Oleh Hasibullah
Satrawi
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Direktur Aliansi Indonesia Damai
Jakarta
PUASA adalah
ibadah yang sangat istimewa bagi umat Islam. Tak semata-mata karena pintu
ampunan senantiasa terbuka lebar pada bulan suci ini, lebih dari itu karena
puasa sarat pesan luhur yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Dalam salah satu Hadis Qudsi, Allah berfirman,
"Semua amal perbuatan manusia untuk mereka sendiri kecuali puasa. Puasa
adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya."
Dalam tradisi
ilmu hadis, Hadis Qudsi masuk dalam tataran hadis paling suci yang sampai pada
tahap mendekati kesucian Al Quran. Sebab, Hadis Qudsi substansinya adalah wahyu
yang diturunkan Allah kepada Muhammad SAW, dan Nabi hanya menarasikan wahyu
tersebut secara tekstual.
Defisit
kejujuran
Berdasarkan
hadis di atas, puasa tak lain adalah ibadah kejujuran. Seseorang mungkin saja
mengaku berpuasa, padahal yang bersangkutan baru melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa (makan, minum, dan lainnya) di tempat yang tak diketahui
orang lain. Demikian juga sebaliknya, seseorang tetap tekun berpuasa. Padahal,
ia punya banyak kesempatan melakukan hal-hal yang membatalkan puasa di tempat
yang tersembunyi dari keramaian orang.
Namun, Allah
Mahatahu atas hamba-Nya yang benar-benar berpuasa dan yang hanya mengaku-ngaku
berpuasa. Sebab, tidak ada satu apa pun di dunia ini yang terbebas dari
pengetahuan Allah.
Di sinilah
letak keistimewaan ibadah puasa. Pelaksanaan ibadah ini tidak membutuhkan
"gerakan" apa pun seperti halnya ibadah shalat. Juga pelaksanaan
ibadah puasa tak perlu melibatkan pihak lain seperti zakat yang harus diberikan
kepada mereka yang tidak mampu. Bahkan, pelaksanaan ibadah ini tidak
membutuhkan "pesta pora" dengan modal yang sangat banyak seperti
halnya ibadah haji.
Ibadah puasa
hanya butuh modal kejujuran, yaitu kejujuran dengan tidak melakukan hal-hal apa
pun yang dapat membatalkan ibadah ini. Jauh lebih penting, kejujuran
melaksanakan ibadah ini hanya karena Allah semata, bukan tujuan yang lain.
Allah pun
berjanji akan membalas pahala mereka yang berpuasa secara langsung sebagaimana
dalam hadis di atas. Hal ini tentu tak terlepas dari kejujuran mereka yang
melakukan ibadah ini selama satu bulan penuh.
Dalam konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia sangat membutuhkan kejujuran
sebagaimana diajarkan oleh puasa, setidaknya dalam dua konteks utama.
Pertama,
konteks kejujuran diri sendiri dan komunitas terdekat. Dalam beberapa waktu
terakhir, bangsa ini nyaris defisit kejujuran, khususnya di kalangan elite.
Justru jamak dilakukan banyak pihak adalah menyalahkan orang dan kelompok lain.
Kesalahan diri sendiri ataupun kelompoknya sebisa mungkin ditutup dengan
setumpuk apologi atau bahkan kebohongan.
Ironisnya,
setiap hari justru semakin bertambah elite yang terlibat dalam sejumlah kasus,
khususnya kasus korupsi. Lebih miris lagi, sebagian pihak seakan merasa bangga
karena indeks korupsi kolompoknya lebih sedikit dibandingkan kelompok lain.
