Kolumnis dan Aktivis Lintas Agama;
Alumnus STFT Widya Sasana Malang & Seminari St Vincent de Paul
Kita prihatin, masih saja terjadi kekerasan
atas nama agama di negeri ini. Kekerasan bisa berupa serangan pada penganut
yang seagama tapi berbeda mazhab seperti pada penganut Ahmadiyah dan Syiah.
Kekerasan juga bisa berupa pelarangan
pendirian tempat ibadah lewat kebijakan otoriter kepala daerah dengan dukungan
ormas keagamaan seperti kasus GKI Yasmin, atau penyegelan cukup banyak gereja
berbagai kawasan di negeri ini.
Kekerasan seperti itu jelas tidak bisa
dibenarkan. Dilakukan oleh siapa pun, disponsori lembaga apa pun, kekerasan itu
sungguh merupakan sesuatu yang biadab dan merendahkan martabat luhur manusia.
Jelas ada unsur pelanggaran HAM berat dalam kekerasan bernuansa agama tersebut.
Meski pihak penyerang atau yang menyegel
menggunakan atribut dan simbol-simbol agama tetentu, kekerasan itu tetap tidak
bisa dibenarkan oleh akal sehat kita.
Matinya Akal Sehat
Namun mungkin saja akal sehat kita memang
sudah mati karena kekerasan, khususnya kepada kaum minoritas seperti Syiah,
Ahmadiyah, umat kristiani, dsb, kadang malah sudah diketahui informasinya oleh
aparat kepolisian. Kekerasan atas nama agama menjadi bukti bahwa setelah 67
tahun merdeka, kita ternyata masih sulit untuk bisa menerima perbedaan.
Yang berbeda dianggap sebagai sebuah aib dan
pantas serta sah untuk dilenyapkan. Ini jelas merupakan bentuk pengkhianatan
terhadap cita-cita para pendiri bangsa agar Indonesia bisa menjadi rumah yang
aman dan nyaman bagi semua orang dari semua agama.
Padahal dulu negeri ini dikenal sebagai
negeri yang ramah dan warganya bisa saling menghargai perbedaan. Kini tampaknya
kita harus kembali dari nol untuk belajar menghargai keberagaman dan perbedaan.
Indonesia di mata dunia kini dipandang
sebagai negeri penuh intoleransi. Indonesia lebih buruk daripada Israel. Itu
karena di negeri Yahudi tersebut, baik Kristen atau Islam dengan segala aliran,
justru terus tumbuh, meski kekejaman bangsa itu terhadap bangsa Palestina tidak
bisa kita terima.
Menyedihkan bahwa sebagian warga kita telah
memilih menjadi “bigot”. Dalam psikologi, istilah “bigot” menunjuk pada orang
yang sangat kuat loyalitasnya pada kelompok tertentu, entah agama, etnis,
partai politik, sekolah, kampus, kampung, dan sebagainya.
Orang semacam ini sama sekali sudah tak punya
toleransi terhadap golongan lain yang yang tidak sepaham. Agama yang seharusya
menjadi jalan pembebasan pun bagi penganut agama yang “bigot” justru bisa
ditafsirkan sebagai alat untuk menindas yang berbeda. Orang “bigot” memang
sangat mudah menghakimi orang lain. Kategori kafir dan sesat bisa dengan cepat
meluncur.
Memperbincangkan tafsir, memang sebenarnya
semua kekerasan itu bisa didorong oleh tafsir sehingga ketika seorang “bigot”
punya tafsir yang banal atas agama yang dianutnya, maka dijamin pesan sejuk
agama bisa dipelintir menjadi pesan penuh amarah. Pemahaman keagamaan yang
sepotong, dijadikan sesuatu yang kebenaranya absolut.
Tuhan pun bisa ditafsirkan tidak toleran dan
seolah hanya berpihak pada “agamaku” sendiri sebagai agama yang paling benar,
sedangkan semua agama yang lain adalah sesat. Tuhan di mata para “bigot” seolah
“sosok” yang haus kekuasaan dan gila hormat. Memang orang bebas menafsirkan,
tapi jangan pernah memonopoli dan memaksakan tafsir pada pihak lain.
Tafsir seperti itu, ditambah sifat “bigot”
semakin mendorong pemahaman keagamaan yang ekstrem. Ekstremitas atau
radikalisme kini memang menjadi problem di banyak belahan dunia, tak terkecuali
Indonesia. Banyak hal tak masuk akal terjadi, ketika pemahaman keagamaan sudah
menjadi ekstrem.
Maka kita perlu menggunakan akal sehat
kembali, karena akal sehat mati ketika kekerasan kian marak. Coba kalau kita
sungguh berakal, tentu kita prihatin.
