Oleh Asep Salahudin
Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya;
Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat
PERGANTIAN tahun selalu
mendatangkan harapan sekaligus menyisipkan kecemasan. Membersitkan pengalaman
silam sekaligus menghamparkan jejak yang akan dilewati dengan banyak
kemungkinan.
Ini juga mungkin yang
menjadi alasan utama pada malam pergantian tahun orang berkumpul, berdoa, dan
atau menyalakan kembang api dengan bayangan langit pada tahun 2015 memayungi
dengan semburat cahaya. Bisa jadi hari Natal, bahkan juga tahun ini beriringan
dengan maulid Nabi Muhammad SAW, menjadi sangat berimpitan dengan Tahun Baru
dengan sebuah imaji kelahiran sang Yesus itu menjadi pertanda kelahiran kembali
kita, baik sebagai personal, sosial, maupun kebangsaan, menuju kehidupan yang
lebih damai.
Dalam idiom kelahiran
tergambarkan suasana semangat baru. Tak ubahnya bayi yang lahir dari rahim sang
bunda: disambut kehidupan penuh suka dan tangisan sebagai lambang keceriaan.
Tak ada bayi yang kehadirannya ditampik. Ia datang bahkan jauh-jauh hari telah
dinanti setelah sang bunda menyimpannya di perut selama sembilan bulan.
Setelah lahir,
lekaslah diberi nama terindah. Lengkap dengan hajatan yang berisi doa, rajah,
dan mantra. Nyaris tidak hanya orangtua yang ikut bahagia, bahkan juga keluarga
dan tetangga. Dalam tradisi Islam, dibacakannya puisi-puisi marhaba. Anta
syamsyun anta badrun anta nurun fauqa nuri. Engkau mentari, engkau rembulan,
engkau cahaya di atas cahaya.
Bayi Indonesia
Dalam konteks
kebangsaan, tentu saja bayi itu bernama Indonesia, yang hari ini telah
menginjak usia 69 tahun. Diksi lain dengan terang menahbiskannya lewat kata
berjenis kelamin hawa: ibu pertiwi. Disemai manusia pergerakan lewat pena dan
senjata. Dan, puncaknya akta kelahiran itu tertanggal 17 Agustus 1945 di Jalan
Pegangsaan Timur dan kebetulan Soekarno-Hatta dipercaya sebagai bidannya.
Kepada manusia,
pergerakan kita banyak berutang budi. Mereka tidak hanya telah berjuang, tetapi
juga menjadikan perjuangan itu sebagai bagian tugas suci kebangsaan. Kalau
sudah berbicara ”bangsa”, apa pun ditanggalkan, termasuk sentimen agama dan
etnisitas.
Seandainya mereka
berbeda pilihan ideologi, ideologi yang mereka kukuhi itu bukan sekadar
kendaraan untuk meraih kursi kekuasaan, tetapi justru sebagai alat untuk
mempercepat Indonesia menemukan adabnya. Mempercepat bagaimana kemerdekaan itu
dapat diartikulasikan dalam maknanya yang hakiki.
Maka, menjadi tidak
aneh kalau kita membaca hikayat manusia pergerakan yang tergambarkan adalah
potret manusia-manusia Indonesia yang sudah menyatu dengan bahasa, tanah air,
dan tumpah darahnya. Ketika berbicara tentang keindonesiaan, yang muncul bukan
puak dan institusi keagamaan, melainkan semangat kebangsaan yang berwatak
inklusif, kosmopolit, dan menjunjung tinggi keragaman. Maka, misalnya, dengan
sangat mudah Mohammad Hatta menerima usulan dari Indonesia bagian timur untuk
mengganti sila ”Ketuhanan yang Maha Esa” tanpa disertai ”tujuh kata” di
belakangnya. Wahid Hasyim, Teuku Hasan, Ki Bagus Hadikoesoemo, Kasman, dan
lainnya dengan legawa menerimanya.
Soekarno tidak
kemudian murka ketika usulan sila-sila Pancasila tidak diterima di sidang
BPUPKI pada 1 Juni 1945. Padahal, kalau
kita renungkan, sila Pancasila yang diusung Soekarno sangat visioner. Menating
tentang kebangsaan Indonesia, internasionalisme, atau perikemanusiaan, mufakat
atau demokrasi, dan kesejahteraan sosial serta ketuhanan yang berkebudayaan.
Pantas kalau Russel menyebutnya Great Thinker in The East.
Padahal, bayi bernama
Indonesia itu lahir sangat tidak lazim sebagaimana konsep kebangsaan pada
negara-negara Barat. Keindonesiaan, seperti tesis Anderson, dibangun tidak di
atas tanah dan air yang konkret dan homogen, tetapi justru di atas bentangan
imaji tentang persatuan dan kesatuan dengan suku yang berjumlah ratusan, bahasa
ribuan, serta agama dan kepercayaan yang tak tepermanai. Dibangun di atas
hamparan kesamaan nasib: ketertindasan.
