Headlines News :
Home » » Cerpen: Penjual Mayat

Cerpen: Penjual Mayat

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, May 29, 2007 | 1:22 PM

Oleh Ansel Deri
Penikmat Sastra;
menulis dari Rawasari, Kelurahan Kayu Putih
Jakarta Timur pada 22 September 2003

Matahari baru saja menyapa pagi. Sisa-sisa gerimis hujan yang mengguyur kota Kupang dari semalam masih bergelantung di pohon-pohon sepanjang jalan El Tari. Suasana sepanjang jalan depan kantor Gubernuran mulai dipadati dengan angkutan kota jurusan Walikota - Oepura yang bolak balik mengangkut penumpang. Begitu juga satu dua bus dalam kota ikut melengkapi suasana kota karang sehingga makin ramai.

Para loper koran sibuk menjajakan koran-koran lokal yang terbit di kota Kupang maupun dari luar kota seperti Ende atau Larantuka. Biasanya para penjual koran lebih memilih ruas jalan El Tari karena peluang untuk terjual lebih besar. Ada yang membentang di bawah rimbunan pohon sepanjang jalan. Suasana menjadi begitu hidup karena aktivitas manusia yang begitu tinggi.

Tapi pagi ini suasana menjadi hingar bingar. Para loper koran lari tunggang langgang tak mau menyaksikan seorang pria tua yang nongkrong di pintu masuk kantor Gubernur.

"Dia membawa potongan-potongan mayat. Tulisan yang tertera pada sehelai kertas menyatakan bahwa bungkusan dalam kantongnya adalah potongan-potongan mayat. Aku tak bisa berbohong karena tertangkap jelas kedua bola mata," kata Verry, loper koran yang biasa menggelar korannya sepanjang jalan El Tari.

"Kamu jangan berbohong. Bagaimana mungkin ada orang menjual potongan-potongan mayat?" Peter, seorang staf Gubernuran tak habis pikir.

"Benar, Pak! Bau amis potongan-potongan mayat itu menyengat hidung ketika aku mendekati bungkusan miliknya. Sampai-sampai sisa koranku tak kuhiraukan. Aku tinggalkan begitu saja," kata Very meyakinkan.

"Kamu tidak menanyakan penjualnya kalau jualannya itu benar-benar potongan mayat?"

"Orang itu tak mau bicara. Di atas secarik kertas tertulis 'Aku hanya bicara kalau ditanyai para pemimpin daerah'. Jadi orang itu tak mau bicara," tegas Verry.

"Jangan sampai orang itu mau bicara dengan Pak Peter. Apalagi Pak Peter kan pejabat juga."

"Kamu sudah mencoba menanyakan orang itu kalau dagangannya itu potongan-potongan mayat?"

"Lelaki itu hanya memberi isyarat. Kayaknya dia itu bisu. Atau...?"

"Maksudnya hanya mau bicara dengan petinggi-petinggi daerah ini?"

"Bisa seperti itu, Pak Peter."

***

DISKUSI di ruang kantor Gubernuran masih berlangsung. Beberapa bulan lalu memang sempat tersiar kabar kalau orang-orang di pedalaman, di pelosok-pelosok desa menderita berbagai penyakit. Ada yang menderita muntah berak kemudian perut membengkak segala. Ada yang demam saban hari kemudian maut memisahkan.

Mengharapkan bantuan poliklinik yang jadi andalan adalah sia-sia. Para petugas media punya alasan yang sama. Persediaan obat-obat untuk menyelamatkan nyawa masyarakat tak ada. Artinya, stok lagi tak ada. Padahal, jauh sebelum itu para petinggi daerah sudah mengumumkan bahwa setiap masyarakat akan diberikan pelayanan secara gratis. Maklum saja. Persoalan kualitas kesehatan masyarakat di pelosok-pelosok desa ternyata mengundang simpati para donatur asing untuk membantu.

Begitu juga petinggi-petinggi pusat tersedot segala rasa keprihatinan mereka menyaksikan kondisi masyarakat setelah berkunjung ke sana.

"Bapa-bapa dari pusat ini datang memberi bantuan kepada kita. Makanya kita harus berterima kasih karena mereka bisa membantu mengatasi masalah kesehatan di daerah kita."

"Termasuk bantuan dana untuk meningkatkan sarana kesehatan?"

"Ya, itu yang paling utama," jawab seorang petinggi daerah. Informasi itu tak pernah dilupakan. Warga berharap agar sarana-sarana kesehatan, semacam sarkes bias ditingkatkan. Biaya-biaya operasional petugas poliklinik diharapkan jangan disunat di tengah jalan.

