Pegiat Literacy
Circle Fishum UIN
Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Para politisi yang saat ini duduk di DPR dan pemerintahan semkin menjadi sorotan masyarakat. Alasan utamanya adalah hilangnya karakter politik dari diri para politisi. Lakon politik yang mereka mainkan tidak lagi berorientasi kepentingan rakyat, tetapi kepentingan pribadi, kelompok dan partainya. Pragmatisme politik seringkali didahulukan dalam menghadapi berbagai masalah kebangsaan.
Fenomena di atas
bukanlah isapan jempol belaka. Berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia
(LSI) yang dilakukan pada 12-15 November 2012 menyatakan bahwa kinerja anggota
DPR buruk. Menurut hasil survei itu, mayoritas publik Indonesia menganggap
anggota DPR hanya bekerja untuk kepentingan diri dan golongannya (69,55
persen). Hanya 22,76 persen yang menganggap anggota DPR bekerja untuk
kepentingan rakyat.
Jelas fenomena
tersebut menjadi pukulan telak bagi kita selaku masyarakat. Selama ini kita
menganggap para politisi yang ada di DPR adalah orang-orang yang memperjuangkan
kepentingan rakyat, namun kenyataannya tak jauh beda dari kumpulan orang-orang
yang hanya mengejar "isi perut". Setidaknya kita sekarang dapat
menilai bahwa DPR bukan lagi orang-orang yang mewakili rakyat, tetapi mewakili
kepentingan dirinya. Mereka tidak pantas lagi disebut sebagai wakil rakyat.
Pragmatisme politik sungguh sudah mengakar kuat dalam diri para politisi.
Sugguh jagad
politik bangsa ini sudah kacau dan tidak jelas. Kita tidak bisa membayangkan
bagaimana jadinya bangsa ini beberapa tahun ke depan jika kondisi tersebut
terus dibiarkan. Bangsa yang katanya gemah ripah loh jinawi ini akan menjadi
bangsa yang benar-benar bangkrut karena kekayaannya dikuras habis oleh para
politisi koruptif. Pada gilirannya, bukan mustahil jika kemudian bangsa ini
dicap sebagai "bangsa gagal". Sungguh memperihatinkan!
Kalau dicermati,
kebobrokan para politisi sebenarnya tak lepas dari rekrutmen politik (political
recrutment) yang salah. Untuk menjadi kepala daerah saja misalnya, mereka harus
punya budget yang sangat besar. Memang tidak dipungkiri di era pemilu langsung
ini, tanpa uang hampir mustahil seorang calon bisa meraih kemenangan. Tetapi
implikasinya, setelah terpilih, bukan sesuatu yang mustahil jika mereka
tersangkut korupsi. Alasannya untuk mengembalikan modal pemilu hanya
menggerogoti uang negara, melakukan korupsi.
Namun, mentalitas
itu bukan sesuatu yang mustahil merubahnya jika serius dan dilakukan dengan
kerja. Untuk itu, ada beberapa hal perlu dilakukan mengembalikan kultur politik
dan jiwa politisi yang telah hilang itu. Pertama, masyarakat harus melakukan
kontrol. Partisipasi masyarakat bisa membatasi ruang gerak politisi untuk
melakukan hal-hal yang destruktif. Masyarakat perlu bersatupadu mengontrol DPR
agar jangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
Selama ini,
pergerakan masyarakat cenderung lamban dan stagnan terhadap tindak-tanduk dan
akal bulus politisi. Hal itu bisa dimaklumi karena rendahnya kesadaran politik
dan kesadaran hukum masyarakat. Namun kini, dengan dukungan dan majunya media
massa, masyarakat akan mendapatkan banyak informasi tentang perpolitikan
bangsa. Paling tidak masyarakat dapat memanfaatkan media untuk mengontrol sepak
terjang para politisi.
Kedua, partai
politik perlu melakukan evaluasi bahwa selama ini fungsi utamanya belum
berjalan sebagaimana mestinya. Kalau kita lihat, partai politik kini sudah
berubah menjadi tempat dan kendaraan orang untuk memburu kekuasaan. Akibatnya,
tidak heran jika kemudian partai politik memiliki citra negatif di mata
masyarakat. Atas dasar inilah partai politik harus kembali kepada fungsi
utamanya sehingga ruh partai benar-benar punya peran signifikan dalam
pembangunan bangsa.
Ketiga, pembenahan
hukum menuju supremasi hukum yang tegas dan berkeadilan. Siapa yang bersalah
harus dihukum sesuai dengan keadilan hukum. Bahkan politisi pun kalau bersalah
harus dihukum sesuai aturan hukum yang berlaku. Hukum sebagai aturan bersama
harus ditaati secara kolektif. Hukum harus dijunjung tinggi sebagai panglima
dan dijadikan sebagai alat untuk menata kehidupan bermasyarakat dan berbangsa
yang lebih baik, aman dan tenteram. Setiap individu harus diperlakukan sama di
mata hukum, tidak tajam ke bawah atau tumpul ke atas.
Penegakan hukum itu
dapat dimulai dari keteladanan pemimpin. Politisi adalah bagian dari pemimpin
bangsa ini. Kalau politisi mampu memulai supremasi hukum dengan tegas, dengan
sendirinya masyarakat akan ikut menegakkan hukum. Kondisi hukum kita sudah
sangat parah karena politisi bangsa ini kurang memberikan contoh yang baik
kepada masyarakat. Banyak kebobrokan yang terjadi hanya karena penegakan hukum
yang tidak tegas oleh aparat penegak hukum dan politisi bangsa ini.
Keempat, ikhtiar
untuk mengembalikan jiwa politisi tidak akan terwujud apabila tidak ada kemauan
kuat dari politisi itu sendiri. Peran masyarakat hanyalah sebagai pendorong ke
fungsi yang sebenarnya. Selama ini, bangsa kita mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan berbagai masalah, termasuk masalah politisi yang kerap
menyimpang. Hal itu terjadi karena tidak adanya tekad dan kemauan yang kuat
dari para politisi untuk berbenah. Padahal, jika mereka punya tekad kuat untuk
berubah semua masalah akan teratasi dengan mudah.
Dengan demikian,
modal dasar untuk mengubah perilaku politisi harus bermula dari komitmen mereka
sendiri. Paling tidak komitmen tersebut dapat dimulai dengan cara membangun
planning yang baik tentang masa depan bangsa. Artinya, para politisi harus
punya agenda besar dalam membangun bangsa, kemudian berjuang dengan idiologi
politik yang benar dan manaati hukum yang ada. Pragmatisme politik juga harus
dikesampingkan, dan lebih mendahulukan kepentingan rakyat.
Sumber: Suara
Karya, 6 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!