Entah rajah apa yang
dirapalkan manusia pergerakan sehingga mereka bisa mempersatukan keragaman tersebut.
Dapat melakukan konsolidasi fantasi nasionalisme.
Bahkan, menjadi sulit
mencari tautan logisnya ketika lambang Garuda yang dianggit dari kitab Sutasoma
abad ke-14 masa kejayaan Majapahit bisa kemudian diimani sebagai ”kalimatun
sawa”. Bagaimana lagu kebangsaan Indonesia Raya yang pertama kali dikumandangkan
saat Sumpah Pemuda bisa menjadi perekat seluruh anak bangsa dalam kesatuan
cita-cita berbangsa. Bagaimana dokter Wahidin, Cipto Mangunkusumo, dan Gunawan
melakukan pembangkangan kepada Hindia Belanda demi memburu mimpi abstrak
”kebangkitan nasional”.
Bagaimana pula
seorang KH Hasyim Asy’ari pada peristiwa November 1945 lewat resolusi jihadnya
bisa mengeluarkan fatwa bahwa mengusir kaum penjajah adalah bagian dari jihad
fi sabilillah dan kematiannya dianggap martir (syahid). Bagaimana seorang Bung
Tomo atas nasihat Hadartusy Syekh, teriakan Allahu Akbar-nya mampu membakar
masyarakat Surabaya sehingga mereka tak kenal gentar menerjang kolonial yang
hendak mencengkeramkan kembali kuasa penjajahannya di Nusantara.
Bagi saya, salah satu
kelebihan manusia pergerakan itu mereka menjadikan politik sebagai rute meraih
kemuliaan. Alhasil, mereka benar-benar masuk dalam palung pengalaman politik
keutamaan. Balai deliberatif dibuka lebar-lebar dan mereka kemudian
mempercakapkan keindonesiaan dalam maqam kesetaraan dan nalar menjulang dengan
tidak menghilangkan sikap lapang dalam mengapresiasi berbagai perbedaan.
Kemuliaan tidak
diletakkan pada militansi memaksakan keinginan, tetapi pada keluhuran pekerti.
Maka, misalnya, menjadi tidak ada masalah seandainya mereka datang ke Gedung
Konstituante berjalan kaki, jas yang robek, dan atau pakaian lusuh.
Asketisme politik
menjadi pilihan hidupnya. Di titik ini kita membaca Soekarno yang tidak pernah
memburu benda; Tan Malaka yang tidak memiliki alamat rumah tinggal; Hatta yang
sederhana tetapi tegas ketika bersikap harus bersimpang jalan dengan Soekarno;
Sjahrir yang lebih mengedepankan kekuatan pikir ketimbang berkompromi dengan
keadaan; Wahid Hasyim yang tidak kehilangan spirit kejuhudan; Juanda dan
Johannes Leimena yang lurus dan tekun bekerja; Otto Iskandar Dinata bahkan
tidak ditemukan makamnya karena dibunuh dalam sebuah sengketa yang sampai hari
ini belum jelas apa motif di baliknya.
”Demos” dan ”kratos”
Tentu saja itu adalah
cerita silam. Narasi nostalgis yang seharusnya menginjeksikan sebuah kesadaran
kepada manusia politik Indonesia awal abad ke-21 bahwa hari ini iklim politik
kita dikepung anomali, ada sesuatu yang keliru. Bagaimana tidak, pasca pemilu
dan setelah pilpres usai pada 2014, yang mencuat ke permukaan bukan semangat
bekerja, melainkan justru kegaduhan merayakan kebencian.
Dalam atmosfer
keagamaan, yang tampil ke muka sepanjang tahun 2014 bukan spirit melahirkan
risalah agama sebagai daya untuk membangun kohesivitas kekitaan dan menjelmakan
iman yang rahmatan lil-alamin. Akan tetapi, sebaliknya, yang kita saksikan
agama (baca: ormas) malah sibuk mempromosikan pendakuan kebenaran seraya
melipatgandakan pandangan liyan sebagai ”kafir”. Kekerasan—baik fisik maupun
simbolik—pada tahun 2014 beranak pinak dan apabila negara tidak lekas
memberikan kepastian kehadirannya, tidak mustahil pada akhirnya akan menjadi
api membesar dan akhirnya membakar semua bangunan peninggalan manusia
pergerakan.
Tahun 2015, di bawah
nakhoda Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yang terpilih secara demokratis, semoga
demos itu tidak kehilangan kratos-nya. Selamat Natal dan Tahun Baru.
Sumber:
Kompas, 31 Desember 2014

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!