MENDAKI gunung bukan hal mudah. Namun, di atas sana,
kita akan tercerahkan. Ada pengalaman batin yang kita dapatkan.
Pernah menonton film Everest? Yang sudah, tentu mafhum bahwa 1996 merupakan salah satu musim pendakian paling tragis di puncak Everest, puncak gunung tertinggi di dunia berketinggian 8.580 meter di atas permukaan laut (mdpl). Total 12 pendaki tewas di tahun itu.
Namun, di tahun serupa
pula, bendera Merah Putih perdana diusung di atap dunia tersebut oleh Clara
Sumarwati. Namanya tertera di laman adventurestats.com, juga
everesthistory.com. Meski tidak sedikit yang masih meragukan itu, Clara tak
lagi ambil pusing. Media Indonesia mewawancarai perempuan hebat itu, di
rumahnya, Yogyakarta, pada Selasa (16/10). Berikut petikannya.
Bisa ceritakan awal
mula gemar mendaki gunung?
Sejak kecil sudah
terbiasa dan tidak takut dengan ketinggian. Makam kakek saya di Gunung Jambu,
Purworejo, Jawa Tengah. Banyak pohon jambunya. Ayah saya sering mengajak
liburan ke sana.
Setelah dewasa, kapan
mulai aktif mendaki gunung?
Waktu kuliah di Atma
Jaya Jakarta. Saya terlibat di beberapa kegiatan mahasiswa: menwa, mapala,
taekwondo. Nah, itu mulai petualangan mendaki gunung. Pertama, saya ke Gunung
Rinjani, Lombok, tingginya 3.726 mdpl. Sekitar 1987, bareng anak-anak Edelweis.
Persiapan seadanya karena sudah terbiasa latihan taekwondo dan lari-lari. Jadi,
spontan ingin jalan-jalan ke Rinjani. Saya bawa ransel dan Rp500 ribu.
Setelah Rinjani?
Sebulan sekali ke
Gunung Pangrango (3.019 mdpl) atau Gunung Gede. Terus 1990-an, saya ditawari naik
ke Annapurna IV (7.525 mdpl) di pegunungan Himalaya. Waktu itu pas ujian
sarjana, tapi saya ambil kesempatan itu. Jadi, saya ujian sambil latihan fisik
naik gunung. Lulus kuliah tahun 1990, setelah itu naik Annapurna IV.
Bagaimana persiapan
sebelum Everest?
Saya mahasiswa bisa,
dari resimen. Bukan militer. Saya juga bukan instan ujug-ujug sampai Everest.
Ada proses latihan panjang. Naik Gunung Gede, Semeru, Carstensz.
Pas ke Annapurna, sama
teman saya, waktu itu tidak sampai puncak, cuma sampai Annapurna IV. Sebenarnya
ingin ke puncak, tapi melihat situasi dan oksigen terbatas, saya relakan, ya
sudah kamu saja yang naik. Lah wong sama-sama bawa nama Indonesia, bukan nama
pribadi. Terus dia yang naik. Saya juga tidak ambisi ke puncak, saya juga mikir
keselamatan.
Habis itu ekspedisi
gabungan perguruan tinggi Jakarta, ke Aconcagua (6.962 mdpl), di Argentina
perbatasan Cile. Sampai puncak tiga orang. saya dan dua teman saya. Waktu itu
saya jadi ketua ekspedisi, dan saya kena dehidrasi karena cuma makan supermi
satu, tapi syukur bisa sampai ke bawah juga.
Waktu ke Everest
bagaimana?
Saya ke Everest dua
kali. Pertama pada 1994, lewat jalur selatan, tapi gagal, tidak sampai puncak.
Kondisinya saat itu badai.
Bagaimana persiapan
saat itu?
