Dosen Pascasarjana
Ilmu Politik
Universitas
Nasional, Jakarta
Headline harian Seputar Indonesia (4/2/2013) menyorot
ada tekanan kuat dari anggota Dewan Kehormatan Partai Demokrat (PD) Jero Wacik
dan yang lain untuk menggeser Ketua Umum Anas Urbaningrum, menyusul
diumumkannya hasil survei Saiful Mudjani Research and Consulting (SMRC) bahwa
elektabilitas partai ini tinggal 8%.
Menurut Jero Wacik,
selama ini Anas telah menyandera PD, dan tidak ada cara lain kecuali meminta
Ketua Majelis dan Ketua Dewan PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk
menyelamatkan partai. Dan, satu-satunya jalan adalah melalui kongres luar biasa
(KLB). Faksi anti-Anas memang seperti memperoleh dalih pembenaran dari hasil
survei SMRC itu. Kepuasan terhadap kinerja SBY 56%, tetapi elektabilitas
Demokrat hanya 8%.
Kemudian muncul
kesimpulan bahwa selama ini Anas telah gagal meningkatkan elektabilitas
partainya. PD memang tengah mengalami ujian besar pasca-kasus hukum Nazaruddin
yang juga menyeret politisi PD lainnya. Anas memang berada dalam situasi yang
dilematis dan selalu menjadi sasaran bidik faksi-faksi lain di tubuh PD.
Realitas faksional merupakan hal lumrah di organisasi apa pun. Penampakan
faksi-faksi itu biasanya dipicu oleh sebab-sebab khusus.
Yang dialami PD
sangat spesifik, yang dikaitkan dengan kasus-kasus korupsi yang terproses secara
hukum, sehingga berdampak pada anjloknya citra partai. Anas, yang berkali-kali
disebut oleh Nazaruddin, walaupun posisinya ketua umum, sangat rentan terhadap
opini bahwa ia telah menyandera partainya. Tekanan politik internal
terus-menerus dilakukan, dari yang lembut hingga keras, agar ia jatuh. Tetapi,
ia masih bertahan.
Secara garis besar
pun faksi utama PD jelas telah tergambar ke dalam faksi pro dan anti-Anas.
Masing-masing pihak memiliki pembenaran. Faksi Anas meminta semua pihak
mematuhi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PD. Dalih inilah
yang dipakai untuk membendung arus berbagai faksi yang tampaknya sudah tidak
sabar untuk menggusur posisinya. Di sisi lain, bagaimanapun Anas termasuk ketua
umum partai yang punya akar kuat ke bawah.
Setidaknya ia mampu
menguatkan basis dukungannya, mengikatnya untuk tidak terseret arus faksi elite
atas yang anti-Anas. Faksi anti-Anas selama ini belum mampu membuat dinamika
internal PD bergejolak secara berlarut-larut dan kemudian memicu tuntutan KLB
dari bawah. Isu KLB seolah berhenti di elite papan atas saja. Tidak ada efek
bola salju isu KLB untuk membesar ke bawah itulah yang membuat faksi anti-Anas
mau tidak mau menguatkan desakan mereka kepada SBY sebagai faktor politik utama
untuk menyingkirkan Anas.
Di PD posisi SBY
sangat istimewa. Tetapi, SBY juga unik. Sejak Kongres PD di Bandung, SBY tampak
tidak mampu mencegah hadir dan menangnya Anas. Padahal, yang tampak dari luar
adalah dukungan kuat Cikeas kepada Andi Alifian Mallarangeng.
SBY memang tampak
sekali mencitrakan dirinya sebagai seorang demokrat. Kalau ini yang masih
dipegang, tekanan faksi anti-Anas tidak akan efektif. SBY bisa saja menafsirkan
bahwa desakan politik kepada dirinya oleh Jero Wacik dan yang lain sebagai
upaya mendiktenya.
