dengan istilah fase jihad fardiyah
atau jihad individual (Sholahudin,2011).
Kedua,perubahan dari segi target operasi.Dari
segi target operasi, aksi terorisme mutakhir juga mengalami perubahan yang
sangat mendasar. Telah dimaklumi bersama, pada waktu-waktu sebelumnya,
simbol-simbol negara asing (khususnya negara-negara Barat) kerap menjadi
sasaran aksi terorisme, seperti kedutaan asing, tempat berkumpulnya warga
asing, dan seterusnya.
Namun demikian, dalam beberapa waktu terakhir
para teroris tampak mulai meninggalkan “pola lama” di atas. Mereka tampak pola
baru yang menjadikan simbol-simbol kekuasaan negara sebagai target,mulai
asetaset yang dimiliki oleh negara hingga aparat pemerintahan, khususnya aparat
keamanan. Bahkan, masjid pun mulai dijadikan sebagai target serangan mereka
seperti pernah dilakukan oleh Syarif dan kelompoknya di Cirebon beberapa waktu
lalu.
Ketiga,dari segi rekrutmen. Jaringan
terorisme dalam beberapa waktu terakhir tampak mulai menjadikan para pemuda
sebagai pembasisan utama. Hal ini terlihat jelas dari keterlibatan sejumlah
anak muda dalam pelbagai macam aksi terorisme mutakhir. Di antara mereka baru
berumur 11-an atau 20-an tahun.
Di sinilah pentingnya refleksi Hari Raya
Kurban sebagaimana di atas.Hari Raya Kurban datang setiap tahun menyapa
kehidupan umat manusia untuk menegaskan bahwa aksi kekerasan apa pun tidak
dapat dibenarkan. Bila ada aksi kekerasan yang bisa dibenarkan, niscaya Tuhan
tidak akan mengganti anak Nabi Ibrahim yang hendak dikurbankan dengan hewan
sembelihan,karena kurban ini dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya
semata-mata demi agama dan Tuhan.
Toh, pada akhirnya Tuhan tidak rela manusia
dikurbankan atas nama diri-Nya. Sebaliknya, melalui peristiwa kurban Tuhan
mengajarkan agar manusia senantiasa berlaku cinta kasih, terhadap lingkungan,
terlebih lagi terhadap sesama manusia. Tuhan Mahakasih telah meneladankan
pengamalan ajaran kasih dalam kehidupan ini.
Hingga Tuhan tak pernah melarang matahari-Nya
untuk menyinari mereka yang ingkar terhadap ajaran-Nya. Begitu juga Tuhan tidak
menarik bumi-Nya yang dijadikan tempat tinggal, mencari rezeki, bahkan tempat
melakukan keburukan terhadap-Nya.
Atas nama cinta kasih, manusia harus
dihormati sebagaimana Tuhan Mahakasih menghormatinya. Inilah semangat kurban
yang disimbolisasi melalui daging yang melimpah ruah pada lebaran ini. Selamat
merayakan Hari Raya Kurban 1433 H.
Sumber: Sindo, 26 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!