Headlines News :
Home » » Sinterklas dan Kantong Kemiskinan

Sinterklas dan Kantong Kemiskinan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, December 21, 2012 | 11:04 AM

Oleh Endah Sulistyowati
Sarjana Sosial Politik Universitas Jember;
Aktivis Perburuhan dan Pekerja Sosial

Pada Hari Natal dan tahun baru, sosok Sinterklas mulai bermunculan di muka Bumi. Pusat perbelanjaan, hotel, dan fasilitas publik juga banyak memakai atribut Natal, termasuk menghadirkan patung Sinterklas lengkap dengan kereta pundinya.

Begitu pula lagu-lagu Natal seperti Malam Kudus yang diciptakan pada tahun 1818 oleh warga negara Jerman, Franz Gruber, berkumandang di berbagai belahan dunia dan seluruh Nusantara. Semangat Natal yang sarat dengan nilai perdamaian dan ajaran kasih perlu diaktualisasikan secara tepat pada saat kondisi bangsa sedang karut-marut sekarang.

Perayaan Natal hendaknya tidak sekadar menjadi tradisi tahunan, tetapi yang paling penting adalah maknanya yang terdalam bagi manusia. Relevansi makna terdalam itu pada saat ini adalah menyangkut kasih sesama anak manusia yang sedang ditimpa kemiskinan. Perjalanan hidup Yesus Kristus yang lahir di kandang domba di kota kecil Bethlehem telah memberi teladan paripurna bagi umat manusia untuk mencurahkan kasih-Nya kepada sesama.

Merayakan Hari Natal tanpa kehadiran sosok Sinterklas terasa kurang afdol. Masyarakat Indonesia mengenal Sinterklas dari tradisi Belanda. Orang tua kita menyebutnya dengan Sinterklaas. Aksi Sinterklas yang di tengah malam secara diam-diam mendatangi kaum papa di kantong-kantong kemiskinan untuk menghibur dan memberi hadiah telah mengilhami berbagai aktivitas berbangsa dan bernegara.

Kantong-kantong kemiskinan yang sekarang ini jumlahnya semakin banyak sangat mengharapkan datangnya Sinterklas yang melakukan aktivitas filantropi atau kedermawanan sosial. Sayangnya, hingga kini, masih jarang Sinterklas yang bisa memberi "kail” untuk kemandirian hidup si miskin. Kebanyakan yang hadir justru Sinterklas yang memberi "secuil ikan" atau "sepotong roti." Ironisnya lagi, modus Sinterklas semacam itu justru dipraktikkan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah kemiskinan melalui program yang eksesif dan sarat penyelewengan.

Semangat pemerintah yang menempatkan negara analog dengan Sinterklas agung untuk menanggulangi kemiskinan justru bertolak belakang dengan esensi ajaran kristiani. Sinterklas yang pada hakikatnya adalah Santo Nikolaos (Nicholas) justru merupakan pelindung kaum miskin dan lemah dengan cara-cara yang benar dan adil. Antara lain dengan menggugah etos kerja, daya pikir, dan membuka jalan kemandirian.

Tradisi Sinterklas yang sejati membawa gairah kerja, kasih sayang, kegembiraan, kemandirian, dan semangat hidup yang baru. Namun, Sinterklas politik yang dijalankan pemerintah pada saat ini justru melahirkan kecemburuan sosial dan penuh muatan konflik horizontal. Selain itu, mendistorsi etos kerja dan produktivitas nasional. Hasilnya cuma sikap kebergantungan rakyat miskin pada penguasa, tetapi kosong nilai dan makna.

Varian kemiskinan yang selama ini dijadikan parameter program negara sebagai Sinterklas agung belum dijalankan secara jujur sehingga menimbulkan bias sasaran yang sangat lebar. Kelompok sasaran, yakni keluarga miskin sejati, tidak tersentuh instrumen formal kependudukan dan harus gigit jari. Mereka itu seperti pemulung, pekerja kasar, pengemis, gelandangan, dan sejenisnya.
Memberikan secuil ikan agar si miskin dapat sejenak tersenyum sembari memuji kedermawanan dari penguasa merupakan strategi penguasa saat ini. Bagi pemerintah, memberi "secuil ikan" atau “sepotong roti” jauh lebih mudah daripada berpikir keras guna memberi seperangkat "kail" dalam bentuk konkret berupa aneka lapangan kerja, menumbuhkan sektor wirausaha dan kegiatan inovatif-produktif lainnya.