Substansi
keburukan seperti korupsi nyaris tak dipersoalkan, atau bahkan mengalami
pemapanan. Sebab, yang dianggap lebih penting kemudian adalah jumlah, khususnya
jika dibandingkan kelompok lain. Dengan demikian, hanya kelompok yang paling
tinggi secara indeks korupsi yang akan dihakimi sebagai kelompok korup. Adapun
kelompok lain yang indeks korupsinya lebih rendah merasa aman dan mungkin
nyaman. Padahal, substansi kejahatan yang dilakukan kelompok-kelompok yang ada
sesungguhnya sama.
Kedua, konteks
penegakan hukum. Hukum tak bisa ditegakkan secara adil tanpa adanya kejujuran,
baik kejujuran para penegak hukum, segenap jajaran pemerintah, mereka yang
beperkara, atau bahkan para pakar hukum dan pengacara. Tanpa kejujuran, hukum
hanya akan menjadi permainan dan "komoditas" yang diperdagangkan.
Hingga kini
kejujuran semua pihak terkait penegakan hukum masih jadi persoalan utama di
negara ini. Pelbagai macam kisruh hukum yang pernah menggemparkan publik
menunjukkan adanya ketidakjujuran yang cukup akut, termasuk di lingkaran para
penegak hukum. Tingkat kekisruhan yang ada bisa dijadikan tolok ukur
ketidakjujuran yang terjadi; semakin besar kekisruhan yang ada, semakin besar
pula ketidakjujuran yang terjadi. Sebab, hukum tak pernah bermuka dua. Para
penegak hukumlah yang senantiasa berwajah ganda.
Apa yang
disampaikan Nabi dalam salah satu hadisnya mendapatkan pembenaran dari pelbagai
macam kisruh hukum yang terjadi belakangan. Beliau menegaskan, ada tiga macam
hakim, dua di antaranya masuk neraka dan hanya satu yang masuk surga. Dua hakim
yang masuk neraka adalah mereka yang memutus perkara secara curang dan hakim
yang bodoh. Hakim yang masuk surga, yang memutus perkara secara benar dan
jujur.
Dalam konteks
seperti sekarang, hakim yang dimaksud dalam hadis di atas tentu bisa diperluas
mencakup para penegak hukum secara umum, mulai dari kepolisian, jaksa, bahkan
juga pengacara. Sebab, putusan hukum pada era sekarang melibatkan anasir-anasir
di atas.
Pada tahap
selanjutnya, kejujuran dalam penegakan hukum diharapkan mampu menumbuhkan
kesadaran akan hukum dalam kehidupan masyarakat luas. Tanpa kesadaran akan
hukum, berapa pun penjara yang disediakan tidak akan mampu menampung para
pelanggar hukum. Sebab, tanpa kesadaran akan hukum, pelbagai macam pelanggaran
hukum akan senantiasa terjadi tanpa adanya pengakuan dari pihak yang bersangkutan.
Tak sekadar
lapar
Oleh karena
itu, menumbuhkan kesadaran akan hukum sejatinya dijadikan sebagai tujuan utama
penegakan hukum. Sebab, kesadaran akan hukum akan membuat seseorang menghindari
pelanggaran hukum. Kalaupun melakukan pelanggaran hukum, yang bersangkutan akan
mengakui segala kesalahan yang dilakukan, tanpa paksaan dari para penegak
hukum.
Apa yang
terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW di Madinah patut dijadikan cermin
kesadaran hukum. Pada saat itu diriwayatkan banyak pihak yang datang kepada
Nabi mengakui kesalahan yang telah dilakukan, sekaligus meminta untuk segera
dihukum. Salah satu contohnya adalah pengakuan pelanggaran hukum yang dilakukan
seorang bernama Ma'iz, yang mengaku berbuat mesum dan meminta Nabi untuk
menghukumnya.
Ibadah puasa
senantiasa disambut secara gegap gempita oleh hampir semua elemen bangsa ini.
Namun, sejatinya gegap gempita ini dibarengi semangat menumbuhkan kejujuran.
Tak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga sepanjang hari dalam satu bulan.
Sumber: Kompas,
12 Juli 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!