Sarjana Sosial Politik Universitas Jember;
Aktivis Perburuhan dan Pekerja Sosial
Pada Hari Natal dan tahun
baru, sosok Sinterklas mulai bermunculan di muka Bumi. Pusat perbelanjaan,
hotel, dan fasilitas publik juga banyak memakai atribut Natal, termasuk
menghadirkan patung Sinterklas lengkap dengan kereta pundinya.
Begitu pula lagu-lagu Natal
seperti Malam Kudus yang diciptakan pada tahun 1818 oleh warga negara Jerman,
Franz Gruber, berkumandang di berbagai belahan dunia dan seluruh Nusantara.
Semangat Natal yang sarat dengan nilai perdamaian dan ajaran kasih perlu
diaktualisasikan secara tepat pada saat kondisi bangsa sedang karut-marut
sekarang.
Perayaan Natal hendaknya tidak
sekadar menjadi tradisi tahunan, tetapi yang paling penting adalah maknanya
yang terdalam bagi manusia. Relevansi makna terdalam itu pada saat ini adalah
menyangkut kasih sesama anak manusia yang sedang ditimpa kemiskinan. Perjalanan
hidup Yesus Kristus yang lahir di kandang domba di kota kecil Bethlehem telah
memberi teladan paripurna bagi umat manusia untuk mencurahkan kasih-Nya kepada
sesama.
Merayakan Hari Natal tanpa
kehadiran sosok Sinterklas terasa kurang afdol. Masyarakat Indonesia mengenal
Sinterklas dari tradisi Belanda. Orang tua kita menyebutnya dengan Sinterklaas.
Aksi Sinterklas yang di tengah malam secara diam-diam mendatangi kaum papa di
kantong-kantong kemiskinan untuk menghibur dan memberi hadiah telah mengilhami
berbagai aktivitas berbangsa dan bernegara.
Kantong-kantong kemiskinan
yang sekarang ini jumlahnya semakin banyak sangat mengharapkan datangnya
Sinterklas yang melakukan aktivitas filantropi atau kedermawanan sosial.
Sayangnya, hingga kini, masih jarang Sinterklas yang bisa memberi "kail”
untuk kemandirian hidup si miskin. Kebanyakan yang hadir justru Sinterklas yang
memberi "secuil ikan" atau "sepotong roti." Ironisnya lagi,
modus Sinterklas semacam itu justru dipraktikkan oleh pemerintah untuk
menanggulangi masalah kemiskinan melalui program yang eksesif dan sarat
penyelewengan.
Semangat pemerintah yang
menempatkan negara analog dengan Sinterklas agung untuk menanggulangi
kemiskinan justru bertolak belakang dengan esensi ajaran kristiani. Sinterklas
yang pada hakikatnya adalah Santo Nikolaos (Nicholas) justru merupakan
pelindung kaum miskin dan lemah dengan cara-cara yang benar dan adil. Antara
lain dengan menggugah etos kerja, daya pikir, dan membuka jalan kemandirian.
Tradisi Sinterklas yang sejati
membawa gairah kerja, kasih sayang, kegembiraan, kemandirian, dan semangat
hidup yang baru. Namun, Sinterklas politik yang dijalankan pemerintah pada saat
ini justru melahirkan kecemburuan sosial dan penuh muatan konflik horizontal.
Selain itu, mendistorsi etos kerja dan produktivitas nasional. Hasilnya cuma
sikap kebergantungan rakyat miskin pada penguasa, tetapi kosong nilai dan
makna.
Varian kemiskinan yang selama
ini dijadikan parameter program negara sebagai Sinterklas agung belum
dijalankan secara jujur sehingga menimbulkan bias sasaran yang sangat lebar.
Kelompok sasaran, yakni keluarga miskin sejati, tidak tersentuh instrumen
formal kependudukan dan harus gigit jari. Mereka itu seperti pemulung, pekerja
kasar, pengemis, gelandangan, dan sejenisnya.
Memberikan secuil ikan agar si
miskin dapat sejenak tersenyum sembari memuji kedermawanan dari penguasa
merupakan strategi penguasa saat ini. Bagi pemerintah, memberi "secuil
ikan" atau “sepotong roti” jauh lebih mudah daripada berpikir keras guna
memberi seperangkat "kail" dalam bentuk konkret berupa aneka lapangan
kerja, menumbuhkan sektor wirausaha dan kegiatan inovatif-produktif lainnya.