SBY selama ini pula
dikenal sebagai politikus yang percaya hasil survei. Tetapi, kalaupun hasil
survei SMRC itu yang dijadikan dalih, apakah melengserkan Anas adalah
satu-satunya jalan? Apakah, apabila Anas sudah lengser, penggantinya akan mampu
melejitkan elektabilitas PD dalam waktu singkat? Kini, bagaimanapun PD telah
terkena dampak berbagai kasus korupsi yang menimpa Nazaruddin dan politisi PD
lain.
Siapa pun yang
menjadi ketua umum, akan menanggung dampaknya. Sebagai politikus, kelihatannya,
bagi Anas, sulit bagi dirinya untuk mundur dari posisinya yang strategis di PD.
Anas tentu punya pembenaran dan rasa tanggung jawab untuk memulihkan citra
partai dan meme-nangkannya. Betapapun itu sulit dan butuh perjuangan
ekstrakeras, dipandang lebih baik ketimbang surut ke belakang. Pilihan
melengserkan Anas pun tampak meninggalkan beberapa konsekuensi.
Pertama, apabila
pelengserannya terkesan memaksakan diri, publik malah akan menilai bahwa di
internal PD tengah dikembangkan budaya antidemokrasi. Bagaimanapun dalam
berbagai kasus korupsi yang melibatkan beberapa politisi PD yang ditangani
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Anas tidak berstatus apa pun saat ini. Lain
halnya apabila tiba-tiba Anas ditetapkan sebagai tersangka, sebagaimana yang
menimpa Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq.
Kedua, keguncangan
politik internal PD akan makin parah. Ini disebabkan oleh arus resistensi faksi
pro-Anas yang tidak saja ada di pusat, tetapi terutama juga di daerah-daerah.
Ketika ini terjadi pada tahun politik 2013, apabila tidak terkendali, misalnya
oleh faksi terkuat pascapelengseran Anas, justru bisa mempercepat fenomena
“partai gagal”. SBY bisa saja tampil sebagai faksi paling utama, tetapi
lagi-lagi ia akan dihadapkan pada situasi yang berbeda dibandingkan ketika
pertama kali ia hadir di PD dan membuatnya menjadi fenomena politik yang
mencengangkan.
Secara psikologis,
setelah menjabat presiden selama dua periode, SBY tentu menginginkan masa depan
dirinya secara tenang sebagai Bapak Bangsa. Kalau SBY mengeluarkan banyak
energi untuk membenahi partainya, tetapi dengan meninggalkan realitas
konfliktual yang parah, beban politik SBY pun bertambah. Sebagai Ketua Dewan
Pembina Demokrat, SBY berfungsi sebagai katalis. Tidak saja ia dituntut mampu
mengelola konflik internal antarfaksi, tetapi juga mengantisipasi masa depan
PD.
Terlepas dari hasil
survei SMRC dan proyeksi politik masing-masing faksi di internal PD, kalau pada
tahun politik ini yang menonjol keluar adalah konflik internal yang parah,
jelas-jelas ia kontraproduktif. Partai yang derajat soliditasnya tinggi lebih
baik ketimbang yang sebaliknya. PD rentan konflik. Cara mengatasi konflik
internal itu juga akan dinilai publik. Manakala caranya demokratis dan elegan,
itu jauh lebih baik, ketimbang sebaliknya.
Dengan atau tanpa
Anas, problem PD sekarang berbeda dengan ketika partai ini ikut Pemilu 2004 dan
2009. Tantangannya kini lebih kompleks sekarang. Secara umum peluang PD untuk
memenangkan kembali tidaklah sama dengan dua pemilu sebelumnya. Keberhasilan
pemerintahan SBY pun belum tentu dapat melejitkan perolehan PD pada Pemilu
2014.
Suasana psikopolitik
antitesis gaya kepemimpinan SBY juga perlu disimak, di mana alternatif kekuatan
dan tokoh politik di luar PD akan menjadi pertimbangan penting bagi publik
untuk menentukan pilihan pasca- SBY. Soliditas yang baik tentu akan memberi
peluang lebih besar bagi PD untuk tetap eksis pada Pemilu 2014. Ini tidak mudah
bagi PD, terutama yang mengemuka pada tahun politik ini kemelut internal.
Sumber: Seputar
Indonesia, 5 Februari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!