Oleh Airlangga Pribadi Kusman
Pengajar Departemen
Politik Fisip Unair;
Koordinator The Initiative Community,
Surabaya
DI tengah embusan angin sejuk menyentuh badan, langkah saya terhenti
dan pikiran saya tertegun saat berjalan melewati Lincoln Memorial. Sejenak
pandangan mata menghadap ke arah Washington Monument jelang musim dingin akhir
tahun lalu.
Saya
membayangkan sebuah peristiwa tepat di monumen bersejarah itu pada Rabu, 28
Agustus 1963. Pada saat itu tegak berdiri pejuang hak-hak sipil, seorang
pendeta kulit hitam bersahaja bernama Martin Luther King Jr. Di hadapan lautan
massa, ia menyampaikan sebuah orasi menggetarkan, yang kemudian menjadi kisah
epik negeri Amerika, berjudul I Have a
Dream.
Salah satu
kalimat menggetarkan dari pidato tersebut berbunyi, "I have a dream that my four little children one day live in a nation
where they will not be judged by their color of their skin but by the content
of their character".
Ingatan saya
akan memori yang membuat bulu kuduk saya berdiri sekelebat muncul seiring
keprihatinan kondisi politik yang tengah dihadapi negeri kita saat ini.
Sebenarnya kita tidak kalah dengan Amerika. Ketika Indonesia masih berupa
cita-cita sejak tahun 1912, Tiga Serangkai —EFE Douwes Dekker, dr Tjipto
Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantara— menegakkan cita-cita republik yang
mendalam bahwa Indonesia adalah untuk mereka yang bersedia dan ingin tinggal di
dalamnya tanpa diskriminasi.
Pada banyak
momen sejarah, cita-cita mulia ini banyak mengalami hambatan. Saat ini, awan
gelap tantangan itu muncul di beberapa kasus pilkada serentak 2017 yang diberi
bumbu suara-suara kebencian kultural berbasis ras, kelompok, dan agama.
Yang
mengkhawatirkan dalam perkembangan aktual, politisasi identitas bukan mengambil
bentuk ekspresi politik perjuangan identitas untuk mendapatkan pengakuan dari
yang lain (politics of recognition).
Apa yang tengah berlangsung tidak pula tampil sebagai ekspresi politik
keagamaan untuk menegakkan nilai-nilai keadaban demokrasi dan persamaan hak (civil religion). Yang tengah kita
saksikan pada ujungnya adalah komodifikasi atas kebencian berbalut identitas
agama dan golongan untuk kepentingan perebutan kekuasaan dan kemakmuran.
Komodifikasi
identitas
Indonesia
tentu saja bukanlah perkecualian dalam arus politik global. Corak sosial yang
tengah bergerak di tingkat global memengaruhi kecenderungan yang tengah
berlangsung di Indonesia. Sebaliknya, dinamika pertarungan sosial di Indonesia
menyumbangkan nuansa bagi mosaik perkembangan politik global.
Ketika dunia
tengah menghadapi tantangan pasang naik politik anti-imigran dan pengentalan
identitas yang memabrikasi jargon keaslian sebagai efek dari realitas
ketimpangan sosial, Indonesia tidak steril dari kecenderungan global di atas.
Di Indonesia,
pengentalan pemanfaatan identitas kultural adalah kombinasi dari pabrikasi atas
isu keaslian yang membenturkan antara pribumi dan non-pribumi maupun
antagonisme agama adalah buah dari kecemasan akibat krisis sosial; desakan
logika kepentingan oligarki elite untuk merebut kekuasaan dan mendistribusikan
kemakmuran di kalangan aliansi mereka; dan perkembangan industri konsultan
elektoral yang turut serta mengorganisasi politik sentimen antagonisme kultural
untuk memenangkan klien mereka.
Tentu ini
semua adalah cermin wajah demokrasi kita ketika nilai-nilai republik dan
demokrasi belum menumbuh menjadi habituasi maupun basis sosial dari kehidupan
politik kita.
Ironisnya,
semakin jauh kita terbawa oleh permainan politik bernuansa kebencian kultural,
semakin jauh pula jalan kita untuk pulang ke tujuan utama negeri ini dibangun.
Jalan pulang itu terletak pada prinsip bineka tunggal ika, yang sejak awal
ditanamkan oleh para pendiri republik. Sebuah prinsip yang membutuhkan lebih
dari retorika untuk hidup bersama.
Prinsip yang
menekankan bahwa dalam kebersamaan, kebinekaan mensyaratkan penghormatan atas
keragaman dan kesetaraan hak sebagai warga dalam dimensi sipil-politik,
ekonomi-sosial, dan budaya.
Peradaban dan
toleransi
Banyak contoh
dalam sejarah politik global, baik riwayat negeri-negeri adikuasa maupun
negara-negara berkembang, yang memperlihatkan bahwa hadirnya jangkar sosial
bersama dan tumbuh ataupun redupnya nilai-nilai keberagaman dan kesetaraan
menjadi kunci bagi jatuh dan bangunnya suatu negeri.
Fawaz A Gerges
dalam ISIS: A History (2016)
menjelaskan bahwa tumbuh berkembangnya organisasi teror ISIS di Irak dan Suriah
tidak dapat dilepaskan dari absennya identitas sosial yang inklusif yang dapat
menaungi kebinekaan di dalamnya.
Sementara Amy
Chua (2008) dalam Day of Empire menjelaskan,
dalam riwayat panjang peradaban dunia, toleransi sebagai strategi peradaban
menjadi kunci naik-turunnya peradaban negara-negara besar.
Ambisi Hitler
membawa Jerman menjadi negeri yang besar gagal, salah satunya karena kebijakan
purifikasi rasial dan intoleransinya telah membuat negeri itu kehilangan human capital berbagai orang cerdas,
seperti Albert Einstein, Hannah Arendt, Theodore von Karman, Eugene Wigner,
pergi ke Amerika Serikat. Sebaliknya, Amerika Serikat melalui strategi
kebijakan inklusifnya berhasil menampung dan memanfaatkan kalangan pengungsi
intelektual bagi kepentingan negerinya untuk menjadi negara adidaya.
Penghormatan
atas kebinekaan di suatu negeri dengan kesadaran merawatnya adalah energi hidup
sebuah bangsa. Sebab, dengan penghormatan atas keberagaman sosial, bangsa kita
memiliki perekat sosial yang membuat tiap-tiap warga yang ada di dalamnya masih
berkehendak untuk tetap menjadi satu sebagai bagian dari keindonesiaan kita.
Sementara kesetaraan dari seluruh warga Indonesia juga harus dirawat dan
dijamin dalam kehidupan bernegara.
Dengan kesetaraan
sosial, setiap warga dapat tetap menambatkan harapan akan masa depannya untuk
bekerja membangun komunikasi sebagai sesama manusia yang sederajat dan
terhormat, di mana itu semua adalah mimpi, bukan saja mimpi Martin Luther King
Jr di Amerika Serikat, tetapi juga Soekarno, Hatta, para orangtua kita, ataupun
kita semua di hati sanubari yang terdalam.
Sumber: Kompas, 19 Mei 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!