Headlines News :
Home » » Politisi Kartel

Politisi Kartel

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, December 14, 2012 | 12:18 AM


Oleh Arya Budi
Manager Riset pada Pol-Tracking Institute
Center for Democracy and Political Leaderdhip Research, Jakarta

DALAM beberapa hari lalu publik disuguhi terbukanya fakta politik transaksional oleh aktor-aktor politisi dan pejabat publik. Setelah munculnya surat sakti antikongkalikong dari Istana, sengkarut politisi Senayan dengan Menteri BUMN Dahlan Iskan membantu publik untuk memahami cara-cara bagaimana para politisi bekerja dalam nalar kartel. Nalar kartel terjadi baik secara kolektif sebagai representasi kepentingan partai, maupun secara individual sebagai seorang politisi.

Ada dua fenomena yang menjelaskan bekerjanya nalar kartel secara kolektif. Pertama, pada suatu waktu secara bergerombol anggota dewan melawan tuduhan kongkalikong. Perlawanan ini baik dengan merekonstruksi ruang publik melalui pernyataan-pernyataan di media massa maupun menggunakan hak-hak konstitusional parlemen seperti hak interpelasi.

Kedua, pada saat yang sama beberapa anggota dewan menyuarakan desakan penyebutan nama oknum anggota dewan secara langsung. Dalam logika politik yang paling awam, desakan penyebutan nama politisi pemeras oleh beberapa anggota dewan lain adalah usaha untuk menghindari penghakiman publik terhadap fraksi maupun badan kelengkapan dewan yang tersandera ini-itu.

Artinya, fenomena tersebut mengonfirmasi bahwa Indonesia bukan sekadar dijejali partai kartel (Kuskridho Ambardi, 2009). Eksistensi politisi pemeras keuangan lembaga negara, baik sebagai individu yang “kelaparan‘ maupun suatu gerombolan politik “pemangsa‘ menjelaskan eksistensi politisi kartel di negari ini. Dengan kata lain, anggota dewan lintas fraksi dan juga lintas komisi berperilaku dengan nalar yang sama: merombak otoritas parlemen--legislasi, budgeting, dan pengawasan--untuk membajak uang negara.

Jika merujuk pada konsep dilema representasi Richard S Katz (2001) dalam The Problem of Candidate Selection and Models of Party Democracy yang agaknya relevan dengan fakta predatory politics di Indonesia, para politisi di parlemen terjebak pada dua nalar tanggung jawab. Pertama, sekalipun seorang anggota dewan memperoleh legitimasi publik (bukan partai) melalui sistem pemilu daftar terbuka, munculnya nama politisi tetap berada dalam otoritas dan mekanisme internal partai. Hasilnya: politisi bertanggung jawab pada aktivitas operasional kepartaian.

Kedua, keuntungan politik atas legitimasi publik dari pencoblosan nama dalam surat suara memaksa para politisi terpilih untuk merawat--mempertahankan dan memperoleh--suara (baca: publik pemilih) di masing-masing daerah pemilihan. Hasilnya: kedua nalar tanggung jawab ini bermuara sebagai raison d‘etre politisi kartel untuk merombak fungsi lembaga-lembaga negara pemegang proyek sebagai pihak “wajib pajak‘ dalam relasi-relasi urusannya dengan parlemen.

Alhasil, seorang politisi Senayan yang lahir dalam logika loyalitas partai di Indonesia akan berakhir sebagai politisi kartel. Hal ini disebabkan oleh dua hal penting. Pertama, karena partai politik itu sendiri mempunyai perwatakan kartel untuk mengoperasikan fungsi-fungsi organisatoris yang kadang seremonial, seperti: kongres atau ulang tahun partai. Kedua, pengelolaan partai cenderung bersifat individual sehingga skema pengorganisasian tersebut memproduksi kanal-kanal aliran dana secara individual.

Di sisi lain, ada tiga motivasi yang mendasari muncul dan menguatnya politisi kartel. Pertama, kondisi kepartaian kita mengamini perilaku kartel tersebut karena jabatan publik dipahami sebagai pintu masuk political fund rising bagi partai. Kedua, politisi Indonesia mempunyai perwatakan rent seeking pascaterpilih sebagai anggota dewan.

Ketiga, politisi sebagaimana tesis Katz, berada dalam dua dilema politik sehingga akhirnya merombak institusi-institusi negara yang ada sebagai illegal donor untuk merawat konstituen dan memenuhi fatsun politik bagi partainya dengan sumbangan-sumbangan operasional untuk kegiatan partai. Institusi negara yang paling mungkin dibajak seperti isu yang muncul dalam beberapa hari terakhir ini adalah badan usaha milik negara (BUMN) dan kelembagaan pengepul dana negara di bawah beberapa kementerian yang masuk dalam radar pundi-pundi keuangan organisasi partai dan “ATM‘ para politisi kartel.

Namun, di dalam ruang-ruang yang berurusan dengan aktivitas elektoral (tahapan dan agenda-agenda politik pemilu), politisi kartel merapat dan bergerombol dalam satu blok kepentingan di masing-masing partai. Partai politik tak ubahnya sebentuk institusionalisasi kepentingan elektoral. Dalam institusionalisasi kepentingan elektoral, partai politik cukup bekerja pada tiga hal: legalisasi, administrasi, dan kompetisi. Ketidakhadiran partai dalam nalar representasi sosial adalah soal lain.

Secara administratif, partai berlomba-lomba menciptakan infrastruktur keorganisasian untuk memenuhi kualifikasi kepesertaan dalam pemilihan umum. Isu yang merebak tentang politisasi verifikasi parpol tempo hari pada dasarnya menunjukkan wajah parpol sebagai lembaga penghimpun kepentingan kartel.

Dan akhirnya pada tanggal pemungutan suara, partai berkompetisi untuk memenangi pemilu dengan perolehan suara terbanyak. Inilah yang disebut dengan naluri paling dasar bagi rata-rata parpol di dunia, khususnya di Indonesia. Partai yang ada saat ini tak ubahnya berperilaku vote-seeking behavior atau perilaku partai dalam bentuk apa pun yang dimaksudkan untuk memperolah suara sebanyak-banyaknya (Kareen Strom, 1999).

Hasilnya, tidak ada partai Islam, partai nasionalis, partai kiri atau partai kanan. Dalam nalar kompetisi, semua partai di Indonesia bekerja sebagai partai elektoral. Partai parlemen merekayasa kompetisi dengan mereduksi kompetitor baru melalui kualifikasi kepesertaan pemilu yang ketat. Dalam pentahapan pemilu 2014, kita menyaksikan semua partai saling menyikut untuk mendapatkan nomor peserta pemilu dan pada saat yang sama juga memperkecil lawan pesaing.

Partai parlemen akhirnya menegosiasikan aturan yang dibuatnya sendiri. Partai parlemen menggerakkan tangan-tangan politiknya untuk sebisa mungkin mengintervensi dan menekan KPU. Sementara partai-partai baru dan partai kecil nonparlemen yang tak lolos verifikasi dokumen--18 partai politik--menggeruduk dengan brutal untuk menelanjangi otoritas dan kewenangan KPU. Semua partai berebut nomor dan berkoalisi untuk satu kepentingan: kepesertaan pemilu. Representasi kepentingan publik soal lain.
Sumber: Jurnal Nasional, 13 Desember 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger