Oleh Robert Endi Jaweng
Direktur Eksekutif KPPOD, Jakarta
SAAT ini publik setidaknya memiliki dua sumber
informasi sebagai bahan dasar menilai program otonomi kedua pasangan
capres-cawapres, yakni dokumen visi, misi, dan program serta debat pada 9 Juni.
Isi dokumen visi, misi, dan program (VMP) Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa relatif sepi isu otonomi. Tiadanya platform politik
desentralisasi ini bisa ditengarai beragam, termasuk versi yang ekstrem bahwa
pasangan ini cenderung anti-otonomi. Namun, hasil debat memberi kita gambaran
sedikit lebih optimistis, setidaknya jika melihat afirmasi mereka atas opsi
pilkada langsung dan reformasi birokrasi sebagai agenda prioritas.
Pada sisi lain, VMP Joko Widodo-Jusuf Kalla berisi
cukup banyak program aksi lima tahun ke depan. Mereka meyakini, selain peran
pusat, membangun Indonesia juga patut dilakukan dari daerah. Maka, arsitektur
kewenangan, pembagian fiskal, hingga kapasitas lokal diarahkan ke pencapaian
cita besar tersebut. Adapun secara nasional, komitmen dan soliditas kebijakan
level pusat digalang lewat penetapan rezim desentralisasi sebagai model tata
kelola utama yang menggantikan dominasi rezim sektoral selama ini.
Memimpin perubahan
Kita semua mafhum, Indonesia amat besar (penduduk
dan wilayah) serta kompleks (kerumitan masalah) untuk hanya bertopang pada
pilar tunggal Jakarta. Tentu melawan semangat zaman jika manajemen
negara-bangsa ini tetap dibayangkan bisa terkelola sentralistik. Konsensus
politik untuk kita berotonomi dan menyelenggarakan pemerintahan desentralistik
benar dalam dirinya dan sesuai konteks aktual reformasi. Desentralisasi itu
inheren dalam sistem demokrasi yang kita jalani. Menyurut langkah setengah
mundur (resentralisasi), apalagi anti-otonomi, jelas sinyal buruk dari kehendak
memutar balik demokrasi ke jalan otokrasi.
Dengan keyakinan itu, lanjutan isu pokoknya kemudian
adalah perihal mengelola politik desentralisasi ke depan. Siapa pun presiden
terpilih mesti mampu jadi seorang pemimpin perubahan sebagai keniscayaan dalam fase
penguatan ataupun penataan ulang elemen-elemen dasar berotonomi yang baru.
Pertama, memimpin revolusi mental elite Jakarta
menuju perubahan dalam paradigma kebijakan otonomi itu sendiri. Saat ini,
secara sadar, kita berotonomi dan mengelola desentralisasi dengan langgam kerja
sentralistik. Alam pikir elite politik/ birokrasi pusat sejatinya masih
mewarisi memori masa lalu, bahkan saat sistem telah berputar jauh ke haluan
desentralisasi sebagai cara baru berpemerintahan. Presiden SBY bahkan mengakui
kalau pusat masih berpikir sentralistik, cenderung otoritarian, dan belum sadar
arti penting pemberian otonomi yang besar ke daerah (Selalu Ada Pilihan, 2014,
hal 25).
Kedua, terkait itu, presiden terpilih adalah figur
yang memimpin cara baru melihat hubungan bermasalah pemerintah pusat-pemerintah
daerah selama ini yang kerap linear dan sepihak. Ibarat principal-agency, pusat
memangku dirinya sebagai pemilik otonomi yang melalui skema desentralisasi
berbaik hati mengalihkan sebagian pengelolaannya ke daerah. Pusat menjadi pusat
kebenaran dan muara loyalitas. Ketaatan mesti dipastikan, termasuk lewat fiskal
yang dalam banyak kejadian memang efektif berperan sebagai instrumen
pengendalian politik dan tertib administrasi. Blunder konsep politik anggaran
yang disampaikan Jokowi dalam debat lalu persis merefleksikan sesat pikir yang
ironisnya belum terkena imbas revolusi mental tersebut.