Strategi pemerintahan yang menempatkan negara sebagai Sinterklas agung bukan merupakan cara jitu untuk menanggulangi kemiskinan. Itu juga bertolak belakang dengan kesepakatan dunia untuk memberantas kemiskinan dan kelaparan yang disebut dengan istilah Millennium Development Goals (MDGs). Pemerintah masih sekadar menandatangani MDGs di atas kertas, tetapi belum secara nyata dan sistemik menjalankan butir-butir kesepakatan itu. Bahkan, strategi nasional penanggulangan kemiskinan terlihat bias di sana-sini. Selain itu, belum ada kejujuran terhadap data kemiskinan. Bahkan, laporan pemerintah kepada komunitas internasional pun tampak menghindarkan diri dari data aktual seputar realitas kemiskinan.

Pada saat ini, Sinterklas yang eksis menyertai Perayaan Hari Natal dan tahun baru sebaiknya berani terjun langsung membantu Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Penanganan PMKS yang meliputi gelandangan, pengemis, dan anak jalanan saat ini kurang ditangani pemerintah.

Bahkan, selama ini penanganan aparat terhadap gelandangan psikotis sangat tidak manusiawi. Para ahli penyakit jiwa menyatakan telah terjadi epidemiologik gangguan jiwa dalam lima tahun terakhir ini. Pendapat itu sesuai dengan survei yang dilakukan WHO tentang jumlah penderita psikotis atau gangguan jiwa berat di dunia yang mencapai 1–3 per 1.000 penduduk. Namun, dengan kondisi sosial-ekonomi bangsa Indonesia yang seperti ini, jumlahnya akan menjadi berlipat ganda melebihi angka survei tersebut.

Perdesaan

Prevalensi justru lebih besar terjadi di daerah perdesaan, yang mestinya jauh dari kemungkinan stres dan depresi. Yang lebih menyedihkan lagi ternyata daya tampung rumah sakit jiwa negara maupun swasta hanya sekitar 40 persen dari jumlah penderita sakit jiwa. Sisanya tidak tertampung dan kemungkinan besar harus menggelandang menjadi "aktor" jalanan.

Berdasarkan data survei Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan oleh Litbang Kementerian Kesehatan, setidaknya terdapat 264 dari 1.000 anggota rumah tangga yang menderita gangguan kesehatan jiwa dalam berbagai tingkatan. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Atas dasar definisi tersebut, kesehatan warga bangsa harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dari tiga unsur, yakni organobiologik (tubuh), psiko-edukatif (jiwa), dan sosio-kultural (sosial). Dengan demikian, aspek kesehatan jiwa dewasa ini harus mendapat perhatian yang serius.

Silang sengketa perihal tanggung jawab terhadap gelandangan psikotis harus segera diakhiri. Yang jelas, menurut ketentuan UU, para gelandangan psikotis menjadi tanggung jawab negara. Betapa pentingnya bagi pemerintah, DPR, LSM, dan lembaga keagamaan mencari solusi yang berkaitan dengan kesehatan jiwa masyarakat karena jumlah psikotis cenderung meningkat. Penderita depresi dan stres juga membeludak dan melanda setiap orang. Parahnya, kebanyakan penderita psikotis dari keluarga tidak mampu. Penanganan PMKS perlu tambahan anggaran dan sumber daya manusia karena setiap tahun meningkat.

Epidemiologik gangguan jiwa harus diantisipasi lebih serius. Pemerintah kabupaten atau kota perlu memiliki ruang rehabilitasi medis atau sosial karena jumlahnya tidak seimbang dengan daya tampung di rumah sakit jiwa. Bupati dan wali kota sebagai Pembina Komite Penanganan PMKS hendaknya lebih serius menyiapkan prasarana.

Para gelandangan psikotis sering menjadi korban pelanggaran HAM. Mereka harus dilindungi. Mereka tidak bisa membela diri karena sulit berkomunikasi dan tidak mampu memperjuangkan kepentingannya. Mereka telah tercampak dari kehidupan, dan setiap saat terancam jiwanya.

Masyarakat sering tidak sadar bahwa gelandangan psikotis juga manusia yang masih merasakan lapar dan sakit.
Sumber: Koran Jakarta, 21 Desember 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger