Headlines News :
Home » » Merebut Kembali Kedaulatan Rakyat

Merebut Kembali Kedaulatan Rakyat

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, February 12, 2015 | 8:34 PM

Oleh Cypri Jehan Paju Dale
Aktivis Sunspirit 

DESENTRALISASI telah menjadi salah satu mantra andalan bagi demokrasi dan pembangunan selama beberapa dekade terakhir, yang dipercaya dan diklaim bukan saja sebagai resep penyembuh untuk pemerintahan otoriter (otoritarianisme) tetapi juga jawaban untuk masalah kemiskinan.

Mantra desentralisasi ini, kendati merupakan desakan dan kebutuhan internal setiap negara dan masyrakat, juga merupakan resep yang disediakan agen-agen neo-liberal seperti Bank Dunia, IMF, dan PBB sejak dua dekade terakhir abad ke-20, yang dipromosikan bersamaan dengan resep-resep pembangunan kapitalistik yang bertumpuh pada liberalisasi ekonomi, investasi tanpa batas, demi mengejar pertumbuhan ekonomi.

Dalam rangka itu, juga diperkenalkan sistem pemilihan kepala daerah langsung dan resep pemerintah dan pemerintahan yang baik (good government dan good governance), dengan trasnparansi dan akuntabilitas sebagai prinsip utamanya. Dipercaya bahwa good governnant/governance itu akan menjalankan dengan benar resep liberalisasi ekonomi, sekaligus menjamin investasi dan pasar bebas, yang pada gilirannya menjawab masalah kemiskinan.

Indonesia setelah kejatuhan Soeharto telah mengikuti semua resep itu dalam proyek otonomi daerah, percepatan dan perluasan pembangunan (antara lain lewat Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi – MP3EI), liberalisasi perdagangan, serta privatiasasi dan eksploitasi sumber daya kolektif masyarakat atas nama investasi.

Dalam dua dekade, pemerintahan di pusat dan di daerah telah bekerja dalam kerangka kerja neoliberal ‘pemerintahan yang baik’ demi mewujudkan pembangunan yang melayani pasar dan demi melakukan pelayanan publik. Jelas dari situ bahwa desentralisasi merupakan sebuah proses politik dan ekonomi sekaligus, yang seperti dilukiskan berbagai cendikiawan, mendekatkan kekuasaan ke tingkat lokal sekaligus memfasilitasi globalisasi ekonomi kapitalistik (Haris,et.al. 2004, Hadiz 2010).

Jelas bahwa desentralisasi merupakan metode sekaligus proses demokrasi yang berpotensi membuka peluang bagi keterlibatan aktif masyarakat lokal untuk menentukan arah masa depan mereka sendiri dibidang politik dan ekonomi. Namun, apa yang terjadi setelah (hampir) dua dekade desentralsiasi?

Bersamaan dengan merangsek-masuknya ekspansi investor kapitalistik ke kantong-kantong sumber daya alam di daerah-daerah, kita menyaksikan lahirnya elit-elit politik dan ekonomi baru di daerah-daerah, bersamaan dengan re-konsolidasi elit-elit politik dan ekonomi lama (dan baru) di tingkat pusat. Mereka itu membajak proses demokratisasi dalam proses desentralisasi pasca-kejatuhan Soeharto.

Kendati terpilih lewat pemilihan umum yang (secara prosedural tampak) demokratis, tidak sedikit dari wakil rakyat dan kepala daerah, seperti juga pejabat-pejabat pusat, yang melakukan korupsi yang sistemik. Sampai akhir 2014, tercatat 325 kepala dan wakil kepala daerah, 76 anggota DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan pejabat lembaga negara yang terjerat kasus korupsi.

Sejak penerapan otonomi daerah, sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala daerah terlibat kasus korupsi (Data KPK 2014). Itu belum terhitung kasus korupsi yang belum berhasil diungkap KPK. Modus korupsi itu bukan hanya perampokan APBN dan APBD, tetapi terkait juga dengan investasi dan eksploitasi sumber daya alam seperti dalam kasus korupsi terkait izin tambang (Hasiman 2014, data KPK 2014) dan korupsi di sektor kehutanan (ICW 2014, data KPK 2004).

Banyak politisi yang menjadi bagian dari gurita bisnis, dan sebaliknya, banyak taipan yang sekaligus memegang posisi kunci di partai-partai politik baik di tingkat pusat maupun daerah. Kolusi kepentingan kuasa politik dan ekonomi menjadi hal yang jamak.

Selain itu, di daerah-daerah, seperti dalam studi kami di Manggarai Raya NTT sebagai contoh kasus, tidak sedikit dari anggota DPR yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan mafia proyek-proyek APBD dan APBN (Dale 2013).

