Oleh Robert Bala
Diploma
Resolusi Konflik Asia Pasifik
pada Universidad Complutense Madrid, Spanyol
SUNGGUH ironis! Hanya beberapa saat setelah apel bendera, 17 Agustus 2014, terjadi peristiwa berdarah di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Warga Desa Wulandoni dan Pantai Harapan terlibat ”perang” antarkampung. Konflik yang berawal dari masalah tanah itu bisa saja meluas kalau tidak diredam oleh aparat keamanan dari tiga kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT). Mengapa peristiwa itu bisa terjadi? Lalu, apa pembelajaran yang mestinya dipetik dari tragedi ini?
Artikel R Yando Zakaria, ”Catatan atas Konflik Tanah
di Negeri Bersuku-suku” dalam Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus
dan Kampung (2002), mengungkapkan fakta mencengangkan. Bagi praktisi
antropologi, relawan pada Institute for Social Transformation (Insist) dan
Koordinator Program Lingkar untuk Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa) ini,
tingkat konflik tanah cukup besar di Flores. Ada desa yang tingkat konfliknya
bahkan mencapai 50 persen kasus dan terendah adalah 6,67 persen.
Pada tingkat konflik antarkelompok warga dengan
sekelompok warga dari desa lain, angkanya lebih menakjubkan lagi. Ada desa yang
mencapai angka 60 persen. Kebinekaan suku yang mestinya jadi kekayaan justru
menjadi bahaya laten.
Maraknya konflik seperti ini tentu tidak terjadi
secara tiba-tiba. Ia merupakan akumulasi kejadian yang sudah lama terpendam.
Tiap-tiap kelompok memperjuangkan apa yang dianggap menjadi haknya.
Sayangnya, klaim atas tanah itu bersifat parsial. Ia
dikisahkan dalam lingkupnya sebagai sebuah kebenaran tunggal. Di satu pihak, ia
menjadi kebanggaan karena berkisah tentang keperkasaan diri pada masa lalu. Di
pihak lain, ada yang mewarisi kisah sebagai korban. Hak ulayat terpaksa
diserahkan karena adanya pemaksaan. Ia kian parah ketika negara sebagai
supra-suku, yang mestinya hadir meluruskan kisah, ternyata lebih propenguasa.
Dalam perspektif Coser Lewis, dalam Master
Sociological Thought (1977), kisah parsial itu menjadi bahaya laten yang setiap
saat bisa meledak. Jelasnya, kelihatan ia menjadi kisah tak realistis dan kerap
dianggap sepele. Akan tetapi, yang terjadi justru ia menunggu simbol
fisik-realistis sebagai pemicu terjadi konflik terbuka.
Kenyataan semacam inilah yang terjadi antara warga
Wulandoni dan Pantai Harapan di NTT. Pembangunan talut atau pemasangan papan
nama menjadi tanda realistis yang memungkinkan konflik terbuka terjadi.
Ruang narasi
Konflik sangat kerap terjadi karena perbedaan
pandangan tidak secara utuh dikemas. Pemerintah kerap lebih mudah mengambil
jalan represif, entah lewat kekerasan fisik ataupun melalui peranti hukum.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, yang telah dicabut itu, bisa saja menjadi salah satu bagian
dari masalah. Desa ingin dikelola sebagai ruang publik sambil secara nyata
mengangkangi hak adat yang selama itu dihidupi.
Luka itu kini bisa terobati dengan hadirnya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Di sana desa adat diakui, dan
ini mestinya menjadi sebuah momen menggembirakan. Hak adat itu mendapatkan
ruang yang selama ini dirampas.
Namun, hal itu belum final. Di negeri bersuku-suku,
seperti Flores dan Lembata, pengakuan desa adat bisa saja membuka konflik baru.
Desa jadi kumpulan aneka suku yang masing-masing bisa mengklaim sebagai yang
paling berhak dalam era desa adat.
Dalam konteks ini, desa adat mestinya dirumuskan
lebih jauh agar lebih implementatif. Minimal ia perlu menjadi wadah dialog yang
memungkinkan kisah berbeda diluruskan. Di atasnya, sebuah pembaruan bisa
diharapkan terjadi. Pada saat bersamaan, perlu upaya sejalan untuk menata desa
”formal”. Pada desa yang memiliki konflik, perlu dipupuki kesatuan sosial atau
loyalitas ganda.
Dalam dimensi ini, masyarakat antardesa akan makin
intens berinteraksi karena ada ikatan sosial yang menyatukan mereka. Loyalitas
pun akan meluas karena mereka tidak terbatas pada kesatuan desa, tetapi
melampauinya oleh kesatuan yang pada saat bersamaan dimiliki juga dengan warga
di desa lain.
Tuntutan ini menjadi sangat kuat dan urgen, terutama
di desa yang memiliki latar belakang budaya (khususnya agama) berbeda. Mereka
mesti sadar, konflik yang terjadi karena perbedaan paham dengan mudah bisa
disulut menjadi konflik terbuka. Loyalitas ganda bisa jadi peredam karena upaya
perdamaian akan lebih kuat daripada peperangan lantaran dinetralisasi oleh loyalitas
tersebut.
Pada akhirnya, baik desa ”formal” maupun desa adat
yang merupakan basis terkecil dan ”ujung tombak” otonomi mesti dibekali juga
dengan kepiawaian dalam resolusi konflik. Di sana mereka diajak untuk
mendeteksi munculnya konflik dan segera melaksanakan strategi meredamnya agar
hal itu tidak meluas.
Hal inilah yang mestinya jadi fokus perhatian.
Konflik tanah menyadarkan bahwa resolusi menjadi urgensi yang harus disikapi.
Ia tidak sekadar melerai, tetapi juga secara antisipatif membuka narasi dialog
agar dimungkinkan muncul sebuah perdamaian dan harmonisasi yang lebih
berkualitas.
Sumber: Kompas, 6 September 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!