Oleh Cypri Jehan Paju Dale
Aktivis Sunspirit
DESENTRALISASI telah menjadi salah satu mantra andalan bagi demokrasi dan
pembangunan selama beberapa dekade terakhir, yang dipercaya dan diklaim bukan
saja sebagai resep penyembuh untuk pemerintahan otoriter (otoritarianisme)
tetapi juga jawaban untuk masalah kemiskinan.
Mantra
desentralisasi ini, kendati merupakan desakan dan kebutuhan internal setiap
negara dan masyrakat, juga merupakan resep yang disediakan agen-agen
neo-liberal seperti Bank Dunia, IMF, dan PBB sejak dua dekade terakhir abad
ke-20, yang dipromosikan bersamaan dengan resep-resep pembangunan kapitalistik
yang bertumpuh pada liberalisasi ekonomi, investasi tanpa batas, demi mengejar
pertumbuhan ekonomi.
Dalam rangka
itu, juga diperkenalkan sistem pemilihan kepala daerah langsung dan resep
pemerintah dan pemerintahan yang baik (good government dan good governance),
dengan trasnparansi dan akuntabilitas sebagai prinsip utamanya. Dipercaya bahwa
good governnant/governance itu akan menjalankan dengan benar resep liberalisasi
ekonomi, sekaligus menjamin investasi dan pasar bebas, yang pada gilirannya
menjawab masalah kemiskinan.
Indonesia
setelah kejatuhan Soeharto telah mengikuti semua resep itu dalam proyek otonomi
daerah, percepatan dan perluasan pembangunan (antara lain lewat Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi – MP3EI), liberalisasi
perdagangan, serta privatiasasi dan eksploitasi sumber daya kolektif masyarakat
atas nama investasi.
Dalam dua
dekade, pemerintahan di pusat dan di daerah telah bekerja dalam kerangka kerja
neoliberal ‘pemerintahan yang baik’ demi mewujudkan pembangunan yang melayani
pasar dan demi melakukan pelayanan publik. Jelas dari situ bahwa desentralisasi
merupakan sebuah proses politik dan ekonomi sekaligus, yang seperti dilukiskan
berbagai cendikiawan, mendekatkan kekuasaan ke tingkat lokal sekaligus
memfasilitasi globalisasi ekonomi kapitalistik (Haris,et.al. 2004, Hadiz 2010).
Jelas bahwa
desentralisasi merupakan metode sekaligus proses demokrasi yang berpotensi
membuka peluang bagi keterlibatan aktif masyarakat lokal untuk menentukan arah
masa depan mereka sendiri dibidang politik dan ekonomi. Namun, apa yang terjadi
setelah (hampir) dua dekade desentralsiasi?
Bersamaan
dengan merangsek-masuknya ekspansi investor kapitalistik ke kantong-kantong
sumber daya alam di daerah-daerah, kita menyaksikan lahirnya elit-elit politik
dan ekonomi baru di daerah-daerah, bersamaan dengan re-konsolidasi elit-elit
politik dan ekonomi lama (dan baru) di tingkat pusat. Mereka itu membajak
proses demokratisasi dalam proses desentralisasi pasca-kejatuhan Soeharto.
Kendati
terpilih lewat pemilihan umum yang (secara prosedural tampak) demokratis, tidak
sedikit dari wakil rakyat dan kepala daerah, seperti juga pejabat-pejabat
pusat, yang melakukan korupsi yang sistemik. Sampai akhir 2014, tercatat 325
kepala dan wakil kepala daerah, 76 anggota DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan
pejabat lembaga negara yang terjerat kasus korupsi.
Sejak
penerapan otonomi daerah, sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala
daerah terlibat kasus korupsi (Data KPK 2014). Itu belum terhitung kasus
korupsi yang belum berhasil diungkap KPK. Modus korupsi itu bukan hanya
perampokan APBN dan APBD, tetapi terkait juga dengan investasi dan eksploitasi
sumber daya alam seperti dalam kasus korupsi terkait izin tambang (Hasiman
2014, data KPK 2014) dan korupsi di sektor kehutanan (ICW 2014, data KPK 2004).
Banyak
politisi yang menjadi bagian dari gurita bisnis, dan sebaliknya, banyak taipan
yang sekaligus memegang posisi kunci di partai-partai politik baik di tingkat
pusat maupun daerah. Kolusi kepentingan kuasa politik dan ekonomi menjadi hal
yang jamak.
Selain itu, di
daerah-daerah, seperti dalam studi kami di Manggarai Raya NTT sebagai contoh
kasus, tidak sedikit dari anggota DPR yang terlibat secara langsung maupun
tidak langsung dengan mafia proyek-proyek APBD dan APBN (Dale 2013).
