Oleh Abd a’la
Guru Besar UIN Sunan Ampel, Surabaya
MEMASUKI
usia yang ke-74 saat ini, Indonesia telah berhasil menghadapi beberapa
tantangan —bahkan ancaman— yang menghadangnya. Di antaranya pada 30 September
1965, terlepas dari kontroversi siapa dalang dan tujuannya, Indonesia
terselamatkan dari tragedi kehancuran.
Sebelumnya, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun tahun 1948, dan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di beberapa daerah, antara 1951 sampai 1962, tak mampu merobek keutuhan bangsa Indonesia. Sampai saat ini keutuhan negara Indonesia tetap terjaga dengan kokoh. Kehidupan berbangsa pun secara prinsip mencerminkan kondusivitas yang memadai.
Sebelumnya, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun tahun 1948, dan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di beberapa daerah, antara 1951 sampai 1962, tak mampu merobek keutuhan bangsa Indonesia. Sampai saat ini keutuhan negara Indonesia tetap terjaga dengan kokoh. Kehidupan berbangsa pun secara prinsip mencerminkan kondusivitas yang memadai.
Keutuhan negara dan bangsa Indonesia ini niscaya
disyukuri oleh seluruh elemen bangsa. Demikian pula dengan kehidupan yang
relatif damai dengan segala turunannya yang dialami bangsa dan masyarakat.
Semua ini merupakan anugerah Tuhan yang tentu tidak diberikan secara tiba-tiba
dan tanpa perjuangan.
Pancasila pemersatu
Realitas mengajarkan kepada kita betapa tidak
mudah menjaga keutuhan negara dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat. Sejarah
juga memperlihatkan dengan telanjang mata, ada negara besar yang dianggap
sebagai salah satu negara adikuasa akhirnya berkeping-keping jadi beberapa
negara. Ada pula negara yang di masa lalu menjadi pusat peradaban dunia, tetapi
hari-hari ini dipenuhi dengan konflik kekerasan —vertikal maupun horizontal— yang
tidak berkesudahan.
Kalau kita mau jujur, karunia sang Pencipta
berupa daya tahan, kesatuan, dan kondusivitas kehidupan bangsa ini —sampai
derajat tertentu— terkait erat dengan ideologi Pancasila yang menjadi dasar
negara dan anutan bangsa. Ideologi yang bersumber dari nilai-nilai agama,
kearifan lokal, dan budaya bangsa ini mampu mengikat para pendiri bangsa dalam
kontrak sosial yang teguh dan perjanjian luhur yang dapat menyatukan pandangan
mereka, tanpa harus melepaskan perbedaan yang ada. Perbedaan etnis, suku,
budaya, dan lainnya bukan lagi dijadikan hambatan, melainkan justru wahana
memperkaya keindonesiaan.
Meminjam ungkapan RE Elson dalam bukunya, The
Idea of Indonesia, ia menyimpulkan, sejarah, budaya, dan geografi tidak memberi
garis pemisah alami maupun kentara atau menimbulkan (sampai batas tertentu —
Pen) calon-calon negara sendiri. Sebagian besar bangsa Indonesia telah bersedia
dan berhasil memasukkan keindonesiaan ke dalam tatanan identitas mereka.
Kuatnya dukungan pada Pancasila tak terlepas
dari, salah satunya, pandangan mayoritas umat Islam Indonesia sebagai bagian
terbesar elemen bangsa yang meyakini (berdasar ijtihad mereka) bahwa Pancasila
sebagai dasar negara sudah final. Pancasila tidak hanya sesuai dengan nilai
ajaran Islam, tetapi bersumber juga pada agama yang dibawa Nabi Muhammad (SAW).
Karena itu, dasar negara ini, selain harus
dijaga, yang tak kalah penting diimpelementasikan dalam kehidupan bernegara,
berbangsa, dan bermasyarakat. Tentu mayoritas penganut agama lain memiliki
keyakinan dan pandangan serupa dengan Muslim mayoritas.
Itu dapat dilihat dari pemikiran dan kiprah
tokoh semisal Frans Seda dan Hanriette T Hutabarat yang Kristen, atau Romo
Mangun dan Romo Magnis yang Katolik, serta tokoh-tokoh agama lain dari Hindu
dan Buddha.
Sejalan dengan itu, masyarakat sipil Indonesia,
khususnya masyarakat Muslim sipil¸ sebagaimana dinyatakan Hefner dalam Civil
Islam —terlepas dari kelemahannya dalam culture of civility pada masa-masa
awal— memainkan peran signifikan dalam keberadaan negara Indonesia.
Mereka meninggalkan mitologi negara Islam dan
menganut jalan tengah, yang direpresentasikan ke dalam bentuk negara Indonesia
yang ada hingga saat ini.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, misalnya,
selalu mengawal negara Republik Indonesia dalam menghadapi tantangan yang
mempersoalkan keberadaannya. Mereka selalu berada di garis terdepan dalam
melawan pemikiran dan gerakan yang merongrong keabsahan negara.
