Oleh Achmad Sujudi
Menteri Kesehatan RI 1999-2004
"Mari kita mendirikan fakultas kedokteran
di Papua karena putra-putri Papua itulah yang nantinya akan berbakti di
wilayahnya."
Pernyataan di atas adalah reaksi spontan dan tulus
saya sebagai Menteri Kesehatan pada Kabinet Gotong Royong (1999-2004) ketika
menjawab pertanyaan sejumlah pihak, khususnya anggota DPRD Papua.
Pertanyaan mereka sederhana: mengapa pemerintah
pusat tidak menyetujui adanya fakultas kedokteran (FK) di Papua? Pertanyaan ini
muncul berdasarkan pengalaman mereka bahwa para dokter yang datang ke Papua
hanya bertugas sebentar, kemudian pergi meninggalkan Papua.
Dalam pandangan saya saat itu, putra-putri Indonesia
timur, termasuk Papua, sudah selayaknya dapat kesempatan mengenyam pendidikan
kedokteran yang lebih mudah dan terjangkau ketimbang harus menempuh pendidikan
di tempat yang jauh, yang mungkin tak terjangkau. Mendengar jawaban saya di
hadapan DPRD Papua tersebut di atas, reaksi dari Dewan sangat mengejutkan. Mereka,
para anggota Dewan dan sebagian tokoh, hampir tidak memercayainya. Mereka ragu
karena selama ini Jakarta hanya berjanji dan bahkan tak menyetujui hal
tersebut.
Selang beberapa waktu kemudian, melalui sejumlah
lobi dan upaya lainnya, jurusan program pendidikan kedokteran pun dibentuk di
Universitas Cenderawasih (Uncen) dengan dibantu oleh sejumlah universitas
terdekat, seperti Universitas Hasanuddin dan Universitas Samratulangi, serta
Universitas Gadjah Mada. Program ini sepenuhnya dibantu dan didukung oleh
Departemen Kesehatan. Walaupun tertatih-tatih, program pendidikan kedokteran
ini pun berkembang menjadi FK dan bahkan ada jurusan pendukung, yakni
keperawatan.
Kondisi tersebut jadi berubah setidaknya dalam dua
tahun terakhir. Liputan Kompasedisi 18Januari 2015 menggugah saya khususnya dan
(sebagian besar) mereka yangconcern pada pembangunan kesehatan di Indonesia.
Pada liputan tersebut, Kompas melaporkan kondisi yang sangat ironis dialami oleh
FK Uncen. Baik disebabkan kondisi internal universitas dan fakultas, fasilitas
yang minim, tenaga pengajar terbatas, maupun sejumlah penyebab lain, yang pada
ujungnya menjadikan niat tulus untuk melahirkan tenaga profesional yang bisa
mengabdi pada daerahnya boleh jadi hanya akan menjadi sebuah angan-angan.
Janji Jokowi-JK
Jika merujuk 9 Program Nyata Jokowi-JK yang
dijanjikan saat kampanye, pada butir ketujuh (bidang kesehatan) dinyatakan:
"akan memberikan layanan kesehatan gratis rawat inap/rawat jalan dengan
Kartu Indonesia Sehat. Membangun 6.000 puskesmas dengan fasilitas rawat inap
serta air bersih untuk seluruh rakyat." Sementara janji pada butir
kesembilan: "mewujudkan pendidikan seluruh warga negara, termasuk anak
petani, nelayan, buruh, termasuk difabel dan elemen masyarakat lain melalui
Kartu Indonesia Pintar."
Kampanye Jokowi-JK yang menekankan pada konsep
paradigma sehat, yakni mengedepankan promotif dan preventif, perlu diapresiasi.
Sebab, konsep ini menjadi lebih efisien dan ekonomis. Contoh sederhana:
penyakit malaria, tidak mungkin hanya diobati, tetapi juga dilakukan pencegahan
penularannya dengan memusnahkan sarang nyamuk, penggunaan kelambu, dan
lain-lain yang sifatnya preventif.
Bandingkan dengan "paradigma sakit" yang
lebih concern pada kuratif dan rehabilitatif. Dengan demikian, upaya kesehatan
primer melalui pembangunan puskesmas (bukan rumah sakit) sebanyak-banyaknya
yang dijanjikan Jokowi-JK harus diapresiasi. Hanya saja, pertanyaan besarnya,
siapa yang akan mengisi dan menjalankan peran puskesmas tersebut, khususnya di
wilayah terpencil dan pedalaman.