Tampaknya
kesimpulan Hadiz tentang desentralisasi di Indonesia itu berlaku umum, yaitu
bahwa desentralisasi telah memfasilitasi lahirnya kekuasaan yang buas
(predatory power) di daerah-daerah (Hadiz 2010) yang berfungsi baik secara
independen maupun terkoordinasi dengan mafia yang sama di tingkat nasional.
Dengan beberapa pengecualian (yang perlu diteliti lebih lanjut), demokrasi
lokal yang tampaknya sukses lewat terselenggaranya pemilihan kepala daerah
langsung dan lewat pemilihan wakil rakyat ternyata tidak berhasil mewujudkan
demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Yang terjadi
justru sebuah paradoks: dalam suksesnya demokrasi prosedural tercipta sebuah
oligarki atau aristorkasi (yaitu kekuasaan dan penguasaan oleh segelintir
elite), sekaligus juga sebuah plutokrasi (yaitu elite yang kaya).
Bersamaan
dengan paradoks demokrasi lokal itu juga kita saksikan paradoks pembangunan.
Yaitu bahwa di tengah maraknya pembangunan (terutama lewat alokasi APBD dan
lewat investasi serta eksploitasi sumber daya alam), terjadi proses-proses
pencaplokan sumber daya alam, marginalisasi kelompok rentan, serta buruknya
pelayanan publik.
Pembangunan
tidak saja gagal memenuhi janji akan kesejahteraan umum dan keadilan bagi
semua, tetapi justru menjadi proses yang kendati mendatangkan keuntungan
berlimpah bagi elite, menghasilkan pemiskinan sistemik bagi rakyat kecil (Dale
2013).
Paradoks
demokrasi lokal dan paradoks pembangunan seperti itu membuat kita sadar bahwa
bahwa kendati (1) membuka peluang bagi partisipasi dan self-determinasi
masyarakat setempat, (2) desentralisasi atau otonomi daerah tidak dengan serta
merta menjami kedaulatan rakyat, yaiutu cratos (pemerintahan) oleh demos
(rakyat). Desentralisasi hanya menciptakan ruang yang memungkinkan demokrasi
itu diperjuangkan, ruang yang sekaligus juga diincar elit predator dan pebisnis
kapitalistik untuk kepentingan mereka sendiri.
Bersamaan
dengan itu, elit-elit predator yang tumbuh subur dalam dekokrasi liberal itu
sekaligus juga merupakan agen-agen dari sistem ekonomi kapitalistik, yang
kendati berbicara untuk kesejahteraan umum, sesungguhnya berkepentingan untuk
mengincar sumber daya publik untuk diprivatiasi dan dijadikan sumber akumulai
kapital atas nama pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Yang
dihadapi bukan semata-mata individu-individu rakus dalam diri politisi,
birokrat, dan pengusaha korup dan tamak, tetapi sebuah tata ekonomi global yang
dibangun atas dasar akumulasi keuntungan sebesar-besarnya tanpa peduli pada keadilan
sosial dan kelestarian alam.
Dalam konteks
itu, pergumulan demokrasi lokal bukan semata-mata pertarungan demokratis setara
untuk merebut posisi politik dan birokratik tertentu (dalam pilkada atau
pileg). Menempatkan orang-orang bersih, kredibel, dan siap bekerja untuk rakyat
pada posisi eksekutif dan legilsatif melalui pemilihan umum memang merupakan
bagian penting dari pergumulan demokrasi lokal.
Namun
pergumulan demokrasi lokal lebih dari itu. Pergumulan demokrasi lokal adalah
pertaruhan menegakkan kedaulatan rakyat dan mempertahankan kepentingan umum,
menjamin survival, welbeing, dan dignity masyarakat umum.
Dalam gerakan
emansipasi itu, para politisi, birokrat, pengusaha, aktivis, agamawan,
budayawan, ilmuwan, dll tidak dengan serta-merta merupakan kawan seperjuangan.
Dapat saja mereka justru merupakan serigala berbulu domba, yaitu kekuatan
anti-demokrasi, yang merampas tidak saja uang rakyat dan sumber daya alam
kolektif, tetapi juga merampas kedaulatan rakyat, dan hak mereka untuk turut
serta menentukan arah masa depan bangsa dan negara.
Perjuangan
demokrasi itu sekaligus politis dan epistemik. Yaitu mencegah dan melawan
hegemoni yang bekerja lewat pengetahuan dan lewat struktur-struktur relasi
kuasa dominasi; dan mewujudkan lewat pengetahuan kritis dan tindakan politis,
sebuah tata politik, ekonomi, dan budaya transformatif, di mana solidaritas,
keadilan, kesejahteraan umum menjadi proses sekaligus tujuan utamanya. Dalam
arti itu pergumulan demokrasi lokal adalah sebuah gerakan emansipasi.
Sumber: floresbangkit.com,
12 Februari 2015

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!