Peneliti dan Analis
Politik dari Pol-Tracking Institute
Hingga kini, Partai Demokrat adalah partai yang paling sering menampilkan perwajahan paradoks beberapa hari terakhir ini. Sekuen drama kasus korupsi di tengah slogan "Bersih", pernyataan kontroversial dari meja pimpinan DPR sampai respons warga Nahdliyin di tengah slogan "Santun", serta pertengkaran lingkup internal di depan media di tengah slogan "Cerdas" adalah sekeping paradoks Demokrat.
Sejak memenangi
kursi eksekutif pada 2004, Demokrat kembali memenangi kursi eksekutif dan
legislatif sekaligus pada 2009. Sekalipun presiden cenderung tersandera oleh
koalisi multipartai di dalam tatanan presidensial (Hanta Yuda, 2010), jabatan
kursi presiden plus kursi besar di parlemen dapat merepresentasikan dengan kuat
satu di antara tiga perwajahan partai, yaitu party in public office (Katz dan
Mair, 1996). Silogisme politiknya sederhana: mulai jabatan publik membuka akses
partai terhadap sumber daya negara dari bentuk pork barrel politics
“pengalokasian anggaran negara untuk kebijakan populer seperti BLT” hingga bentuk-bentuk
rent seeking, seperti akses terhadap proyek negara.
Namun Demokrat kini
bagai ayam yang sekarat kelaparan di lumbung padi. Kelaparan simpati publik di
tengah berlimpahnya akses jabatan publik. Elektabilitas Demokrat satu tahun
terakhir terjun bebas bahkan hingga satu digit (baca: kurang dari 10 persen)
dari perolehan Pemilu 2009 yang hampir 21 persen. Terpilihnya Anas Urbaningrum
dalam kongres partai pada 2010 sebagai ketua umum sebenarnya mengklarifikasi
banyak studi politik post-Soeharto bahwa oligarki bercokol di dalam kelembagaan
partai.
Tak perlu menunggu
tua untuk menjadi seorang oligark gerbong faksi dengan jabatan ketua umum
partai. Namun figur muda yang tampil memimpin partai besar ini justru
menciptakan diaspora faksi dengan output terbongkarnya cara kerja partai akibat
Nazaruddin's effect. Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan terakhir Andi
Mallarangeng sulit dibantah sebagai politikus muda, tapi terdiaspora dari
bilik-bilik faksi dalam partai.
Faksi selalu
mengalami dinamika, tapi faksi di dalam partai adalah the way of party's life
karena partai adalah organ kekuasaan. Namun faksionalisasi di tubuh Partai
Demokrat menjadi demikian dipertontonkan di depan publik dan mulai
menggelinding menjadi bola pijar yang liar sejak faksionalisasi masih
mengembrio sebagai clique faction pada kontestasi internal dalam Kongres Partai
Demokrat 2010. Dalam hal ini, ada tiga bentuk faksionalisasi di dalam partai
(Belloni & Beller, 1978), yaitu clique faction, personal atau client-group
faction, dan institutionalized atau organized faction.
Clique faction
adalah faksi yang tidak terkonsolidasi, sehingga sifatnya cenderung parsial dan
temporal. Sementara personal faction adalah faksi yang terkonsolidasi dengan
adanya tokoh sentral di dalamnya sehingga berdurasi lama sampai terjadi
kompromi antarpemimpin faksi. Sedangkan institutionalized faction adalah faksi
di dalam partai politik yang sudah terlembagakan, sehingga eksistensi faksi
berlaku dan diatur secara yuridis di dalam internal partai. Partai-partai di Indonesia,
termasuk Partai Demokrat, tidak mempunyai tradisi pelembagaan faksi sejak
pemilu untuk pertama kali diselenggarakan pada 1955. Hasilnya, faksi dilihat
sebagai sebuah patologi sekalipun kehadirannya adalah sebuah keniscayaan
politik di dalam partai sebagai lembaga kekuasaan.
