Warga Lembata, isteri anggota DPRD Lembata
Saya warga Lembata.
Bersuamikan anggota DPRD Lembata. Jika saya memutuskan untuk menuliskan ini
semua, bukan karena saya tidak bisa bicara langsung denganmu di rumah. Saya
punya keyakinan, mewakili banyak suara yang tidak bisa bersuara karena tidak
punya ruang. Di sini, saya hanya mau menegaskan (lagi) bahwa sekadar sebuah
wacana saja pun, penganggaran Rp 4,3 M untuk 22 mobil dinas (mobnas) untuk (mu)
masing-masing anggota DPRD Lembata itu sudah menyakitkan rakyat yang memilihmu.
Mengapa
menyakitkan?
Tidak perlu
jauh-jauh keluar dari Kota Lewoleba untuk melihat betapa memprihatinkan
infrastruktur dasar, jalan. Dari rumah (kita), dan para anggota dewan lain ke
gedung Peten Ina, begitu banyak jalan yang berlubang sana-sini. Bahkan ada
jalan tanah berdebu yang sudah pasti membuat sepatu hitammu (juga lainnya?)
ditempeli debu. Itu baru debu yang menempeli sepatumu. Anak-anak dan orang
dewasa di Lembata tercatat sebagai penderita Ispa cukup tinggi di Lembata.
Salah satu faktor penyebabnya: debu.
Masih soal
infrastruktur jalan, seorang ibu guru dari Bakan di Kecamatan Atadei pernah
menjual sayur Labu Jepang dan kebetulan saya membelinya. Ibu guru juga jualan
sayur? tanya saya dengan rasa ingin tahu.
“Iya, kebetulan
saya ke kota. Kami di sana (Bakan) sayur ini melimpah, buang-buang saja karena
kendaraan tidak ada. Hanya satu saja oto dan orang berebutan naik. Kalau bawa
barang banyak tidak bisa,” katanya menjelaskan. Kenapa tidak ada kendaraan yang
mau mengambil rute ke daerah ‘hasil’ seperti itu? Jawabannya: karena jalannya
buruk. Sangat buruk! Hanya sopir nekat saja yang berani sampai di kampung
bernama Bakan dan sekitarnya itu. Dalam hati saya bergumam, ini juga karena dia
seorang ibu guru yang lebih punya peluang ke Kota Lewoleba untuk urusan dinas
tapi membawa serta sayuran untuk dijual. Bagaimana dengan masyarakat petani
yang punya hasil berlimpah tapi tidak bisa mendatangkan uang, hanya karena
infrastruktur jalan yang tidak menunjang. Jangan hitung dulu uang untuk membeli
kebutuhan sehari-hari, berharap anak-anaknya bisa diongkosi sekolah setelah SD
atau SMP saja mungkin tak bisa.
Itu baru kisah dari
Bakan. Salah satu dari sekian desa di Atadei yang memiliki akses jalan buruk.
Kondisi jalan ke Ile Ape, Ile Ape Timur, ke Lamalera di Kecamatan Wulandoni
yang dikenal dunia sebagai daerah wisata juga tak kalah buruknya. Juga di
Kedang, Lebatukan dan Nagawutun. Masyarakatnya juga punya kisah yang sama,
betapa menderitanya mereka ketika harus ke kota.
Tak hanya jalan.
Air juga masih menjadi masalah yang memprihatinkan di Lembata. Bukankah sering
ada guyon untuk melukiskan sulitnya mendapatkan air bersih di Kedang atau juga
di Leragere (Lewoera, Lodoblolong, Lewoeleng, Balurebong, Serang Gorang dstny)
Kecamatan Lebatukan. “Kalau mandi harus menuruni jalan berkilo-kilo. Selesai
mandi harus mendaki berkilo-kilo pula. Sama saja dengan tidak mandi karena
berkeringat lagi. Saya pernah mengalaminya waktu kerja pendampingan masyarakat
Leragere sebelum jadi anggota DPRD,” katamu (suamiku).
“Iya, saya juga
tahu keadaannya, karena pernah semalam tidur di Lodoblolong waktu masih
wartawan daerah Flores Timur tahun 1997,” kata saya meyakinkan bahwa sulitnya
mendapatkan air bersih bagi masyarakat Leragere adalah fakta yang sudah sekian
lama terjadi dan sampai saat ini pun belum diatasi.
Di Ile Ape dan
Kedang (Kecamatan Omesuri dan Buyasuri), sama juga masalahnya. Jangan heran
bila melihat banyaknya bak penampungan air hujan di perkampungan-perkampungan.
Di musim kemarau, air yang ditampung selama musim hujan digunakan untuk minum,
mandi, mencuci dan minuman ternak piaraan.
Ini baru soal jalan
dan air. Masih banyak lagi fakta yang memprihatinkan kalau bicara soal pendidikan
dan kesehatan. Mestinya tidak perlu lagi melitani masalah infrastruktur dasar,
jalan dan air. Soalnya, ini masalah klasik. Menjadi aneh bila wakil rakyat
justru tidak mengenali keadaan masyarakatnya. Bukankah untuk meraup suara agar
terpilih jadi wakil rakyat, seorang calon anggota legisatif (caleg) harus
melakukan kampanye dialogis, bertemu langsung dengan masyarakat di daerah
pemilihannya masing-masing? Itu berarti hampir seluruh wilayah Lembata ini
sudah pernah dikunjungi. Lalu, setelah terpilih menjadi anggota DPRD, selalu
ada jadwal reses ke daerah pemilihan masing-masing. Waktu reses itulah
masyarakat biasanya menyampaikan banyak soal kepada para wakilnya. Tentu saja
dengan harapan, aspirasi mereka bisa diperjuangkan.