Berenang 3-4 jam,
lari-lari, naik turun gunung, latihan panjat tebing, dan fitnes juga. Waktu itu
saya bareng dengan Persatuan Pendaki Gunung Angkatan Darat (PPGAD), anggotanya
ada yang dari Kopassus. Kami berangkat 6 orang, cuma saya yang perempuan. Uang yang
kami bawa Rp200 juta. Kami bonek, uangnya cuma kepakai Rp 120 juta dan sisa Rp 80
juta. (Clara membicarakannya sambil tertawa).
Berangkatnya kami
bergabung dengan tim dari Inggris. Karena saya perempuan, kami dapat diskon
banyak. Tapi ekspedisi Everest yang pertama itu, gagal. Cuma sampai Camp 3
karena saat itu musim badai, pas di bulan September. Teman-teman sudah pada
sakit dan tidak kuat. Mereka menyuruh saya terus naik melanjutkan perjalanan.
Anda nekat naik?
Mereka memintaku terus
ke atas, dan waktu itu alasan saya tetap naik karena ingin mengibarkan bendera
Merah Putih, nasionalisme. Namun, gagal. Badai. Saljunya seperti es serut,
anginnya kencang sekali, seperti digoyang-goyang.
Waktu itu biayanya
dari mana?
Perjalanan yang 1994
dari Pak Agum Gumelar. Terus kita bikin laporan ke Pak Agum. Pesannya, tidak
berhasil (sampai puncak) tidak apa-apa, yang penting selamat.
Ekspedisi Everest
berikutnya pada 1996. Apa yang Anda lakukan dalam jeda dua tahun itu?
Sebenarnya 1995 mau ke
Everest lagi, tapi tidak jadi karena badai dan saljunya longsor, banyak yang
mati. Jadi, saya punya jeda waktu dua tahun, saya gunakan latihan. Saya naik
turun gunung. Ke Carstensz dan gunung-gunung di Indonesia untuk pemanasan.
Anda kembali lagi pada
1996. Tidak takut? Tahun sebelumnya kan banyak yang tewas.
Tidak. Kita waktu
masih pencinta alam banget, keadaan apa pun, kalau Tuhan kasih semuanya menjadi
mudah. Dan kalau kita sudah berangkat, tak ada kata menyerah.
Bagaimana cerita
ekspedisi Everest yang kedua?
Latihan biasa, dan
kami pemanasan ke puncak Kala Patthar (5.670 mdpl), saya bisa sampai puncak,
waktu itu cuma 2 atau 3 jam ya, saya lupa.
Kami rombongan 12
orang. Dari PPGAD di antaranya ada Gibang Basuki yang juga ikut saat ekspedisi
pertama. Kami berangkat lewat jalur utara, bulan Juli-September. Waktu itu
badai lagi, anginnya kencang sekali, sampai ada yang tangannya luka terkena
tali. Kondisinya berkabut dan jarak pandang cuma 1 meteran. Rasanya seperti di
padang pasir. Enggak kelihatan pokoknya. Setiap melihat ke atas dan ada awan
datang, rasanya cemas sekali, takut gagal lagi.
Ada dari tim Afrika
Selatan naik, tapi tidak sampai puncak. Syukur pas tim kami naik, cuaca tidak
begitu ekstrem. Cuma itu tadi, kabut dan saljunya kalau dinjak, suaranya
kres... kres... kres...
Teman-teman berhenti.
Gibang Basuki berhenti di Camp 1. Saya terus lanjut. Saya seperti mengemban
tugas negara, mengibarkan Merah Putih di puncak Everest. Pokoknya semangat dan
optimistis sampai puncak, saya juga sudah membawa bendera Merah Putih yang
besar. Apalagi, kepergian kami juga dibiayai negara, jadi harus sampai puncak.
Anda sampai puncak?
Iya. Saya dan 5 sherpa
dari Nepal.
Tanggal berapa?
26 september. Jam 11
atau 12 waktu sana. Di sini jam 2-an. Waktu itu saya berangkatnya
sekitar pukul 1 malam.