Pada era Orde Lama ada aturan berupa UU No 8/1961
(sebagai revisi aturan sebelumnya, yakni UU No 8/1951) yang kemudian dikenal
dengan wajib kerja sarjana (WKS). Intinya menyatakan penempatan dokter dan
dokter gigi diatur oleh pemerintah dengan sanksi penangguhan pemberian surat
izin untuk praktik.
Pada era Orde Baru, aturan WKS untuk dokter dan
paramedis diperkuat Keputusan Presiden RI No 37/1991 tentang Pengangkatan
Dokter sebagai Pegawai Tidak Tetap Selama Masa Bakti. Ini dimaksudkan bahwa
yang mengikuti WKS telah diangkat sebagai pegawai negeri tidak tetap. Setelah
masa bakti berakhir, ia dapat melanjutkan dengan diangkat jadi pegawai negeri
sipil (PNS). Di samping menjelaskan tentang pengembangan karier, keppres ini
menjelaskan juga tentang sanksi atas pelanggaran. Anggaran untuk penempatan
tenaga WKS dialokasikan melalui dana Inpres. Seperti kita ketahui, pada era
Orde Baru ada banyak skema Inpres, termasuk di dalamnya Inpres dokter.
Pada era reformasi terjadi perubahan dalam skema
Inpres yang juga berimbas pada Inpres dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Di
samping itu, diterapkannya desentralisasi dan sejumlah pemekaran wilayah
menyebabkan terjadinya perubahan birokrasi di sejumlah wilayah. Sejumlah
kebijakan pun berubah, menyebabkan para sarjana serta dokter dan tenaga
kesehatan mempunyai haknya sendiri untuk melakukan pengabdian atau pencarian
hidupnya.
Lahirnya UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
menjadikan aturan WKS tak berlaku lagi. Maka, otomatis semua sarjana —termasuk
sarjana kesehatan, dokter, dan dokter gigi— tidak terikat lagi dengan aturan
wajib kerja pada pemerintah. Kalau tidak ada kewajiban dokter bertugas di Papua
dan lembaga yang mencetak dokter juga tak dilindungi, lantas bagaimana nasib
kesehatan di Papua? Inilah yang menjadi quo vadis. Padahal, kita tahu, kondisi
kesehatan Papua dari berbagai sisi berada pada posisi yang sangat
memprihatinkan dan harus segera ditangani.
Selamatkan FK Uncen
Tak dapat dimungkiri, kondisi FK Uncen memang jauh
dari ideal, khususnya dalam melahirkan profesi dokter yang tugasnya sangat
berat. Namun, usulan membubarkan FK Uncen adalah langkah sangat tidak logis.
Bagi generasi saya —bahkan sebelumnya— yang menempuh pendidikan kedokteran di
sejumlah universitas pada era 1960-an, kondisi, fasilitas, suasana, dan
sejumlah variabel lain bisa jadi mirip dengan yang dialami FK Uncen saat ini.
Namun, semangat, kemauan, dan political will pemerintah saat itu memberikan
semangat pada kami untuk tidak hanya berpangku tangan menghadapi nasib. Semua
pemangku kepentingan bekerja keras. Ternyata, hasilnya, alumnus kedokteran era
tersebut memberikan peran yang besar terhadap perubahan bangsa ini.
Pemerintahan (pusat) saat ini, pemerintah daerah di
Papua, dukungan civil society, lembaga lokal, nasional, dan internasional, serta
kontribusi sejumlah perusahaan yang melakukan kegiatan di Papua harus bisa
bergandengan tangan menyelamatkan lembaga pendidikan yang akan memberikan
kontribusi bagi pembangunan (kesehatan) di Papua dan Indonesia timur khususnya
serta pada Indonesia pada umumnya.
Saya yakin,
semua elemen, mulai dari FK di wilayah lain di luar Papua, institusi kesehatan,
hingga lembaga profesi dan asosiasi akan dengan senang hati terlibat memberikan
kontribusi terhadap niat penyelamatan pada FK Uncen. Jika semua tak lagi peduli
dengan problem ini, sungguh sebuah ironi besar bagi bangsa ini di tengah wacana
tentang globalisasi, emansipasi, hak asasi, dan wacana lain.
Sumber: Kompas, 17 Februari 2015

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!