Headlines News :
Home » » Cerpen: Pohon Jati

Cerpen: Pohon Jati

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, May 29, 2007 | 1:15 PM

Oleh Ansel Deri
Penikmat sastra;
menulis dari Rawasari, Kayu Putih
Jakarta Timur pada 12 Maret 2003

MAGUN baru saja menerima sepucuk surat dari kantor desa. Ini surat panggilan yang ketiga kali yang ditujukan kepada Magun menyangkut urusan kepentingan banyak orang di desa. Magun memang terkenal keras kepala, sifat khas yang diwariskan ayahnya. Terkadang Magun membandel dan tak mau mengikuti semua keputusan yang dibuat di kantor desa. Itu kesimpulan akhir dari Pak Desa setelah sekian lama hidup berdampingan dengan Magun di desa ini. Tapi menurut Magun yang hanya jebolan sekolah rakyat (SR), sikapnya itu wajar-wajar saja. Magun selalu mempertahankan hak-haknya sebagai seorang warga desa layaknya kepala desa. Justru hal ini membuat tetap teguh dalam prinsipnya. Ini adalah sebuah sikap yang wajar. Tanah yang sekarang ia tempati merupakan warisan orangtuanya. Pada waktu menerima surat panggilan sebelumnya, Magun sudah memberikan jawaban pasti. Bahwa ia tak merelakan tanahnya digusur untuk membuka jalan baru sekalipun diiming-imingi ada ganti rugi.

Semua orang tahu. Luas tanah itu tak seberapa. Lagi pula tanah itu sebenarnya tak begitu subur seperti lokasi lain di pinggiran desa itu. Beberapa jenis tanaman pernah diusahakan tetapi akhirnya tak bertahan hidup karena sepertinya berpacu dengan batu-batu karang mencari makanan di sekitarnya. Sekalipun demikian, tanah itu dianggap sebagai warisan orangtua dan berkat dari Dia Yang di Atas. Warisan ini pun sudah bisa menghidupi keluarganya yang dibangun puluhan tahun.

Dari tanah ini pula, Magun telah menyekolahkan anak-anaknya yang kini telah memiliki pekerjaan tetap. Pada waktu lalu, ketika Magun baru menetap di desa ini, orang-orang sepertinya tak pernah menganggap bahwa tanah ini bakal mendatangkan berkah bagi desa ini. Tapi, seiring perkembangan pembangunan, termasuk desa-desa di berbagai pelosok, banyak investor yang melirik tanah milik Magun. Di kantor desa, Magun merasa heran karena kedatangannya seperti seorang tamu terhormat. Pak Desa dan aparatnya sudah menunggu. Mereka duduk di ruang tunggu dan bersiap-siap menyambut kedatangan Magun. Bahkan sikap yang diperlihatkan Pak Desa dan aparatnya tidak seperti waktu-waktu lalu. Kini mereka sangat ramah, penuh canda. Padahal, untuk urusan-urusan seperti ini paling tidak terlihat sedikit situasi formalnya. Magun tak paham dengan kondisi ini. Biasanya, Pak Desa dan aparatnya menyambutnya dengan sikap acuh tak acuh. Kadang membuat muka Magun memerah bak udang goreng ketika Magun memasuki pelataran kantor desa. Atau kalau melihat Magun sudah menyamping merapat di depan gerbang kantor desa, selalu disambut petugas dengan ucapan, "Pak Desa lagi sibuk." Konsekuensinya, Magun tak mungkin bersua dengan sang kades. Yang jelas, Magun pulang dengan perasaan kecewa.

***

KINI perasaan Magun aneh memenuhi perasaan Magun. Curiga? Barangkali. Dari sikap Pak Desa membuat jidat Magun berkerut. Sesaat Magun memandang ke aparat desa yang sudah duduk melingkar di bawah tenda depan kantor desa. Dalam benaknya magun berpikir kalau Pak Desa dan aparatnya sedang bersekongkol. Jadi Magun tidak mau mengatakan itu secara terus terang bahwa mereka sedang memasang kuda-kuda, katakanlah taktik baru menaklukkan Magun yang sudah sekian lama mempertahankan tanahnya itu.

