Oleh
Emanuel Dapa Loka
Pengamat sosial &
Alumnus Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Alumnus Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
JUDUL di atas saya “culik” dari salah satu puisi seniman serba-bisa
Remy Sylado berjudul Ibu Kota, Kota Ibu. Namanya juga seniman, ia berimajinasi
menjadi seorang “penguasa” agar bisa melakukan apa saja yang ia maui, termasuk
bisa mencelup kota Jakarta sehingga menjadi putih.
Pada larik-larik
puisinya tampak dengan jelas alasan sang penyair hendak menyelup kota Jakarta.
Dia ingin dosa-dosa kota metropolitan ini —tentu saja yang dimaksud adalah
dosa-dosa penghuninya tertutupi atau tersamarkan. Sang penyair menyadari
keterbatasannya: dia tak kuasa menghapus dosa, hanya bisa menyamarkan.
Jakarta juru kunci
Sebagai ibu kota
negara dan Ibu kota daerah khusus ibu kota, Jakarta adalah wajah Indonesia.
Mestinya, dalam banyak hal —bila perlu dalam semua hal— Jakarta menjadi kiblat.
Sayangnya, dalam banyak hal pula, Jakarta sama sekali tidak layak menjadi
contoh.
Ya, Jakarta tidak
perlu dan tidak selayaknya mengalami kemunduran. Mengapa? Karena “konon”, kota
semacam Jakarta disesaki oleh banyak kaum cerdik cendikia. Dan rasanya betul.
Sayangnya, kecendikiaan itu terasa berjalan sendiri di satu sisi, sedangkan di
sisi lain kepeduliaan untuk merawat nilai perekat kebersamaan, keguyuban yang
berkualitas juga melangkah sendiri ke arah yang berlainan, entah ke mana.
Aneka kelakuan
orang-orang pandai pada sekitar perhelatan Pilgub DKI tahun lalu adalah contoh
sangat meyakinkan. Demi sebuah kekuasaan, apa pun mereka lakukan walau itu
berakibat menjerembabkan orang lain ke dasar kebangkrutan daya kritis —bahkan
juga moral.
Yang dicekokkan
kepada masyarakat calon pemilih bukan lagi program kerja yang dengannya Jakarta
bisa maju dan cemerlang, melainkan alasan memilih karena faktor lain. Cara
berpikir dan berprinsip semacam ini tentu bukan cara berprinsip dan berpikir
cendikia yang juga fajar budinya.
Dalam memeringati
Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November, SETARA Institute melakukan
kajian dan indexing terhadap 94 kota di Indonesia. Kajian dan indexing
dilakukan untuk mengukur tingkat toleransi dan mempromosikan kota-kota yang
dianggap berhasil membangun dan mengembangkan toleransi, sehingga menjadi
pemicu bagi kota-kota lain untuk membangun dan mengembangkan sikap toleransi di
wilayahnya.
Hasilnya? Kota
Manado di urutan pertama. Jakarta dan Bekasi mendapatkan stabilo tersendiri.
Jakarta mengalami kemunduran luar biasa. Tahun 2017 Jakarta menempati urutan
paling buncit dari 94 kota yang diteliti, padahal, ketika SETARA Institute
melakukan penelitian serupa tahun 2015, Jakarta berada di ranking ke-65. Sementara
itu, Kota Bekasi mengalami kemajuan signifikan. Pada tahun 2015, kota ini
menempati peringkat 93 dari 94 kota yang diteliti. Tahun ini kota yang dijuluki
Kota Patriot ini melejit ke urutan 53, juga dari 94 kota yang diteliti.
Hasil penelitian
menjelaskan, terjun bebasnya peringkat Kota Jakarta karena “didukung” oleh
penguatan intolerasi dan politisasi identitas keagamaan di DKI menjelang, saat
dan setelah Pilkada 2017. Perubahan sangat signifikan DKI adalah pada indikator
peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), pernyataan
pemerintah dan tindakan nyata pemerintah. Dikatakan, telah terjadi 24 peristiwa
pelanggaran KBB dalam satu tahun terakhir. Sementara itu, dalam situasi
demikian, tidak ada pernyataan terobosan dan tindakan nyata yang solutif dalam
merespon tingginya angka pelanggaran tersebut.
Bagaimana Bekasi?
Kota ini mentas dari keterpurukan karena semakin positifnya standing position,
pernyataan serta tindakan Walikota Bekasi, Rahmat Effendi dalam merespons
peristiwa-peristiwa intoleransi di wilayahnya. Di hadapan massa yang
berdemonstrasi menolak pembangunan gereja Santa Clara misalnya, Pepen, sapaan
akrab sang wali kota, dengan tegas menolak untuk tunduk. Ia bahkan berani
berkata di depan perwakilan demontran,“Tembak kepala saya sekalipun, saya tidak
akan cabut izin Santa Clara.”
Tidak boleh gagal
Kembali ke Ibu
Kota. Ke depan, tidak ada pilihan lain selain Ibu Kota harus bersalin rupa dan
karakter menjadi “kota ibu” yang ramah dan tulus ikhlas untuk semua anaknya.
Tidak ada pilihan lain selain berharap Anies dan Sandiaga harus menunjukkan
diri sebagai sosok yang bisa menyembuhkan luka yang menganga, berdarah dan
infeksi di tengah-tengah masyarakat.
Keduanya harus
bekerja keras dan nyata membenahi kota
untuk menyejahterakan rakyatnya dengan program-program yang masuk akal dan
ucapan-ucapan yang terkendali. Hasil kerja nyata yang menciptakan kenyamanan
dan kesejahteraanlah yang mengunci password pikiran orang untuk gagal
mengingat-ingat lagi masa lalu yang “memalukan” dan “memilukan” itu.
Berhentilah
berkampanye dan mencari, apalagi mencari-cari kesalahan orang lain. Bekerjalah
sungguh-sungguh. Sebab jika anda berdua gagal, sudah pasti anda akan menjadi
seteru dan bulan-bulanan, bukan hanya bagi yang tidak memilih, tapi juga bagi
yang memilih.
Saat ini musim
hujan. Seperti yang salah satu dari anda berdua katakan, Allah sedang mengirim
banyak air. Tentu saja benar, sebab Allah berkuasa menurunkan hujan atau terik.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sikap orang yang dikirimi air menerima air
dalam jumlah yang sangat banyak itu? Jika tidak tahu bagaimana menerima dan
mengaturnya, malah sibuk beretorika dan hanya menebar kata-kata indah nan
menghibur, ya air itu akan mengobrak-abrik dan menenggelamkan.
Anies dan Sandiaga,
anda berdua tidak boleh tenggelam dan gagal. Loh, kok? Bukankah kegagalan juga
adalah “hak” setiap orang? Mari simak lagi larik Remy dalam puisi tersebut: “...Bagaimana orang bisa dipercaya bicara/Jika
ia berada dalam kelas yang kalah/Seperti kini Jakarta disesaki olehnya...../...”
Sumber: Kompas, 10 Maret 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!