Di puncak dunia, apa
yang Anda saksikan?
Senyap. Sepi sekali.
Telinga rasanya mak ces, seperti tuli. Saya berpikir, kalau kelamaan di atas,
bahaya. Maka, saya turun secepatnya.
Berapa lama di atas?
Sekitar 10 menitan.
Sempat foto?
Iya, difoto Sherpa,
tapi hasilnya tidak bagus.
Anda tahu Anda orang
pertama di Indonesia, bahkan Asia Tenggara, yang mencapai puncak Everest?
Saya tidak kepikiran
itu. Yang saya pikirkan saat itu berhasil mengibarkan bendera dan selamat.
Sampai di bawah, apa
yang terjadi?
Di Nepal saya disambut
Menteri Olahraga Nepal. Dia mengatakan kalau saya orang Indonesia pertama yang
sampai puncak. Dapat piagam dari Nepal Mountaineering Association, terus dari
asosiasi agen tracking Nepal.
Bagaimana sambutan
pemerintah kita waktu itu?
Pemerintah memberi
bintang jasa Nararya. Cuma itu, tidak ada bonus lain. Tapi saya senang sekali
berhasil mengibarkan bendera Merah Putih di puncak tertinggi dunia.
Ekspedisi pertama
biayanya sekitar Rp 200 juta, yang kedua habis berapa?
Kalau 1996 kita dapat
dari panitia peringatan HUT ke-50 RI. Waktu itu saya menghadap Pak Moerdiono.
Dia tidak banyak tanya, cuma tanya berapa yang saya minta. Saya minta Rp70 juta
untuk pengurusan izin dan lain-lain. Lalu dikasih segitu. Tapi tidak langsung,
cuma sebagian dan sisanya diberikan secara bertahap. Waktu ekspedisi belum
dibayar semua. Saat usai ekspedisi, kakak saya mengantarkan dana bantuan dari
Pak Moerdiono.
Total biaya berapa?
Waktu itu sama panitia
peringatan HUT ke-50 RI diberikan dana Rp 478.500.00.
Setelah itu Anda masih
aktif di PPGAD?
Iya.
Anda tahu siapa yang
ke Everest pada 1997? Apa Prabowo Subianto ikut?
Pak Prabowo tidak
pernah naik gunung. Yang sampai puncak anak buahnya. Bukan Pak Prabowo.
Berdasarkan data Nepal, setahuku yang sampai puncak Asmujiono.
Bagaimana hubungan
Anda dengan Prabowo dan Kopassus?
Saya kenal Pak
Prabowo, cuma enggak pernah ngobrol. Saya cuma ke wakil komandan (Idris
Gassing). Saya dekat dengan dia, kasihan ia meninggal dalam kecelakaan.
Teman-teman saya di PPGAD baik-baik semua.
Beberapa waktu lalu
seorang politikus menyebut yang pertama sampai ke puncak Everest adalah
Kopassus, 1997. Bagaimana menurut Anda?
Tanya saja ke dia
saja, 1996 dengan 1997 duluan mana. Tidak usah berbelit. Kalau orang politik
kan dipelintir.
Sampai sekarang Anda
masih naik gunung?
Masing dong. Kemarin
habis dari Lawu, jalan-jalan.
Sekarang banyak anak
muda menyukai kegiatan itu. Ada pesan buat mereka?
Tetap jaga kebersihan,
jangan buang sampah sembarangan. Bawa lagi turun sampahnya. Dan bagi yang belum
pernah naik gunung, mendaki itu tidak mudah. Jangan latah, ikut-ikutan. Butuh
latihan fisik dan psikis. Meski susah naiknya, tapi pas turun kita akan
mendapat pencerahan. Ada pengalaman batin yang bisa kita dapatkan.
Sumber:
Media Indonesia, 21 Oktober 2018
Ket foto: Clara Sumarwati
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!