Pada saat yang sama, masyarakat Muslim sipil ini
bersama masyarakat sipil lain, dan kelompok lain, mendorong dan mengembangkan
penguatan demokratisasi di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian,
partisipasi masyarakat dalam mengontrol pemerintah dan komitmen mereka untuk
membela negara kian menguat.
Tantangan dan respons
Kendati sejauh ini Indonesia selalu berhasil
melewati tantangan, dan selamat dari ancaman yang menghadangnya, bukan berarti
jalan ke depan sudah mulus. Akhir-akhir ini Indonesia sedang disibukkan oleh
menguatnya pandangan keagamaan hitam-putih, yang selain dimunculkan oleh orang
yang memiliki pemahaman keagamaan yang kurang memadai, juga demikian mudah —sebagai
dampak dari keterbatasan literasi informasi— diterima dan ditelan mentah-mentah
oleh masyarakat awam.
Tak berhenti sebatas itu, pola semacam itu pada
saat yang sama dijadikan alat politik kekuasaan oleh para petualang politik
yang mulai berkecambah di negeri ini. Melalui jaringan media sosial dan
sejenisnya, para petualang dengan simbol agama yang mereka kibarkan
menggambarkan Indonesia sebagai negara yang gagal.
Nyaris tidak sedikit pun kebaikan yang tersisa
di bumi Indonesia. Bagi orang dan kelompok semacam itu, yang tersisa hanyalah
kebencian yang kemudian dipupuk melalui penyebaran fitnah dengan beragam cara.
Sejatinya hal itu berpulang pada ambisi
kekuasaan yang membakar hati dan pikiran petualang politik tersebut. Ambisi
menjadikan mereka lupa segalanya.
Padahal, sejarah mengajarkan kepada kita betapa
karena ambisi kekuasaan Umar ibnu Abd Aziz, khalifah kedelapan dari Dinasti
Bani Umayyah yang sangat saleh, tahun 720 tewas diracun oleh salah satu
familinya dari klan yang sama. Betapa karena ambisi kekuasaan, Hulagu pada 1258
membunuh hampir seluruh keluarga Dinasti Abbasiyah dan menghancurluluhkan kota
Baghdad.
Demikian pula, di bawah kendali nafsu berkuasa,
Philip II pada 1609 mengusir semua orang Kristen baru, orang Islam, dan Yahudi
dari bumi Spanyol. Amalgamasi agama dan kekuasaan yang terlepas dari visi
moralitas luhur dan misi kemaslahatan masyarakat merupakan tantangan bukan
hanya bagi Indonesia, melainkan juga dunia global.
Persoalan ini niscaya ditekankan untuk
diperhatikan karena masyarakat Indonesia terkenal keterikatannya dengan agama,
tapi pada saat yang sama masyarakat masih banyak yang sangat awam pemahamannya.
Selain itu, tentu banyak tantangan lain yang
berpotensi merenggangkan solidaritas dan kohesi sosial, atau bahkan
menceraiberaikan kebangsaan di Indonesia ke depan manakala tidak diantisipasi
dan dicari jalan penyelesaian dengan penuh komitmen dan tuntas. Beberapa
persoalan itu dapat dilacak dari hukum yang belum sepenuhnya mencerminkan
keadilan, hingga masalah ekonomi yang masih menyisakan kecemburuan pada
sebagian masyarakat.
Merespons semua persoalan itu, Pancasila mutlak
dijadikan ideologi yang benar-benar hidup. Untuk itu, tawaran revolusi
Pancasila dari Yudi Latif signifikan untuk dicermati.
Program transformasi Pancasila yang dapat
melayani kepentingan horizontal (masyarakat) dengan cara melibatkan segala
unsur dan kekuatan dalam penafsiran, pengisian, dan penyebarluasan Pancasila
niscaya untuk dijabarkan dan diturunkan ke dalam kegiatan konkret.
Demikian pula halnya dengan penguatan demokrasi
permusyawaratan, dan program lainnya yang ditawarkan. Semua itu perlu
didiskusikan, dikritisi, dan diagendakan tindak lanjutnya.
Bersamaan dengan itu, para tokoh yang tidak
diragukan kapabilitas dan komitmen kebangsaan mereka —seperti KH Said Aqil
Siroj, KH Maimoen Zubair, Haedar Nasir, Syafii Maarif, Azyumardi Azra, dan
tokoh-tokoh lain dari Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu— perlu
duduk bersama membangun semacam think tank untuk kepentingan negara, bukan
sekadar untuk kepentingan pemerintah.
Dalam forum tersebut, mereka menggagas masa
depan Indonesia sesuai dengan cita-cita bangsa, dan merajut strategi, atau
bahkan programnya. Inilah inti makna syukur yang perlu dilakukan bangsa ini.
Sumber:
Kompas, 22 Oktober 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!