Oleh Abdillah Toha
Pemerhati Politik
SULIT dibantah bahwa perkembangan
politik akhir-akhir ini berdampak pada bermasalahnya hubungan Presiden dengan
partai pengusungnya, PDI-P, berikut ketua umumnya.
Beberapa pihak
menyarankan agar Jokowi mengatasi masalah ini dengan segera melakukan
komunikasi melalui pertemuan dengan Megawati Soekarnoputri. Meski Jokowi sudah
mulai memperbaiki hubungan dengan Koalisi Merah Putih, dukungan PDI-P dengan
kursi terbanyak di DPR masih diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan program
pemerintah. Hanya saja ada kasus sepele, tetapi simbolis dan menimbulkan
beragam interpretasi yang mengganjal hati orang banyak. Setelah Jokowi berjumpa
Ketua Umum PDI-P di Teuku Umar pada HUT PDI-P, tersebar luas gambar kepala
negara kita menunduk dan mencium tangan Megawati di depan publik.
Sebuah simbol
kenegaraan tertinggi menundukkan kepala di bawah seorang ketua partai. Dari
sisi protokol kenegaraan, ini salah dan tak semestinya dipamerkan di depan
umum. Juga tak pada tempatnya seorang presiden sering mondar-mandir ke rumah
seorang ketua partai. Seharusnya, seperti yang dilakukan mantan Presiden
Habibie dan Susilo Bambang Yudhoyono, jika perlu bertemu, Megawati yang
seyogianya mendatangi Istana. Bukan sebaliknya. Terlalu sering ke Teuku Umar
bisa membuat orang bertanya, di mana lokasi pusat pemerintahan? Merdeka Utara?
Teuku Umar?
Siapa yang harus
disalahkan? Jelas kesalahan utama ada pada sang presiden yang lupa beliau
sekarang sudah bukan bawahan Megawati, melainkan pejabat kenegaraan tertinggi
di negeri ini. Namun, kesalahan juga ada pada Ketua Umum PDI-P yang membiarkan,
bahkan mungkin menikmati, kealpaan bekas anak buahnya itu yang kini jadi kepala
negara. Kekeliruan itu tak hanya merugikan citra dan harkat sang presiden yang
memberi kesan seakan-akan ada kekuasaan di atas presiden, tetapi juga tidak
menguntungkan persepsi orang atas PDI-P dan ketua umumnya yang dianggap
mendominasi presiden pilihan langsung rakyat.
Dudukkan diri, tahu
diri
Kata orang bijak,
arif itu adalah ketika kita mampu menempatkan segala sesuatu di tempat yang
benar. Sanggup dan bersedia mendudukkan diri kita di posisi yang pas. Manuver
PDI-P belakangan ini mengesankan kehendak partai menekan Presiden dalam kasus
pengangkatan Kapolri bisa jadi karena ketakmampuannya menempatkan diri di
tempat seharusnya. Bisa jadi karena bersumber dari rasa kepemilikan dan percaya
diri PDI-P yang berlebih, bahwa presiden saat ini bagian dari dan seorang
petugas partai. Karena itu, apa pun kebijakan dan keputusan presiden harus sejalan
dengan garis partai atau beleid ketua umum.
Posisi ini
menimbulkan kerugian ganda kepada PDI-P. Pertama, keretakan di tubuh partai
jika kemudian sebagian fungsionaris partai berpihak kepada presiden dan lainnya
kepada ketua umum. Ini sudah muncul di permukaan ketika ada pernyataan
fungsionaris partai yang menuduh adanya "pengkhianatan" di tubuh
partai. Kedua, citra partai di mata publik sebagai partai yang dianggap sok
berkuasa dengan ketua umumnya di pucuk komando. Publik bertanya-tanya, ada apa
di balik nafsu besar mengegolkan pengangkatan tersangka korupsi sebagai
Kapolri?
Jika pemimpin PDI-P
tak segera sadar dan mengubah haluan serta gaya relasinya dengan presiden,
publik akan bepersepsi negatif dan itu bisa berpengaruh terhadap dukungan
publik kepada PDI-P pada peristiwa politik selanjutnya. Terhadap presiden,
walau sebagian pihak menuduhnya lemah dan tak berani melawan tekanan partai,
pihak lain bersimpati karena menganggap Jokowi korban kekuatan politik yang
jadi andalannya.
Jokowi memang
membuat kesalahan pada awal pemerintahannya. Menyalahi janji kampanye, dia
membentuk kabinet gemuk dan kurang berbobot dari sisi profesionalisme karena
memberi terlalu banyak konsesi kepada partai pengusungnya. Namun, partai
pengusung itu juga bertanggung jawab ikut menjerumuskannya sehingga janji
presiden terpilih tak terpenuhi. Tampaknya, kebaikan hati Jokowi ini dibaca
pihak tertentu yang merasa berjasa menjadikan Jokowi presiden RI peluang
mengatur sang presiden selanjutnya.
Pola pikir
partai-partai kita masih parlementer, bukan presidensial. Presiden dianggap
fungsionaris partai yang ditugaskan sebagai kepala pemerintahan. Pola
berpikirnya masih terkecoh seakan-akan presiden terpilih karena partai
pengusungnya. Padahal, sejak presiden dan kepala daerah dipilih langsung oleh
rakyat, berkali-kali telah terbukti rakyat memilih calon presiden, calon
gubernur, calon bupati, dan calon wali kota karena figur calonnya, bukan partai
pengusung. Pola pikirnya masih pada calon diuntungkan oleh partai pengusung,
bukan partai yang diuntungkan oleh calon dengan elektabilitas tinggi. Selama
parpol di negeri ini masih terkungkung pola pikir sempit itu, selama masih
beranggapan bahwa partailah yang paling berjasa dalam menentukan kemenangan
presiden atau kepala daerah, selama para petingginya gagal mengukur diri dan
lingkungannya secara obyektif, selama itulah partai akan gagal jadi penopang
dan hanya jadi pengganggu eksekutif yang diusung ketika menang pemilu.
Karena masih ada
waktu sebelum persaingan dimulai pada pemilu serentak kepala daerah menjelang
akhir 2015, PDI-P sebaiknya mengubah pola pikir dan perilaku politiknya dengan
memberi dukungan proporsional kepada presiden yang diusungnya dengan gemilang
sehingga programnya yang banyak diharapkan masyarakat mencapai hasil optimal.
Hanya dengan demikian persepsi masyarakat akan kembali seperti awal pencalonan
Jokowi, ketika banyak pihak mengelu-elukan sikap kenegarawanan ketua umumnya
yang arif dan berpandangan jauh ke depan.
Sumber: Kompas. Kamis, 5 Februari
2015

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!