Jangankan mau menghunus pedang, mau mencubit
sesama pun pasti tidak akan jadi kalau akal sehat dan nurani masih dipakai. Itu
karena segala bentuk kekerasan sebenarnya merupakan tindakan yang tidak
manusiwi lagi, lebih rendah daripada kelakukan binatang buas mana pun.
Padahal kalau orang gemar mengobral kekerasan
atas nama agama, sebenarnya ini menjadi promosi yang buruk bagi agama yang kita
anut. Kekerasan jelas merusak citra agama sebagai pembawa pesan perdamaian.
Jika tanpa kekerasan atas nama agama saja, kita sudah dibuat muak maka
kekerasan atas nama agama benar-benar membuat kita semakin muak.
Tidak heran, meski di negeri kita secara
formal tidak ada pengakuan terhadap ateisme, tapi jika hendak dilakukan
penelitian, kini cukup banyak orang khususnya di kota-kota besar lebih memilih
menjadi ateis daripada beragama tapi memuja kekerasan. Karya dan pemikiran
Daniel Denett, Christopher Hitchens, Richard Dawkin, atau Sam Haris yang ateis
diam-diam banyak dibaca di kota-kota besar di negeri ini.
Kekerasan yang dilakukan oleh sebagian orang
dengan membawa atribut agama, jika dikaji secara mendalam memang amat
bertentangan dengan ajaran agama sebagai pembawa kebaikan, keadilan dan
kedamaian.
Kekerasan juga amat bertentangan dengan
kemanusiaan karena dalam setiap kekerasan pasti ada martabat manusia yang
dilecehkan, termasuk di dalamnya kaum perempuan dan anak-anak. Pernahkah kita
memikirkan masa depan anak-anak yang mengalami pengucilan, kehilangan akses
pendidikan, bahkan status kependudukan, gara-gara agama yang dianut orang
tuanya?
Biasanya yang dijadikan alasan adalah masalah
akidah atau dogma atau rebutan klaim kebenaran. Padahal terkait sesat tidaknya
sebuah agama, biarlah menjadi urusan Sang Pencipta saja. Tuhan tidak memerlukan
juru bicara atau pembela, apalagi polisi atau hakim agama dan menghalalkan
kekerasan. Masalahnya, bisa tidak kita sebenarnya untuk menerima perbedaan.
Silakan orang meyakini penafsiran keagamaan
model apa pun, tapi biarkan juga orang lain punya keyakinannya sendiri. Jangan
menghakimi keyakinan orang lain dengan paham kita, apalagi diekspresikan dalam
tindak dan perilaku kekerasan terhadap yang lain.
Kembali ke Jati Diri Agama
Maka kita perlu kembali belajar untuk
berbeda, tanpa perlu meletupkan kekerasan pada pihak lain. Semua agama membawa
pesan damai dan damai ini sebenarnya harus dirasakan oleh orang-orang lain.
Mari ingat bahwa negara ini bukan negara agama dan bukan dimaksudkan untuk
melindungi satu agama atau aliran saja.
Semua penganut agama dijamin dalam konstitusi
kita, khususnya UUD 1945 Pasal 28 E ayat 1 dan 2 serta UU No 39/1999 tentang
HAM. Maka dalam bertindak, khususnya kepolisian, justru jangan membela satu
kelompok saja, tapi semua perlu dilindungi. Polisi jangan memperkeruh keadaan,
hanya karena ingin mencari selamat.
Yang suka memuja kekerasan, mari merenungkan
kalimat Bawa Muhayaiddeen. Menurut Sufi dari Amerika Serikat itu, setiap
penganut agama adalah musafir yang sedang mengembara di gurun pasir untuk
menuju suatu tempat keabadian.
Kita ibaratnya sedang mencari air kesejukan
di sebuah oasis untuk bekal dalam perjalanan panjang. Sesampai di oasis itu,
sebagian besar manusia lupa mengambil air kesejukan karena lebih suka melihat
perbedaan wadah air itu. Ada yang membawa wadah air dari logam, ada yang dari
kuningan, ada yang dari kayu, dan sebagainya.
Manusia saling menyalahkan bahwa wadah yang
dibawa orang lain salah karena seharusnya orang lain memakai wadah seperti yang
dimilikinya. Mereka juga sering beradu pendapat, berkelahi bahkan saling
membunuh.
Ketika waktunya telah habis, mereka tidak
sempat mengisi wadahnya dengan air kesejukan. Tragis! Jadi mari kembali ke jati
diri agama sebagai pembawa cinta kasih dan damai, bukan pembawa kebencian dan
mengobral kekerasan.
Sumber: Sinar Harapan, 27 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!