Guru Besar Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia
Satu atau dua
minggu lalu, di Pekanbaru, pesawat tempur Hawk TNI jatuh di permukiman.
Masyarakat berlomba dengan TNI. Yang satu mau nonton, yang lain mau
mengamankan. Di antara masyarakat ada wartawan dengan kamera.
Salah satunya
bernama Didik Herwanto (Riau Pos). Seorang tentara, Letkol (AU) Robert
Simanjuntak, langsung mengejar, membanting, dan menginjak perut wartawan dengan
teknik judo atau jujitsu yang cantik (apalagi dilakukan oleh seorang perwira
senior yang sudah setengah baya). Kamera wartawan pun dirampas. Adegan yang
hanya beberapa detik ini diulang-ulang setiap hari berkali-kali sehingga
kesannya telah terjadi pelanggaran HAM berat.
Pastinya wartawan
marah, solider, didukung massa seluruh Indonesia yang sudah tahu via media.
Kepala Staf TNI AU minta maaf, tetapi demo malah makin marak. Pelanggaran UU
Pers, katanya. Wartawan tidak boleh dicegah dalam mencari informasi untuk
masyarakat. Letkol Simanjuntak pun mau dimutasi oleh pimpinan TNI, tetapi
wartawan tidak setuju.
Harus dibawa ke
pengadilan negeri. Nggak mau tahu, walaupun Simanjuntak anggota militer, tetap
harus diadili di pengadilan negeri (yang berarti melanggar UU, loh).
Singkatnya, TNI sudah pasti salah,wartawan so pasti benar. Tapi apa iya? Ketika
wartawan mengikuti nalurinya untuk mencari berita, TNI pun punya naluri untuk
mengamankan TKP. Mereka memang dididik seperti itu, seperti wartawan dididik
mencari berita.
Pesawat terbang
buat TNI adalah aset negara yang mungkin mengandung rahasia negara. Mungkin
pilot terluka harus dievakuasi. Mungkin ada masyarakat terluka, perlu
pertolongan cepat. Wilayah kecelakaan harus disterilkan sehingga wartawan yang
spontan pasang kamera dianggap sebagai penghalang/pengganggu.
Secara refleks, TNI
menelikung dan membanting wartawan ke tanah, ya wajarlah. Jangankan wartawan,
setumpuk batu bata pun hancur berantakan dikarate oleh TNI. Memang mereka
dilatih untuk itu. Kalau ketika ada kecelakaan pesawat, TNI langsung
mempersilakan wartawan meliput dan memasang kursi-kursi untuk masyarakat yang
mau menonton, bahkan menyediakan Aqua untuk yang haus, baru aneh itu namanya.
Pada saat
berlangsung lobilobi terakhir sebelum UUD 1945 disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945, Sam Ratulangi, wakil dari Sulawesi,Tadjoedin Noor dan Ir Pangeran Noor,
wakil dari Kalimantan, I Ketut Pudja, wakil dari Nusa Tenggara, dan Latu
Harhary,wakil dari Maluku, datang ke Jakarta.
Mereka datang
sendiri atas inisiatif sendiri dengan biaya dari nenek moyang sendiri, naik
kapal laut selama beberapa hari yang waktu itu merupakan satu-satunya moda
perhubungan antarpulau (tidak seperti sekarang, dengan penerbangan pesawat
udara beberapa kali sehari ke setiap penjuru Indonesia, dengan biaya yang
relatif terjangkau). Kedatangan mereka pas sekali sebelum UUD 1945 disahkan.
Mereka semua berkeberatan
dan mengemukakan pendapat tentang bagian kalimat dalam rancangan Pembukaan UUD
yang juga merupakan sila pertama Pancasila sebelumnya, yang berbunyi, “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.??? Pada
Sidang PPKI I, yaitu pada18 Agustus1945, Hatta lalu mengusulkan mengubah tujuh
kata tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pengubahan kalimat
ini telah dikonsultasikan sebelumnya oleh Hatta dengan 4 orang tokoh Islam,
yaitu Kasman Singodimejo, Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan Teuku M
Hasan. Mereka menyetujui perubahan kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuan
bangsa. Dan akhirnya bersamaan dengan penetapan rancangan pembukaan dan batang
tubuh UUD 1945 pada Sidang PPKI I tanggal 18 Agustus 1945,Pancasila pun
ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia.