Ketiga, menurun ke aras instrumental, otonomi
memerlukan presiden yang cakap memimpin perubahan atas segitiga masalah pelik
otoritas, kapasitas, dan integritas. Setelah 14 tahun berotonomi, benang kusut
desain otoritas belum terurai lewat penataan urusan dan fiskal (money follow
function). Diskresi pemda menjadi tumpul ketika politik anggaran pro daerah
hanya sebatas jargon yang tentu saja sulit diandalkan memulihkan fiscal stress
dan ketergantungan daerah (80 persen kabupaten/kota memiliki pendapatan asli
daerah kurang dari 10 persen), menjamin pembiayaan atas urusan yang
terbengkalai, mendorong rasio belanja modal sebagai stimulans ekonomi, dan
lain-lain.
Celakanya, derajat otoritas itu setali tiga uang
dengan kapasitas dan integritas lokal. Uang dan kuasa yang telah mengalir ke
ranah lokal ternyata lebih banyak menemui institusi dan agensi yang lemah.
Hasilnya, inefisiensi dan korupsi masif. Kita dihadapkan pada situasi buruk
terkait tak berkualitasnya belanja APBD di banyak daerah, besarnya dana tak
terserap (sisa lebih perhitungan anggaran sebesar Rp 116 triliun), alokasi
50-70 persen APBD untuk pos birokrasi di 276 daerah, nirakuntabilitas laporan
keuangan (hanya 20 persen daerah memiliki laporan keuangan pemerintah daerah
beropini wajar tanpa pengecualian), aksi perburuan rente/kuasa lewat mesin
keruk pemekaran yang bekerja nyaris tak kenal jeda, serta 321 kepala
daerah/wakil kepala daerah dan ribuan anggota DPRD yang tersangkut tindak
pidana korupsi.
Keempat, akhirnya, hadirnya pemimpin yang mampu
meleverasi otonomi ke konteks besar transformasi Indonesia. Segala masalah di
atas tidak boleh menghalangi upaya pembuktian desentralisasi sebagai jalan
strategis mengubah paradigma pembangunan di negeri ini. Selama ini kita
terkesan terjebak dalam kejumudan otonomi. Pemekaran hanya untuk mekar jabatan,
tak dirancang sebagai rute alternatif bagi territorial reform. Membangun daerah
seolah hanya mengandalkan APBD, itu pun menunggu tetesan dari sisa belanja
birokrasi. Distribusi barang/jasa dan pelayanan publik digariskan berdasarkan
level pemerintahan, bukan sebagai respons atas kondisi publik itu sendiri.
Semua serba rutin, bahkan involutif.
Kegairahan baru berotonomi harus dihadirkan.
Sejumlah daerah (meski terbatas) telah sukses berinovasi. Presiden terpilih
patut mendorong tumbuhnya pusat-pusat kreativitas sektor publik,
mengarusutamakan inovasi sebagai sistem nasional dan menetapkannya sebagai
indikator kinerja wajib. Selama masih gagal membuktikan desentralisasi sebagai
jalan transformasi Indonesia, rakyat tidak akan mereguk tuah otonomi, alih-alih
malah terus terlempar ke garis tepi pembangunan.
Catatan akhir
Platform baru politik desentralisasi menuntut
revolusi fundamental struktur berpikir elite politik hingga street-level
bureaucracy yang harus mengubah mental model dari budaya kuasa ke budaya
melayani warga. Risiko dan resistensi pasti selalu ada; hanya pemimpin
berkarakter perubahan yang dapat mengelola risiko, membuat otonomi bermakna dan
fungsional bagi transformasi negara-bangsa ini. Kalau seorang presiden
mengkritik masih sentralistiknya cara berpikir jajaran pemerintahan, sejatinya
kritik itu adalah afirmasi otentik akan kegagalannya dalam memimpin perubahan.
Publik sudah membaca dokumen VMP dan mendengar
debat/kampanye kedua pasangan capres-cawapres. Dalam konteks otonomi, masalah dan
tantangan mendasar di atas belum sepenuhnya disentuh. Masa kampanye tersisa
diharapkan muncul isu-isu fundamental, dengan cara lihat yang baru dan
meyakinkan dirinya sebagai figur
pemimpin perubahan yang cakap memandu cara baru berpemerintahan di era desentralisasi
ini.
Sumber: Kompas, 25 Juni 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!