Gerangan yang
terjadi? Sudah tiga tahun sejak menjadi wakil rakyat DPRD Lembata (termasuk
engkau, suamiku) dan sudah hampir delapan tahun (untuk teman-temanmu yang sudah
dua periode), jalan-jalan dalam kota Lewoleba-Kecamatan Nubatukan masih tetap
berlubang. Jalan ke Bakan dan hampir seluruh wilayah Kecamatan Atadei,
Wulandoni, Lebatukan,Nagawutun, Ile Ape, Ile Ape Timur, Omesuri, Buyasuri masih
memprihatinkan. Masalah air, apalagi!Belum lagi pendidikan dan kesehatan.
Mirisnya, ketika
mereka masih mendekam dalam masalah yang sama bertahun-tahun lamanya, para
wakilnya malah berencana ‘melompat ‘ jauh hendak meninggalkan mereka dengan
membeli mobil dinas. Tidak main-main pula, masing-masing anggota mendapat mobil
dinas tersebut dengan budget sekitar Rp 4,3 M. Peruntukannya untuk memudahkan
mobilitas anggota dewan. (Pos Kupang, 3/10/2012).
Jadi isteri (mu)
anggota DPRD, saya malu. Apalagi engkau (mestinya)? Sebab belum berbuat banyak
untuk masyarakat tapi sudah minta fasilitas mobil yang masih dianggap sebagai
barang mewah yang sulit dijangkau masyarakat Lembata.
Kata (mu) anggota
DPRD: “Ini penting dalam menunjang tugas sebagai wakil rakyat. Sebab jika punya
kendaraan sendiri, kalau mau ke desa, tidak perlu lagi mengantri karena mobil
lain masih digunakan anggota lain.”
Menjadi pertanyaan,
seberapa sering perjalananmu sebagai wakil rakyat, bertemu langsung dengan
masyarakat petani, nelayan di desa dan mengetahui dari dekat masalah-masalah
mereka? Bukankah menjadi anggota DPRD juga lebih banyak bersidang, belum lagi
perjalanan dinas keluar daerah untuk studi banding, konsultasi dan bimtek? Dan,
anggota DPRD justru lebih ngotot jika urusannya adalah perjalanan dinas keluar
daerah.
Pertanyaan lainnya.
Dengan kondisi jalan yang buruk di hampir seluruh wilayah Lembata, sementara
biaya operasional mobil dinas itu ditanggung anggota bersangkutan, mari berkata
jujur tentang kedalaman menguras isi dompetmu untuk urusan mobil dinas —sekali
lagi mobil dinas—. Sebab tak hanya mengurus ‘mobil doang’ gaji seorang anggota
DPRD. Jangan sampai punya mobil dinas justru memberi ruang baru merajalelanya
‘geliat mencari uang BBM secara tak halal’.
Pertanyaan lain
lagi adalah soal penggunaan mobil dinas. Jadi isteri (mu) anggota DPRD Lembata,
saya juga meragukan benar tidaknya penggunaan mobil hanya untuk urusan-urusan
dinas. Tak harus jauh-jauh mengambil contoh. Mobil dinas DPRD, pernah pula kita
gunakan untuk urusan keluarga, (maaf untuk kejujuran ini).
Atau, lagi-lagi ini
sebuah pengandaian yang sangat mungkin terjadi: “Saya memilih parkir saja
karena tidak ada biaya operasional mobil”. Jadi harus dianggarkan lagi? Berapa
lagi uang untuk biaya operasional 22 unit mobil anggota DPRD Lembata tersebut? Rp
4,3 M untuk mobil dinas masing-masing anggota DPRD Lembata belumlah final. Baru
pada tahapan Kebijakan Umum dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara
(KUPPAS) APBD Lembata tahun 2013 yang sudah selesai dibahas akhir bulan lalu.
Setelah pemerintah menyiapkan RAPBD 2013 dan Bupati menyampaikan pidato nota
keuangan, komisi I DPRD Lembata akan membahasnya lagi lalu difinalisasi di
Badan Anggaran, selanjutnya persetujuan di paripurna untuk penetapan APBD 2013.
Masih ada waktu
untuk merenung, perlukah Rp 4,3 M untuk 22 mobil dinas masing-masing anggota
DPRD Lembata saat ini, ditengah masih sulitnya masyarakat menikmati jalan yang
memadai dan air bersih? Masih ada waktu untuk mengatakan: Tidak! Karena saya
belum berbuat apa-apa untuk masyarakat. Saya belum yakin, apakah punya mobil
dinas saya akan lebih banyak berada di tengah kalian (masyarakat) dari pada
tugas-tugas keluar daerah. Masih ada waktu juga untuk mengatakan: Tidak perlu
mobil sebanyak itu, anggaran itu sebaiknya untuk hal-hal urgen yang menyentuh
kebutuhan masyarakat.
Masih ada waktu
pula untuk mendengar suara masyarakat. Dan, di tahap inilah, jadi isteri (mu)
anggota DPRD Lembata, saya hanya ingin mengatakan: “Saya percaya, engkau masih
menghargai betapa mahalnya satu suara masyarakat yang memilihmu menjadi
wakilnya. Karena itu berpihaklah pada aspirasi mereka.” Selamat berjuang!
Sumber: Pos Kupang,
30 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!