Tampaknya kesimpulan Hadiz tentang desentralisasi di Indonesia itu berlaku umum, yaitu bahwa desentralisasi telah memfasilitasi lahirnya kekuasaan yang buas (predatory power) di daerah-daerah (Hadiz 2010) yang berfungsi baik secara independen maupun terkoordinasi dengan mafia yang sama di tingkat nasional. Dengan beberapa pengecualian (yang perlu diteliti lebih lanjut), demokrasi lokal yang tampaknya sukses lewat terselenggaranya pemilihan kepala daerah langsung dan lewat pemilihan wakil rakyat ternyata tidak berhasil mewujudkan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Yang terjadi justru sebuah paradoks: dalam suksesnya demokrasi prosedural tercipta sebuah oligarki atau aristorkasi (yaitu kekuasaan dan penguasaan oleh segelintir elite), sekaligus juga sebuah plutokrasi (yaitu elite yang kaya).

Bersamaan dengan paradoks demokrasi lokal itu juga kita saksikan paradoks pembangunan. Yaitu bahwa di tengah maraknya pembangunan (terutama lewat alokasi APBD dan lewat investasi serta eksploitasi sumber daya alam), terjadi proses-proses pencaplokan sumber daya alam, marginalisasi kelompok rentan, serta buruknya pelayanan publik.

Pembangunan tidak saja gagal memenuhi janji akan kesejahteraan umum dan keadilan bagi semua, tetapi justru menjadi proses yang kendati mendatangkan keuntungan berlimpah bagi elite, menghasilkan pemiskinan sistemik bagi rakyat kecil (Dale 2013).

Paradoks demokrasi lokal dan paradoks pembangunan seperti itu membuat kita sadar bahwa bahwa kendati (1) membuka peluang bagi partisipasi dan self-determinasi masyarakat setempat, (2) desentralisasi atau otonomi daerah tidak dengan serta merta menjami kedaulatan rakyat, yaiutu cratos (pemerintahan) oleh demos (rakyat). Desentralisasi hanya menciptakan ruang yang memungkinkan demokrasi itu diperjuangkan, ruang yang sekaligus juga diincar elit predator dan pebisnis kapitalistik untuk kepentingan mereka sendiri.

Bersamaan dengan itu, elit-elit predator yang tumbuh subur dalam dekokrasi liberal itu sekaligus juga merupakan agen-agen dari sistem ekonomi kapitalistik, yang kendati berbicara untuk kesejahteraan umum, sesungguhnya berkepentingan untuk mengincar sumber daya publik untuk diprivatiasi dan dijadikan sumber akumulai kapital atas nama pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Yang dihadapi bukan semata-mata individu-individu rakus dalam diri politisi, birokrat, dan pengusaha korup dan tamak, tetapi sebuah tata ekonomi global yang dibangun atas dasar akumulasi keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli pada keadilan sosial dan kelestarian alam.

Dalam konteks itu, pergumulan demokrasi lokal bukan semata-mata pertarungan demokratis setara untuk merebut posisi politik dan birokratik tertentu (dalam pilkada atau pileg). Menempatkan orang-orang bersih, kredibel, dan siap bekerja untuk rakyat pada posisi eksekutif dan legilsatif melalui pemilihan umum memang merupakan bagian penting dari pergumulan demokrasi lokal.

Namun pergumulan demokrasi lokal lebih dari itu. Pergumulan demokrasi lokal adalah pertaruhan menegakkan kedaulatan rakyat dan mempertahankan kepentingan umum, menjamin survival, welbeing, dan dignity masyarakat umum.

Dalam gerakan emansipasi itu, para politisi, birokrat, pengusaha, aktivis, agamawan, budayawan, ilmuwan, dll tidak dengan serta-merta merupakan kawan seperjuangan. Dapat saja mereka justru merupakan serigala berbulu domba, yaitu kekuatan anti-demokrasi, yang merampas tidak saja uang rakyat dan sumber daya alam kolektif, tetapi juga merampas kedaulatan rakyat, dan hak mereka untuk turut serta menentukan arah masa depan bangsa dan negara.

Perjuangan demokrasi itu sekaligus politis dan epistemik. Yaitu mencegah dan melawan hegemoni yang bekerja lewat pengetahuan dan lewat struktur-struktur relasi kuasa dominasi; dan mewujudkan lewat pengetahuan kritis dan tindakan politis, sebuah tata politik, ekonomi, dan budaya transformatif, di mana solidaritas, keadilan, kesejahteraan umum menjadi proses sekaligus tujuan utamanya. Dalam arti itu pergumulan demokrasi lokal adalah sebuah gerakan emansipasi.
Sumber: floresbangkit.com, 12 Februari 2015
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger