Oleh Ramlan
Surbakti
Guru Besar
Perbandingan Politik Fisip Unair
PERSAINGAN
yang bebas dan adil antarkontestan pemilihan umum (partai dan/atau calon)
merupakan parameter ketiga untuk pemilu yang adil dan berintegritas.
Persaingan yang bebas dan adil antarpartai dan/atau calon akan dapat terwujud apabila tujuh faktor berikut terjamin. Pertama, cara yang ditempuh partai dan/atau calon untuk mendapatkan suara dari pemilih bukan dengan cara intimidasi, kekerasan, dan transaksional (uang atau materi lainnya), melainkan dengan cara dialogis dan cara lain yang dibenarkan secara hukum. Kedua, partai dan/atau calon memiliki kebebasan dan kesempatan yang sama untuk meyakinkan pemilih (melaksanakan kampanye) di seluruh daerah pemilihan. Secara negatif, indikator kedua ini dirumuskan sebagai tak ada hambatan, gangguan, intimidasi, atau larangan bagi partai dan/atau calon tertentu melakukan kampanye di satu atau lebih wilayah.
Ketiga,
petahana tidak menggunakan sumber daya publik (kewenangan, anggaran, fasilitas,
dan jam dinas) untuk kepentingan kampanye pemilu. Manipulasi anggaran sebelum
pemilu (pre-election fiscal manipulation) oleh petahana yang duduk di lembaga
legislatif dan eksekutif harus dikontrol. Keempat, ketentuan yang mengatur dana
kampanye, yang dirumuskan untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas
penerimaan dan pengeluaran, ditegakkan secara konsisten. Kelima, ketentuan yang
mengatur pemasangan iklan kampanye pemilu di media massa menjamin kesempatan
yang sama bagi setiap partai dan/atau calon.
Keenam, semua
media massa, baik cetak maupun elektronik, tak hanya harus meliput
(memberitakan dan menyiarkan) kegiatan pemilu secara obyektif/faktual, tetapi
juga meliput kegiatan semua peserta pemilu. Pemilik media yang sekaligus ketua
partai secara potensial melanggar parameter persaingan yang adil karena hanya
meliput kegiatan partainya saja.
Ketujuh,
kampanye untuk mendapatkan suara dari pemilih tidak dengan menjelekkan
partai/calon lain karena suku bangsa, daerah, ras, jenis kelamin, dan agama,
tetapi dengan memperlihatkan prestasi partai/calon dalam pengabdian kepada
bangsa yang didukung data faktual. Karena identitas budaya seperti itu
merupakan given atau merupakan anugerah ilahi dan juga dijamin konstitusi,
kegiatan kampanye pemilu dengan menjelekkan identitas budaya pihak lawan
dan/atau mengagungkan identitas budaya sendiri dapat dikategorikan sebagai
persaingan yang tidak adil.
Persaingan
kurang adil?
Derajat
persaingan "bebas dan adil" antarpeserta pemilu/calon pada pemilu
anggota DPR, DPD, dan DPRDpada 2014 belum terlalu menggembirakan karena lima
dari tujuh indikator persaingan masih bermasalah. Pertama, penggunaan uang
untuk mendapatkan suara masih menonjol, baik dalam bentuk jual beli suara
antara caleg/tim sukses dan pemilih maupun antara caleg/tim sukses dan panitia
pelaksana (KPPS, PPS, PPK, dan KPU kabupaten/kota). Berdasarkan data yang
disampaikan Biro Penerangan Mabes Polri yang dikutip media, terdapat 88 kasus
tindak pidana berupa "pemberian uang atau materi lainnya" untuk
memengaruhi pemilih (politik uang) dan sebanyak 117 kasus tindak pidana yang
dapat digolongkan sebagai transaksi antara caleg/tim sukses dan pelaksana
pemilu.
Bentuknya,
antara lain menambah atau mengurangi suara, memilih menggunakan hak pilih orang
lain atau memberikan suara lebih dari satu kali, penggelembungan atau
penambahan suara, dan mengubah berita acara dan sertifikat hasil perhitungan
Suara. Sebanyak 66 caleg telah ditetapkan sebagai tersangka dan sebanyak 83
anggota tim sukses caleg telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri. Dalam
praktik, jumlah kasus transaksi jual beli suara seperti ini mungkin lebih
banyak daripada yang dapat dideteksi oleh Bawaslu/Panwas dan Polri.
Belum
diketahui berapa petahana legislatif (anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota) dan eksekutif (pengurus parpol yang menjadi kepala daerah) yang
menggunakan sumber daya publik untuk kampanye pemilu. Alokasi anggaran dimanipulasi
sebelum pemilu sehingga digunakan untuk kampanye. Dana aspirasi untuk
konstituen dari anggota DPR/DPRD, dana bantuan sosial dari kepala daerah atau
kementerian, anggaran Pembangunan infrastruktur desa (kepala daerah), dan
Program Jalan Lain Menuju Kesejahteraan Rakyat (kepala daerah) merupakan
sejumlah contoh penyalahgunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi
(Penggunaan Dana Publik untuk Kampanye, Kemitraan dan Institute for Strategic
Initiatives, 2014).
Pengaturan
lewat UU
Semua parpol
peserta pemilu sudah menyampaikan Laporan Akhir Penerimaan dan Pengeluaran Dana
Kampanye Pemilu kepada KPU untuk kemudian diaudit oleh Kantor Akuntan Publik
yang ditetapkan oleh KPU. Jumlah pengeluaran 12 parpol peserta pemilu untuk
kegiatan kampanye pemilu legislatif 2014 mencapai Rp 1.299.600.000.000 (satu
triliun dua ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus juta rupiah).
Partai Gerindra mengeluarkan dana terbesar untuk kampanye pemilu (Rp 306
miliar), sedangkan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mengeluarkan dana
paling sedikit (Rp 19 miliar). Belum diketahui apakah setiap peserta pemilu
beserta para calonnya sudah melaporkan semua penerimaan dan pengeluaran
kampanye secara transparan dan akurat. Derajat kepatuhan setiap peserta pemilu
terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur penerimaan dan pengeluaran
dana kampanye akan dapat diketahui berdasarkan hasil audit dari Kantor Akuntan
Publik.
Secara umum,
dapat dikemukakan bahwa media cetak dan elektronik meliput/menyiarkan kegiatan
semua peserta pemilu secara relatif obyektif/faktual. Namun, tiga dari delapan
pemilik media terbesar di Indonesia merupakan ketua parpol. Karena itu,
walaupun meliput semua peserta pemilu, ketiga media diperkirakan lebih banyak
memberitakan/menyiarkan peserta pemilu tertentu. Tiga stasiun televisi (TV)
swasta mendapatkan peringatan dari Komisi Penyiaran Indonesia karena menyiarkan
acara kampanye partai tertentu secara terselubung pada waktu yang salah (bukan
pada masa kampanye, rapat umum, dan iklan kampanye melalui media massa).
Bahkan, satu TV swasta diperintahkan menghentikan satu program tertentu.
Pemasangan
iklan kampanye pemilu di media massa dapat dikatakan tak merata karena hanya
partai/calon yang memiliki dana besar saja yang mampu memasang iklan kampanye
melalui media massa. Karena itu, persaingan yang adil dari segi pemasangan
iklan kampanye di TV atau surat kabar belum dapat diwujudkan. Karena para
pemilih semakin mengandalkan televisi sebagai sumber informasi politik, negara
melalui UU perlu menjamin persaingan yang adil dalam pemasangan iklan kampanye.
Peserta pemilu menyiapkan dan menyerahkan iklan kampanye kepada stasiun TV
berdasarkan ketentuan yang ditetapkan KPU, sedangkan stasiun TV swasta mengirim
tagihan kepada negara (KPU) setelah menyiarkan iklan tersebut.
Setiap peserta
pemilu dan calon dapat dikatakan bebas melakukan kampanye di seluruh wilayah
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, dapat pula
disimpulkan bahwa tidak ada pelaksana kampanye menjelekkan atau menghina suku
bangsa, daerah, jenis kelamin, ras, dan agama lain untuk keperluan kampanye
pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selain itu, merupakan pelanggaran pidana
pemilu, setiap partai harus menghormati identitas kultural setiap daerah dan
kelompok di Indonesia.
Sumber: Kompas, 23 Juni 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!