Jauh sebelum Magun disuruh menempati sofa di bawah tenda itu, dia sudah dipersilahkan mengambil tempat di samping Pak Desa. Keramahtamahan Pak Desa terhadap Magun nampak jelas. Sekali-sekali aparat Desa tersenyum melihat keramahan yang sengaja ditunjukkan Pak Desa. Sebatang sigaret kesukaan Pak Desa tetap setia menemani mereka dalam canda ria.

"Begini, Magun...," kata Pak Desa memulai membangun strategi melunakan hati Magun.
"Kami dari Pemerintahan Desa selalu menghargai hak-hak warga. Dan sikap yang Magun ambil itu sangat kami hargai. Tapi Magun tahu, kan? Kita ini, termasuk Magun adalah warga yang baik. Selalu mau berkorban untuk kepentingan banyak orang."

"Dan seharusnya demikian, Pak Desa. Kalau selagi pengorbanan itu untuk banyak orang, mengapa harus kita tolak. Namanya juga partisipasi dalam memajukan desa kita," kata Magun meyakinkan Pak Desa. Pak Desa tersenyum. Aparat desa pun ikut-ikutan tersenyum. Satu kemenangan nampak mulai diraih Pak Desa dan aparatnya. Kalau saja Magun tetap bersitegang mempertahankan tanah yang kini akan digunakan unuk kepentingan desa, akankah maksud besar ini tercapai?

Pak Desa bertanya-tanya dalam hatinya. Upaya ini sudah dilakukan Pak Desa, namun selalu nihil. Itu tadi. Magun tidak merelakan tanahnya digusur. Namun kini Pak Desa mulai menemui titik terang. Semua aparat desa menampakkan wajah senang setelah Magun mengomentari penjelasan Pak Desa. Kalau sebagai warga desa yang baik kita selalu mau berkorban untuk kepentingan banyak orang.

***

LAMA sekali canda dan tawa diantara mereka. Penantian panjang menunggu jawaban pasti dari Magun suda berada di ambang penyelesaian. Kini Magun pasti bisa ditaklukkan. Pikir pak Desa. Berarti semua kegiatan berjalan mulus. Tanah yang kini ditempati Magun bisa ditimbun untuk jalan kendaraan.

"Jadi itu, Magun." Pak Desa mengulang kata-katanya seperti tadi, "sebagai warga Desa yang baik, kita harus berkorban demi kepentingan umum. Kamu tentu tahu juga kalau desa-desa tetangga kita sudah pada membangun. Ada yang sudah maju sekali. Kita tentu harus meniru desa-desa lain. Begitu, kan?" Pak Desa menatap Magun lama sekali. Sekali-kali dengan senyum yang khas. Sebagai warga desa yang baik tentu Magun juga tidak menghendaki kalau kondisi desa ini begitu begitu saja. Dengan sedikit malu, sambil menyedot pipa rokoknya, Magun mengiakan ucapan Pak Desa tadi.

"Tentu begitu, Pak Desa. Kami juga ingin supaya desa kita ini lebih maju dari desa-desa tetangga kita."

"Itu jawaban yang selalu kami tunggu, Magun. Tak usah menutup-nutupi hal itu. Magun perlu mengungkapkan isi hati agar sebagai pemerintah desa kami bisa tahu."

"Jadi bagaimana dengan kepastian itu?"

Petanyaan itu terasa mengganggu Magun. Rasa benci pada orang nomor wahid di desa ini kambuh lagi. Kenapa Pak Desa selalu memanggilnya hanya untuk mendapatkan kepastian tentang tanah itu sementara sudah ada kepastian kalau dia tidak merelakan tanahnya? Pertanyaan itu muncul lagi. Pak Desa memperbaiki posisi duduknya ketika melihat air muka Magun. Kalau saja tanah itu digusur, kemana mereka harus pegi? Mengadu ke DPRD saja urusannya jadi panjang. Wakil-wakil rakyat di sana pasti bosan melihat kedatangan Magun. Artinya, belum tentu mendapat angin segar. Katakanlah bisa memperoleh lahan baru apalagi harga tanah sekarang sudah mencekik leher. Jelas tidak mungkin memperoleh tanah seukuran milik Magun. Itu pikiran Magun.

"Jadi bagaimana keputusan Magun?" tanya Pak Desa merayu. Magun masih nampak tenang-tanang saja. Kali ini dia mau memberikan jawaban pasti. Sebentar saja Magun menggelengkan kepala. Isyarat itu ditangkap Pak Desa sebagai jawaban yang memojokkan. Kepala Pak Desa nyaris pecah melihat Magun geleng kepala bertanda dia menolak. Dia menyumpah Magun dalam hatinya. Ya, cuma dalam hati karena Pak Desa tidak mau maksudnya ini tidak tercapai.

"Apa perlu kalau ganti rugi itu perluh ditambah?" tanya Pak Desa hati-hati.

"Kami sudah memikirkan kalau alternatif terbaik yang ditempuh Pak Desa yakni dengan memberi ganti rugi. Tetapi itu tidaklah berarti buat kami, Pak Desa," kata Magun sekali lagi.

"Bisa jadi tujuh kali lipat. Atau lebih dari itu. Yang terpenting kamu bersedia atau tidak. Itu saja, Magun."

"Sebenarnya bukan itu yang membuat kami pikiran. Tetapi.."

"Tetapi apa, Magun?" Ada satu kemenangan yang Pak Desa raih.

"Katakan saja, Magun. Tak usah malu-malu. Namanya juga perundingan."

"Pak Desa tentu tahu. Pohon-pohon jati itu. Pohon-pohon jati, Pak Desa. Kami tidak mau kualat dengan leluhur kami. Sungguh. Sungguh, Pak Desa!"

Pak Desa tampak tak memahami pengakuan Magun. Apa sih, hubungan dengan pohon-pohon jati itu? Orang ini memang sudah tidak waras lagi. Pak Desa menyumpah Magun dalam hatinya. Kalau soal kemana mereka harus diungsikan, barangkali hal ini yang harus dipikirkan. Lho, kalau pohon-pohon jati aja nggak mau dipotong, apa salahnya, sih? Umpatan ini biasanya dilontarkan Pak Desa bila menghadapi orang-orang yang keras kepala di desanya.

"Jujur saja, Magun. Kami belum paham dengan pendapat Anda," kata Pak Desa.

"Nenek moyang kami, seperti yang diamanatkan para leluhur, bahwa kami tidak boleh menebang pohon-pohon jati itu. Karena pohon itu adalah sumber hidup kami. Dan kualat bila pohon-pohon itu ditebang. Dosa, Pak Desa."

Magun menghentikan penjelasanya pada Pak Desa dan aparatnya. Dia takut kalau mendapat bogem mentah dari Pak Desa. Seluruh isi ruangan itu meninggalkan Magun seorang diri. Magun diklaim segala sebagai orang yang sudah tidak waras lagi. Karena perundingan dari hati ke hati itu tidak membawa suatu keputusan.

***

BEBERAPA hari kemudian, Magun melihat pohon-pohon jati di belakang maupun di samping rumahnya sudah disensor, termasuk pohon-pohon jati yang dianggap sebagai pohon keramat itu. Magun berteriak-teriak. Ia menangisi pohon-pohon jati yang ludes digilas sebuah loder besar. Lelaki itu ditangkap pihak keamanan karena dianggap gila. Dia dikepit beberapa anggota hansip dan dilarikan ke sebuah klinik yang tidak jauh dari desa itu. Tetapi Magun tidak gila sehingga dia kabur dari rumah sakit tidak lama berselang. Setelah mendapati rumahnya sudah ditutupi aspal butas, dia menangis sejadi-jadinya. Yang ditangisi bukan hanyan karena rumahnya yang tergusur tetapi juga pohon jati. Dia takut dimarahi para leluhurnya karena kehilangan pohon-pohon itu. Karena hukumnya hanya dibayar dengan maut. Orang-orang desa itupun semakin heran karena Pak Desa selalu kebut-kebutan malam hari dengan mobil biru tua yang baru ia beli.
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger