Oleh Ansel Deri
Staf Viktor Laiskodat di DPR RI, 2014-2017
PRESIDEN Joko Widodo
melukiskan sejumlah hal tentang sosok Kiai Haji Salahuddin Wahid alias Gus
Sholah (77). Di mata Jokowi, Gus Sholah ialah cendekiawan Muslim. Adik kandung
Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga pengasuh Pondok Pesantren
Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Gus Sholah, putra pahlawan nasional KH Wahid
Hasyim, adalah tokoh panutan semua umat beragama. Tak hanya Islam tetapi juga
Katolik, Protestan, Hindu, Budha maupun Konghucu di Indonesia.
Jokowi,
mantan Walikota Solo menyebut Gus Sholah akan selalu dikenang sebagai tokoh
yang gigih menjaga dan merawat persatuan bangsa. Keislaman dan keindonesiaan
ialah narasi yang melekat dalam hati dan pikiran Gus Sholah, cucu Hadratus
Syaikh (Maha Guru) Hasyim Asyari, kemudian beralih ke hati Jokowi. Narasi
tentang kasih, persahabatan, persaudaraan, dan kerjasama ini selalu disampaikan
Kepala Negara kepada warga negara sesama anak bangsa dari beragam latar suku,
agama, ras, dan antargolongan yang dipimpinnya.
Jauh
sebelumnya, terutama saat memimpin Kota Surakarta hingga menjadi Gubernur DKI
Jakarta berpasangan dengan wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selalu
diserukan narasi-narasi teduh di atas. Seruan Jokowi itu ditujukan bagi warga
negara yang menyebar mulai dari Sabang di Nanggroe Aceh Darussalam hingga
Merauke di Papua; dari Miangas di Sulawesi Utara hingga Pulau Rote, Nusa
Tenggara Timur yang merindukan kedamaian.
Gus
Sholah adalah segelintir dari kiai, guru bangsa, tokoh umat beragama (tak hanya
umat Islam) di Indonesia. Sosok dan rekam jejaknya hadir penuh kharisma,
kerendah-hatian, keiklasan, persaudaraan bagi sesama anak bangsa. Berbagai
gambaran itu menjadi inspirasi bagi semua orang sekaligus meruntuhkan
sekat-sekat primordial atas nama pertumbuhan dan perkembangan sosial
kemasyarakatan. Sebagai seorang kiai, Gus Sholah telah menunaikan tugas dan
perannya seperti juga para gembala selaku pelayan Sabda dalam kehidupan
menggereja, berbangsa, dan bernegara. Mengapa?
Imbauan
Hierarki
Mencermati
jejak pengabdian selama ia masih berziarah di dunia, Gus Sholah tak sekadar
seorang kiai panutan yang mengurus umat Islam melalui karya sosial
kemasyarakatan. Ia juga menyampaikan atau mengajar tata hubungan manusia (umat)
dengan Tuhannya (hablum minallah) dalam urusan ibadah (ubudiyah) tetap
terpelihara dengan baik.
Berikut
relasi yang mengurus manusia dengan makluk lainnya (hablum minannas) dalam rupa
amaliyah sosial. Hal yang juga diumpai dari peran strategis para gembala atau
pemimpin Gereja dan kaum klerus dalam konteks keagamaan maupun kehidupan sosial
para domba, umat Allah, selaku warga negara.
Kerja
keras Gus Sholah bagi umat Islam mewujud melalui Pesantren Tebuireng, taman
pendidikan jumbo warisan sang ayah di Jombang yang sudah mendidik ribuan
santri. Lulusan pesantren ini belakangan menjadi pemimpin bangsa dan negara.
Kehadiran para pemimpin di semua level kepemimpinan yang lahir dari rahim
pesantren di tengah dunia tak hanya dirasakan manfaatnya oleh umat Islam. Lebih
dari itu, sungguh dirasakan pula umat beragama lain dalam kehidupan.
Sebagai
kiai dan ulama besar Indonesia, Gus Sholah juga mengajarkan nilai-nilai
kemanusiaan universal tentang bagaimana umat Islam menjaga relasi yang harmonis
dengan Tuhan dan menjaga relasi yang akrab dengan sesama umat ciptaan-Nya.
Pesan bagi umat Islam menjaga relasi dengan Tuhan dan sesama ini tentu tak
hanya menjadi pedoman bagi umat Islam sendiri namun juga umat beragama lain.
Sesuatu yang juga ditemui dari ajaran dan nasehat pimpinan Gereja Katolik
secara hierarki.
Menurut
Sekretaris Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) RD Guido
Suprapto Pr dalam Kerasulan Politik: Panggilan dan Perutusan Umat Katolik
(2013), Gereja Katolik dalam diri kaum awamnya dipanggil dan diutus terlibat
aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan politik.
Panggilan
dan perutusan yang paling relevan saat ini adalah mendorong pembangunan politik
dan tata dunia yang baik, beradab, dan bermoral. Menjadikan politik yang
melayani masyarakat dengan hati, kejujuran dan tanpa pamrih. Bidang sosial
politik dapat menjadi tempat merasul bagi kaum awam yakni membangun tatanan dan
kiprah politik yang bermoral demi terwujudnya kebaikan bersama (bonum commune).
Komitmen
Agama
Tentang
komitmen institusi agama (Islam) para kiai sekelas Gus Sholah atau pemimpin
agama-agama lain di Indonesia, kita bisa menyimak kembali catatan Tasirun
Sulaiman merujuk pemikiran KH Hasyim Muzadi dalam KH A Hasyim Muzadi: Sang
Peace Maker (2017), terkait Islam sebagai agama dengan populasi pengikut paling
besar di Indonesia dan dunia.
Entitas
Islam, demikian kiai Hasyim Muzadi, sebagai rahmatan lil’alamin (rahmat bagi
semesta) mengakui eksistensi pluralitas keberagaman, karena Islam memandang
pluralitas keberagaman itu sebagai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah
kepada manusia, fakta sosial, rekayasa (social engineering), dan kemajuan umat
manusia. Pluralitas sebagai sunnatullah diabadikan dalam Al-Qu’ran, antara lain
dalam surat Ar-Rum ayat 22 dan Al-Hujurat ayat 13. Ayat-ayat itu menempatkan
kemajemukan sebagai syarat determinan (conditio sine qua non) dalam penciptaan
makhluk.
Dalam
diri Gus Dur pun tak jauh berbeda. Perhatian dan komitmen memperjuangkan
persoalan-persoalan yang dihadapi umat yang notabene warga negara tak
diragukan. Mereka mengabdi umat hingga ajal menjemput; yang juga ditemui dalam
sosok kiai seperti Gus Sholah dan Ahmad Muzadi hingga para pemimpin agama-agama
di luar Islam seperti para klerus, gembala di lingkup Gereja. Gus Dur,
misalnya, ia punya kelebihan, bertutur dengan cerdas, cerdik bahkan kocak yang
selalu membuat setiap orang merasa terhibur.
Tokoh
pers Jakob Oetama dalam Gus Dur Menjawab Kegelisaan Rakyat (2007) mengungkapkan
bagaimana Gus Dur mengangkat persoalan-persoalan yang menggerakkan perhatian
banyak orang karena memang aktual dipermasalahkan dan dirasakan. Pandangan dan
pendapat Gus Dur cenderung mencerminkan sikap dasarnya, seperti Indonesia yang
Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia yang Pancasila, Indonesia yang beragama,
Indonesia yang berperikemanusiaan, yang berkeadilan sosial serta demokratis.
Bagi
saya, baik Gus Dur, Gus Sholah, kiai Muzadi, para pemimpin agama lain ibarat
obor di tengah kelam. Gus Sholah, juga tak lebih seperti seorang “gembala”
dalam terminologi Gereja. Selama hidup ia (Gus Sholah) bertaruh hati, tenaga,
dan pikiran “menggembalakan” seluruh umat atau kawanan domba-Nya agar berjalan
dengan panduan nilai-nilai agama dan kemanusiaan universal untuk kemaslahatan
bersama.
Gus
Sholah juga ambil bagian dalam karya kemanusiaan universal agar dunia diliputi
damai dan suka-cita melalui –salah satunya– Tebuireng, pesantren warisan sang
kakek, Hasyim Asyari. Namun Gus Sholah tak lagi memendam rindu memenuhi
panggilan Sang Sabda, Minggu, (2/2 2020) malam. Detak jantungnya berhenti di
Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Ia
kembali ke Tebuireng via bandara Halim Perdanakusuma setelah berpulang. Selamat
jalan, Gus Sholah. Selamat jalan, kiai berhati gembala. Teladan, semangat, dan
cintamu kepada sesama adalah warisan berharga yang tak akan mati dalam sanubari
setiap anak bangsa.
Sumber: Victory News, Kamis, 13 Februari 2020
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!