"Tapi janji itu entah sampai kapan terkabul, saya tidak tahu. Warga saya satu per satu meninggal sia-sia. Saya terpaksa membawa potongan-potongan mayatnya sehingga Bapak-Bapak di sini tahu."

"Bagaimana Bapak bisa seberani ini? Artinya membawa potongan-potongan mayat orang?" tanya Peter di dalam ruang pertemuan.

"Saya juga malah tidak mengerti dengan jalan pikiran saya. Aneh. Aku juga bukan disuruh siapa-siapa. Tetapi menurut petunjuk..."

"Menurut petunjuk siapa? Anda diperalat siapa?" "Oh, bukan begitu. Yang jelas potongan mayat-mayat Aku bawa sendiri."

"Kenapa seperti itu?"

"Ya, itu tadi. Aku hanya mengikuti jalan pikiran saya."

"Tak ada alasan lain?"

"Ya, mungkin karena poliklinik di tempat kami lumpuh total. Bagaimana petugas kesehatan tak nampak batang hidungnya. Kemana kami harus berobat?"

"Bagaimana gambaran sarana-sarana kesehatan sebelumnya?" tanya Peter kepada lelaki penjual mayat itu.

"Begini..." Penjual potongan mayat itu membetulkan posisi duduknya. Serentak para petinggi selevel Pak Peter pun ikut-ikutan membetulkan posisi duduk masing-masing.

"Jauh sebelum Bapak-Bapak dan petinggi-petinggi dari pusat menjanjikan kami untuk memperbaiki dan meningkatkan sarana kesehatan, memang kondisinya jauh di bawah standar. Eh, maksudnya sangat memprihatinkan, begitu."

"Interupsi, Pak Penjual!" "Sabar dulu!" cegah penjual potongan-potongan mayat.

"Ini penting untuk sebuah klarifikasi positif."

"Ada waktu untuk Bapak petinggi yang terhormat."

"Ini penting, Pak!"

"Silahkan. Tapi jangan berlama-lama."

"Ini interupsi dalam rangka informasi."

"Oke, silahkan."

"Bukankah anggaran... Eh, dana untuk meningkatkan sarana kesehatan itu sudah sampai ke tangan orang-orang desa, termasuk Anda?"

"Nah, itu masalahnya."

"Kalau begitu teruskan informasinya!"

* * *

PINTU ruang pertemuan itu tertutup rapat. Para wartawan pun tak diijinkan masuk. Pak Peter dan para petinggi daerah lainnya nampak terkejut dengan pengakuan penjual potongan mayat di hadapannya. Kasak-kusuk di antara petinggi dalam ruang itu masih terkait dana sarana kesehatan yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Pasalnya, dana tersebut ternyata tak sampai kepada masyarakat.

"Padahal mereka benar-benar membutuhkan dana itu, Pak Peter."

"Tapi siapa yang mengatur lalu lintas dana itu untuk masyarakat?" Pak Peter malah balik bertanya.

"Nah, itu yang jadi soal. Selama ini memang pernah tersiar di media massa bahwa ada bantuan dana untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Tapi, aneh. Kok tak bisa sampai ke masyarakat?" timpal seorang yang lain.

"Saya tahu. Di tempat ini pula digelar konferensi pers soal dana ini. Tak ada alasan bahwa dana itu belum sampai ke masyarakat," tegas seorang wartawan yang tiba-tiba nongol. Beberapa wartawan malah balik dan menjauh dari ruang pertemuan. Ya, siapa tahu mereka juga kebagian dana sarkes tadi.

"Kita harus segera melakukan klarifikasi soal dana ini," tegas Pak Peter, petinggi daerah itu. Penjual potongan-potongan mayat itu pun diam-diam angkat kaki dari dalam ruangan itu. Ia menyusul wartawan-wartawan tadi. Tanpa disuruh siapa-siapa, lelaki itu begitu saja beranjak mengikuti jalan pikirannya.

Sebuah bungkusan besar yang diyakini penjual koran sebagai potongan-potongan mayat diletakkan di atas pundaknya. Sedang potongan-potongan yang lain dipegang tangannya yang lain. Ia menuruni anak tangga. Bau amis potongan mayat-mayat seperti masih tersangkut di dinding ruangan. (Naskah ini dimuat Harian Fajar Bali, Denpasar)
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger