Oleh Arya Budi
Manager Riset pada
Pol-Tracking Institute
Center for Democracy and
Political Leaderdhip Research, Jakarta
DALAM beberapa hari lalu
publik disuguhi terbukanya fakta politik transaksional oleh aktor-aktor
politisi dan pejabat publik. Setelah munculnya surat sakti antikongkalikong
dari Istana, sengkarut politisi Senayan dengan Menteri BUMN Dahlan Iskan
membantu publik untuk memahami cara-cara bagaimana para politisi bekerja dalam
nalar kartel. Nalar kartel terjadi baik secara kolektif sebagai representasi
kepentingan partai, maupun secara individual sebagai seorang politisi.
Ada dua fenomena yang
menjelaskan bekerjanya nalar kartel secara kolektif. Pertama, pada suatu waktu
secara bergerombol anggota dewan melawan tuduhan kongkalikong. Perlawanan ini
baik dengan merekonstruksi ruang publik melalui pernyataan-pernyataan di media
massa maupun menggunakan hak-hak konstitusional parlemen seperti hak
interpelasi.
Kedua, pada saat yang sama
beberapa anggota dewan menyuarakan desakan penyebutan nama oknum anggota dewan
secara langsung. Dalam logika politik yang paling awam, desakan penyebutan nama
politisi pemeras oleh beberapa anggota dewan lain adalah usaha untuk
menghindari penghakiman publik terhadap fraksi maupun badan kelengkapan dewan
yang tersandera ini-itu.
Artinya, fenomena tersebut
mengonfirmasi bahwa Indonesia bukan sekadar dijejali partai kartel (Kuskridho
Ambardi, 2009). Eksistensi politisi pemeras keuangan lembaga negara, baik
sebagai individu yang “kelaparan‘ maupun suatu gerombolan politik “pemangsa‘
menjelaskan eksistensi politisi kartel di negari ini. Dengan kata lain, anggota
dewan lintas fraksi dan juga lintas komisi berperilaku dengan nalar yang sama:
merombak otoritas parlemen--legislasi, budgeting, dan pengawasan--untuk
membajak uang negara.
Jika merujuk pada konsep
dilema representasi Richard S Katz (2001) dalam The Problem of Candidate
Selection and Models of Party Democracy yang agaknya relevan dengan fakta
predatory politics di Indonesia, para politisi di parlemen terjebak pada dua
nalar tanggung jawab. Pertama, sekalipun seorang anggota dewan memperoleh legitimasi
publik (bukan partai) melalui sistem pemilu daftar terbuka, munculnya nama
politisi tetap berada dalam otoritas dan mekanisme internal partai. Hasilnya:
politisi bertanggung jawab pada aktivitas operasional kepartaian.
Kedua, keuntungan politik atas
legitimasi publik dari pencoblosan nama dalam surat suara memaksa para politisi
terpilih untuk merawat--mempertahankan dan memperoleh--suara (baca: publik
pemilih) di masing-masing daerah pemilihan. Hasilnya: kedua nalar tanggung
jawab ini bermuara sebagai raison d‘etre politisi kartel untuk merombak fungsi
lembaga-lembaga negara pemegang proyek sebagai pihak “wajib pajak‘ dalam
relasi-relasi urusannya dengan parlemen.
Alhasil, seorang politisi
Senayan yang lahir dalam logika loyalitas partai di Indonesia akan berakhir
sebagai politisi kartel. Hal ini disebabkan oleh dua hal penting. Pertama,
karena partai politik itu sendiri mempunyai perwatakan kartel untuk
mengoperasikan fungsi-fungsi organisatoris yang kadang seremonial, seperti:
kongres atau ulang tahun partai. Kedua, pengelolaan partai cenderung bersifat
individual sehingga skema pengorganisasian tersebut memproduksi kanal-kanal
aliran dana secara individual.
Di sisi lain, ada tiga
motivasi yang mendasari muncul dan menguatnya politisi kartel. Pertama, kondisi
kepartaian kita mengamini perilaku kartel tersebut karena jabatan publik
dipahami sebagai pintu masuk political fund rising bagi partai. Kedua, politisi
Indonesia mempunyai perwatakan rent seeking pascaterpilih sebagai anggota
dewan.
Ketiga, politisi sebagaimana
tesis Katz, berada dalam dua dilema politik sehingga akhirnya merombak
institusi-institusi negara yang ada sebagai illegal donor untuk merawat
konstituen dan memenuhi fatsun politik bagi partainya dengan
sumbangan-sumbangan operasional untuk kegiatan partai. Institusi negara yang
paling mungkin dibajak seperti isu yang muncul dalam beberapa hari terakhir ini
adalah badan usaha milik negara (BUMN) dan kelembagaan pengepul dana negara di
bawah beberapa kementerian yang masuk dalam radar pundi-pundi keuangan
organisasi partai dan “ATM‘ para politisi kartel.
Namun, di dalam ruang-ruang
yang berurusan dengan aktivitas elektoral (tahapan dan agenda-agenda politik
pemilu), politisi kartel merapat dan bergerombol dalam satu blok kepentingan di
masing-masing partai. Partai politik tak ubahnya sebentuk institusionalisasi
kepentingan elektoral. Dalam institusionalisasi kepentingan elektoral, partai
politik cukup bekerja pada tiga hal: legalisasi, administrasi, dan kompetisi.
Ketidakhadiran partai dalam nalar representasi sosial adalah soal lain.
Secara administratif, partai
berlomba-lomba menciptakan infrastruktur keorganisasian untuk memenuhi
kualifikasi kepesertaan dalam pemilihan umum. Isu yang merebak tentang
politisasi verifikasi parpol tempo hari pada dasarnya menunjukkan wajah parpol
sebagai lembaga penghimpun kepentingan kartel.
Dan akhirnya pada tanggal
pemungutan suara, partai berkompetisi untuk memenangi pemilu dengan perolehan
suara terbanyak. Inilah yang disebut dengan naluri paling dasar bagi rata-rata
parpol di dunia, khususnya di Indonesia. Partai yang ada saat ini tak ubahnya
berperilaku vote-seeking behavior atau perilaku partai dalam bentuk apa pun
yang dimaksudkan untuk memperolah suara sebanyak-banyaknya (Kareen Strom,
1999).
Hasilnya, tidak ada partai
Islam, partai nasionalis, partai kiri atau partai kanan. Dalam nalar kompetisi,
semua partai di Indonesia bekerja sebagai partai elektoral. Partai parlemen
merekayasa kompetisi dengan mereduksi kompetitor baru melalui kualifikasi kepesertaan
pemilu yang ketat. Dalam pentahapan pemilu 2014, kita menyaksikan semua partai
saling menyikut untuk mendapatkan nomor peserta pemilu dan pada saat yang sama
juga memperkecil lawan pesaing.
Partai parlemen akhirnya
menegosiasikan aturan yang dibuatnya sendiri. Partai parlemen menggerakkan
tangan-tangan politiknya untuk sebisa mungkin mengintervensi dan menekan KPU.
Sementara partai-partai baru dan partai kecil nonparlemen yang tak lolos
verifikasi dokumen--18 partai politik--menggeruduk dengan brutal untuk
menelanjangi otoritas dan kewenangan KPU. Semua partai berebut nomor dan
berkoalisi untuk satu kepentingan: kepesertaan pemilu. Representasi kepentingan
publik soal lain.
Sumber: Jurnal Nasional, 13 Desember
2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!