Oleh
Jakob Sumardjo
Budayawan
SESEORANG disebut baik karena berbuat baik, seseorang
disebut jahat karena berbuat jahat. Perbuatanlah yang mengubah manusia dan
dunia, bukan kata-kata.
Meskipun demikian,
perlu diingat bahwa perbuatan adalah manifestasi dan aktualisasi dari
kata-kata, pikiran, dan keinginan yang mendasarinya. Perbuatan baik terjadi
karena keinginan baiknya atau maksud baiknya. Keinginan atau maksud baik
menjadi kenyataan perbuatan baik kalau didasari pemikirannya yang benar. Dengan
demikian, setiap perbuatan segera akan diketahui kandungan keinginan dan
pikirannya, baik atau jahat.
Di Jawa Barat
berkembang cerita rakyat dengan tokoh Si Kabayan. Pada suatu pagi, Abah, bapak
mertua Kabayan, mengajak Kabayan memasang perangkap hewan ke hutan. Abah
memasang perangkap burung, sedangkan Kabayan memasang perangkap pelanduk. Sore
harinya, Abah tak sabar ingin melihat hasil perangkapnya, sementara Kabayan
masih pulas tidur siang.
Perangkap Abah
ternyata masih kosong, sedangkan perangkap Kabayan telah berisi seekor
pelanduk. Hati Abah panas, lalu memindahkan tangkapan pelanduk ke perangkapnya
sendiri, kemudian pulang dan membangunkan Kabayan supaya bersama- sama melihat
hasil perangkapan mereka. Sesampainya di tempat, Kabayan langsung lesu dan
duduk di tepi sungai.
Abah yang sedang
kegirangan melihat Kabayan sedih menatap air sungai lalu menghardiknya,
"Ngapain lu, Kabayan. Ayo pulang, kita masak pelanduk ini!" Jawab
Kabayan, "Heran, euy, ada sungai mengalir dari hilir menuju hulu."
Kata Abah menimpali, "Mana mungkin ada air mengalir dari hilir ke
hulu." Jawab Kabayan enteng, "Ya, sama tidak mungkinnya perangkap
burung berisi pelanduk!"
Kearifan lokal Si
Kabayan ini menunjukkan bahwa setiap perbuatan tidak baik segera akan
terbongkar maksud dan cara berpikirnya yang tidak baik dan tidak benar. Cara
Kabayan membongkar kelicikan bapak mertuanya melalui cara berpikirnya, tidak
mungkin perangkap burung berisi pelanduk yang sama tidak mungkinnya ada air
mengalir ke atas (yang diakui kebenarannya oleh Abah).
Bagi nenek moyang
Indonesia, dua atau tiga generasi yang lalu, laku atau perbuatanlah yang
mengubah manusia dan dunia tempat dia berada. Dirinya menjadi baik dan dunia
sekitarnya menjadi baik kalau dia berbuat baik. Dirinya menjadi jahat dan dunia
sekitarnya kena dampak kejahatannya kalau dia berbuat jahat, dalam arti
maksudnya jahat, cara berpikirnya tidak benar meskipun seolah-olah perbuatannya
tampak baik.
Ilmu iku kelakone
kanthi laku (Mangkunagara IV). Ilmu pengetahuan itu timbul dari perbuatan,
artinya pengetahuan dan pikiran itu tidak banyak gunanya kalau tidak dapat
dipraktikkan dalam kehidupan. Dari perbuatannya, kita mengenali ilmunya. Namun,
memang pikiran semacam itu muncul dari dunia mistisisme yang dalam abad ke-19
masih kuat menggejala di Indonesia. Namun, pesannya cukup relevan untuk manusia
modern Indonesia, yakni bahwa manusia jangan gampang mengumbar kata-kata.
Setiap kata punya konsekuensi dengan perbuatannya. Kalau tidak akan sanggup
melakukannya, lebih baik berdiam diri saja, jangan mengumbar kata-kata tanpa
bobot perbuatan nyata.
Perilaku pemimpin
Kata-kata yang baik
tersebut menghasilkan perbuatan baik. Kalau kata-kata baik hasil perbuatannya
tidak baik, jelas pendusta. Itulah sebabnya, nenek moyang kita abad ke-19
bahkan awal abad ke-20 menyatakan peribahasa: mulut kamu harimau kamu. Atau di
kalangan kraton berkembang ungkapan: sabdo pendito ratu, ucapan raja yang
pendeta. Begitu kata-kata terlepas dari mulutnya, ia mengandung janji yang
harus ditepati dengan perbuatannya.
Tidak mengherankan
ketika banyak calo tenaga kerja blusukan ke desa-desa untuk menggaet
gadis-gadis muda dengan kata-kata mau ditempatkan di posisi kerja terhormat,
ternyata dijadikan "budak nafsu" di luar negeri karena penduduk desa
masih percaya ungkapan "mulut kamu harimau kamu" atau sabdo pendito
ratu. Mereka tidak mengenal perjanjian tertulis yang dapat dibawa ke sidang
pengadilan. Budaya rakyat menjadi korban budaya urban.
Ternyata kata-kata
tidak mengubah apa-apa tanpa diikuti oleh perbuatan nyata. Perbuatan, tingkah
laku, dan teladan yang kasatmata itulah yang dapat mengubah manusia. Justru
manusia dapat belajar banyak dari perbuatan-perbuatan para pemimpinnya. Mana
pemimpin yang cuma pandai ngomong, tetapi tidak terjadi dalam perbuatan nyata,
dan mana pemimpin yang omongannya selalu ditepati dengan tindakan. Pemimpin
yang konsisten antara kata dan perbuatannya atau janji-janjinya dibuktikan
secara nyata dalam perbuatan akan mendapat kepercayaan, yakni kata dan
perbuatan baiknya.
Ada pepatah Indonesia
terkenal, sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya. Sekali
saja Anda ingkar janji, maka ibarat
"nilai setitik rusak susu sebelanga". Sebagai manusia, riwayat Anda
sudah habis kendati usia Anda masih panjang.
Sebagian besar
rakyat Indonesia masih hidup dalam budaya lama di komunitas-komunitas
perkampungan yang masih berpikir "ilmu kelakone kanthi laku". Mereka
menilai apa yang Anda lakukan, bukan apa yang Anda katakan dalam retorika
secantik apa pun. Yang mereka butuhkan adalah perbuatan konkret Anda dalam
mengubah dunia mereka. Kebutuhan mereka sesederhana tuntutan manusia di
mana-mana, yakni cukup makan, cukup papan, cukup sehat, dan cukup aman. Tidak
usah banyak kata-kata, berbuatlah. Kata-kata cukup tersimpan dalam kepala Anda
saja.
Sumber: Kompas, 18 Agustus 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!