Strategi pemerintahan yang
menempatkan negara sebagai Sinterklas agung bukan merupakan cara jitu untuk
menanggulangi kemiskinan. Itu juga bertolak belakang dengan kesepakatan dunia
untuk memberantas kemiskinan dan kelaparan yang disebut dengan istilah
Millennium Development Goals (MDGs). Pemerintah masih sekadar menandatangani
MDGs di atas kertas, tetapi belum secara nyata dan sistemik menjalankan
butir-butir kesepakatan itu. Bahkan, strategi nasional penanggulangan
kemiskinan terlihat bias di sana-sini. Selain itu, belum ada kejujuran terhadap
data kemiskinan. Bahkan, laporan pemerintah kepada komunitas internasional pun
tampak menghindarkan diri dari data aktual seputar realitas kemiskinan.
Pada saat ini, Sinterklas yang
eksis menyertai Perayaan Hari Natal dan tahun baru sebaiknya berani terjun
langsung membantu Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Penanganan
PMKS yang meliputi gelandangan, pengemis, dan anak jalanan saat ini kurang
ditangani pemerintah.
Bahkan, selama ini penanganan
aparat terhadap gelandangan psikotis sangat tidak manusiawi. Para ahli penyakit
jiwa menyatakan telah terjadi epidemiologik gangguan jiwa dalam lima tahun
terakhir ini. Pendapat itu sesuai dengan survei yang dilakukan WHO tentang
jumlah penderita psikotis atau gangguan jiwa berat di dunia yang mencapai 1–3
per 1.000 penduduk. Namun, dengan kondisi sosial-ekonomi bangsa Indonesia yang
seperti ini, jumlahnya akan menjadi berlipat ganda melebihi angka survei
tersebut.
Perdesaan
Prevalensi justru lebih besar
terjadi di daerah perdesaan, yang mestinya jauh dari kemungkinan stres dan
depresi. Yang lebih menyedihkan lagi ternyata daya tampung rumah sakit jiwa
negara maupun swasta hanya sekitar 40 persen dari jumlah penderita sakit jiwa.
Sisanya tidak tertampung dan kemungkinan besar harus menggelandang menjadi
"aktor" jalanan.
Berdasarkan data survei
Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan oleh Litbang Kementerian Kesehatan,
setidaknya terdapat 264 dari 1.000 anggota rumah tangga yang menderita gangguan
kesehatan jiwa dalam berbagai tingkatan. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Atas
dasar definisi tersebut, kesehatan warga bangsa harus dilihat sebagai satu
kesatuan yang utuh dari tiga unsur, yakni organobiologik (tubuh),
psiko-edukatif (jiwa), dan sosio-kultural (sosial). Dengan demikian, aspek
kesehatan jiwa dewasa ini harus mendapat perhatian yang serius.
Silang sengketa perihal
tanggung jawab terhadap gelandangan psikotis harus segera diakhiri. Yang jelas,
menurut ketentuan UU, para gelandangan psikotis menjadi tanggung jawab negara.
Betapa pentingnya bagi pemerintah, DPR, LSM, dan lembaga keagamaan mencari
solusi yang berkaitan dengan kesehatan jiwa masyarakat karena jumlah psikotis
cenderung meningkat. Penderita depresi dan stres juga membeludak dan melanda
setiap orang. Parahnya, kebanyakan penderita psikotis dari keluarga tidak
mampu. Penanganan PMKS perlu tambahan anggaran dan sumber daya manusia karena
setiap tahun meningkat.
Epidemiologik gangguan jiwa
harus diantisipasi lebih serius. Pemerintah kabupaten atau kota perlu memiliki
ruang rehabilitasi medis atau sosial karena jumlahnya tidak seimbang dengan
daya tampung di rumah sakit jiwa. Bupati dan wali kota sebagai Pembina Komite
Penanganan PMKS hendaknya lebih serius menyiapkan prasarana.
Para gelandangan psikotis
sering menjadi korban pelanggaran HAM. Mereka harus dilindungi. Mereka tidak
bisa membela diri karena sulit berkomunikasi dan tidak mampu memperjuangkan
kepentingannya. Mereka telah tercampak dari kehidupan, dan setiap saat terancam
jiwanya.
Masyarakat sering tidak sadar
bahwa gelandangan psikotis juga manusia yang masih merasakan lapar dan sakit.
Sumber: Koran Jakarta, 21
Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!