Jelaslah bahwa
rumusan Pancasila yang berlaku sampai hari ini sudah dipikirkan matangmatang
oleh para pendiri bangsa ini, termasuk oleh para pemimpin besar umat Islam
ketika itu. Dengan demikian tokoh-tokoh Islam pada waktu itu, termasuk Bung
Hatta, telah menerapkan sila ketiga, Persatuan Indonesia, yang penjabarannya
dalam Tap II/MPR/1978 dan Tap MPR No I/MPR/2003 tentang butir-butir Pancasila
adalah mengutamakan persatuan bangsa, rela berkorban demi bangsa dan negara,
cinta tanah air dan bangsa,serta bangga menjadi bangsa Indonesia.
Semangat itu
pulalah yang telah melahirkan Sumpah Pemuda 1928.Saya kutipkan di sini
sepenggal catatan sejarah dari Wikipedia, “Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober
1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Ikatan Pemuda Katolik) di
Waterlooplein(sekarang Lapangan Banteng). Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di
Gedung Oost-Java Bioscoop (Gedung Bioskop Jawa Timur), dan rapat penutup di
Gedung Indonesische Clubgebouw (Gedung Perkumpulan Indonesia) di Jalan Kramat
Raya 106 ...
Para peserta
Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada
pada waktu itu, seperti Jong (Pemuda) Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong
Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda
Kaum Betawi. Di antara merekahadir pula beberapa orang pemuda
Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio
Djien Kwie, namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang
mengutus mereka.
Sementara Kwee
Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai
oleh AR Baswedan, pemuda keturunan Arab di Indonesia mengadakan kongres di
Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.” Dari secuil kutipan
di atas tampak bahwa Republik Indonesia bukan bikinan, apalagi milik seseorang
atau segolongan tertentu.
Dalam kutipan itu
terbaca kata-kata Katolik, Islam,Tionghoa (China), Arab, Betawi, Sumatera,
Celebes (sekarang: Sulawesi), Java (sekarang: Jawa), Batak (dari dulu sampai
sekarang tetap Batak), dan tentu saja Indonesia. Para peserta Kongres Pemuda II
di Jakarta tahun 1928 itu tidak bermimpi akan menjadi pahlawanpahlawan
nasional, mereka hanya bercita-cita (istilah sekarang: punya visi) bahwa Republik
Indonesia yang akan lahir entah kapan adalah negara kesatuan, bukan negara
agama, negara etnik, maupun negara golongan.
Itulah sebabnya,
ketika pada 1945 ada yang menginginkan kata-kata dari agama tertentu disisipkan
dalam UUD 1945, langsung dilakukan koreksi, walaupun boleh jadi kata-kata itu
sendiri tidak akan berpengaruh dalam praktik kehidupan sehari-hari dari warga
negara yang beragama lain.
Didik Herwanto dan
Robert Simanjuntak akhirnya saling bermaafan, berpelukan, dan katawa-ketiwi.
Entah bagaimana caranya, kedua kubu menyadari bahwa konflik wartawan versus TNI
adalah konflik kekanak-kanakan yang tidak ada gunanya. Lain halnya dengan
konflikkonflik lainnya. Nasib orang Papua sebenarnya sama saja dengan orang
Betawi atau orang Jawa lainnya.
Banyak yang miskin
dan merasa tidak diperlakukan dengan adil. Bahkan etnik Papua adalah gudangnya
juarajuara Olimpiade Fisika dan Matematika. Tapi mengapa orang Papua harus
membawabawa bendera Bintang Kejora. Untuk apa? Timor Leste tidak menjadi lebih
baik dibandingkan dengan ketika masih berstatusTimor-Timur. Sebaliknya, Aceh
sekarang sudah mulai menikmati kemajuan perekonomiannya.
Begitu juga yang
berjuang, berjihad fi-sabilillah, dengan bom dan mesiu. Untuk apa? Apa hasilnya
kecuali korbankorban yang tidak berdosa? Semangat Sumpah Pemuda adalah bersatu,
bukan berselisih, bertengkar, apalagi tawuran.
Kita memang
berbeda-beda, tetapi selama kita lupakan perbedaan itu dan kita fokus ke
persamaan cita-cita (untuk menyejahterakan rakyat, mencerdaskan bangsa, dan
menjaga perdamaian dunia), insya Allah NKRI akan tetap bersatu.
Sumber: Kompas, 28
Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!