Kini faksionalisasi
yang ada di dalam Partai Demokrat cenderung bersifat client-group, karena
kekuasaan faksi yang ada disebabkan oleh terkonsolidasinya faksi dengan adanya
orang yang mempunyai modalitas patron. Salah satu modalitas penting bagi
seseorang untuk menjadi patron di dalam Partai Demokrat adalah jabatan
eksekutif tertinggi di dalam partai. Tak perlu menunggu tua untuk menjadi
patron dalam faksi dengan memegang posisi ketua umum partai. Artinya, modalitas
struktural menjadi hal paling penting dan determinan bagi siapa pun yang ingin
mengendalikan faksi partai beserta massa elite yang ada di dalamnya. Oligarki
sultanistik, yang disebut Jeffrey Winters (2011) untuk menjelaskan Indonesia
era Orde Baru, kini tersebar ke dalam kelembagaan partai yang ada. Sedangkan
para oligark terdiaspora di dalamnya yang tersekat-sekat dalam bilik-bilik
faksi. Hasilnya adalah, partai politik menjadi institusionalisasi kepentingan
para oligark yang sudah tak lagi mengenal oposisi biner tua-muda selama ini.
Dengan demikian, Partai Demokrat adalah partai yang bernasib baik dengan dua
kali memenangi pemilu, tapi bersumbu pendek.
Terkait dengan hal
ini, terdapat tiga bentuk dinamika faksi di dalam partai politik (Francois
Boucek, 2009). Pertama, dinamika faksi kooperatif, di mana blok politik yang
ada di dalam partai pada akhirnya bernegosiasi untuk sebuah kepentingan
organisasi partai. Kedua, dinamika faksi kompetitif, yakni faksi yang ada
terkonsolidasi dengan baik, sehingga menciptakan kompetisi dengan substansi
kompetisi pada pengaruh kebijakan dan jabatan publik. Sedangkan dinamika faksi
yang ketiga adalah dinamika degeneratif, yakni sebuah dinamika yang saling
menghancurkan dan berbenturan, karena konsolidasi kelompok yang retak menstimulasi
bertumbuknya kepentingan-kepentingan individu elite yang memerintah di tiap
faksi, sekaligus elite berkuasa di bawahnya. Di dalam dinamika degeneratif
inilah saat ini Partai Demokrat berada.
Untuk menjernihkan
hal ini, kini di dalam Demokrat terdapat dua bilik faksi: bilik struktural,
yang mengendalikan day-to-day politics partai, serta bilik kultural, yang
memegang mandat publik sebagai sumber legitimasi politik paling kuat di lingkup
internal sekaligus eksternal partai. Lebih jelasnya, bilik politik struktural
yang ada dalam posisi ketua umum berlaku eksekutif sehingga mempunyai otoritas
dalam proses rekrutmen politik plus keputusan-keputusan organisasional partai.
Adapun bilik politik kultural berfungsi sebagai legislatif yang berkedudukan
determinan dalam keputusan-keputusan strategis partai. Dalam beberapa kasus,
ketua umum hanya menjadi manajer organisasi. Namun, pada saat yang sama, ketua
dewan berpotensi dikebiri melalui keputusan-keputusan organisasional yang jika
dihimpun adalah sebuah penciptaan kekuatan politik baru di dalam partai.
Sibernetika politik
pun tak bisa terhindarkan dari kondisi kepartaian yang demikian degeneratif.
Sibernetika yang bermakna otomatisasi perilaku politisi dan elite partai untuk
mempertahankan kepentingannya menjadi demikian terekspresi di dalam ruang-ruang
publik (baca: media). Sibernetika politik akibat dinamika faksi degeneratif di
tubuh Partai Demokrat ditunjukkan dengan semakin terbukanya ekspresi politikus
partai untuk setia menghamba pada patron di dalam faksi, sementara partai
adalah institusi yang paling bermanfaat sebagai legitimasi formal dalam
prosedur demokrasi.
Berduyun-duyun
masuknya orang-orang lintas elemen dari militer hingga aktivis ke Partai
Demokrat hanya berurusan dengan power and resource sharing, minus ideological
sharing. Muara sengkarut faksi Demokrat adalah massive distrust. Partai politik
yang digadang sebagai pilar demokrasi kita saat ini menjadi mandul, dan
akhirnya kita mafhum bahwa publik merasa punya legitimasi untuk menuntut negara
secara langsung di jalan dan di gedung-gedung lembaga negara lantaran partai
terlalu sibuk dengan dirinya.
Sumber: Koran Tempo,
19 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!