Pasangan Aloysius Ola Pukan dan Aloysia Kewa de Ona hanyalah petani tradisonal di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Namun, delapan dari sembilan anaknya meraih sarjana. Seorang di antaranya menjadi pastor.
MESKI telah memasuki masa senja, Aloysus dan Aloysia masih masih energik. Selama puluhan tahun mereka mengandalkan hidup dari ladang dengan sistem tebas bakar. Warga Dusun Kluang, Desa Belabaja di Pulau Lembata ini mendidik anak-anak mereka dengan memberi contoh. Bukan sekadar kata-kata.
Sebagai orangtua yang bertanggungjawab, mereka membina dan mengarahkan anak-anaknya agar tekun menimba ilmu demi masa depan. Doa dan permohonan kepada Tuhan serta devosi kepada Bunda Maria yang terus-menerus membuahkan hasil.
Anak sulung mereka Payong Pukan Martinus kini menjadi Kepala Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Lembata. Sedang tujuh mereka lainnya juga berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan bertugas di NTT. Sedangkan seorang anak mereka, Stef Smata Pukan, memilih menjadi imam Serikat Sabda Allah (SVD). Kini Pastor Stef menjadi misionaris di uar negeri. Sebelumnya, ia sempat berkarya di Keuskupan Ruteng, Manggarai, Flores.
Menurut Aloysius, anak adalah permata dan titipan Tuhan yang perlu dirawat, didik dan dibesarkan menurut tradisi iman Katolik. Dengan demikian, kelak mereka bisa berguna bagi Gereja, bangsa, dan negara. “Tugas orang tua adalah mengantar anak-anaknya untuk menyongsong masa depan yang cerah,” tandasnya.
Aloysius dan Aloysia sadar, keberhasilan membimbing dan mengarahkan anak-anaknya meraih masa depan mereka tidak bisa lepas dari ketekunan berdevosi kepada Bunda Maria.
“Saat seorang anak saya minggat dari sekolah dan suka keluyuran ke hutan mencari ayam hutan, saya bingung. Saya harus keluar masuk hutan mencarinya hingga ia bisa masuk sekolah kembali. Saya hanya meminta bantuan Bunda Maria agar anak saya disadarkan,” kenang Aloysius. Lalu, ia mencarinya keluar masuk hutan agar anaknya mau masuk sekolah lagi. “Saya meminta bantuan Bunda Maria agar anak saya ini disadarkan,” ungkapnya.
Penuh perjuangan
Aloysiua mengenang masa mudanya yang penuh perjuangan. Ketika usianya memasuki 25 tahun, ibunya menyarankan agar ia segera mencari menyunting gadis desanya untuk menjadi pendamping hidup. Sang ibu khawatir ia menjadi bujang lapuk.
Awalnya, Aloysius menolak. Ia beralasan, sang ayah yang menjadi sandaran hidup keluarga telah meninggal dunia. Apalagi, urusan pernikahan pasti membutuhkan dana yang tidak sedikt. Almahrum ayahnya hanya seorang petani kecil yang tidak mewariskan harta yang cukup. Dan yang Aloysius merasa khawatir adalah karena ia tidak mempunyai pekerjaan tetap.
Aloysius merenungkan kembali kata-kata ibunya yang terus-menerus menganjurkan agar ia segera menikah. “Seandainya sudah ada pekerjaan, sekecil apapun penghasilan, bisa memberikan jaminan untuk menafkahi istri dan anak-anak,” katanya berandai-andai.
Selama beberapa waktu Aloysius menimbang-nimbang nasihat ibunya. “Barangkali Mama akan bahagia kalau melihat saya berumah tangga,” simpulnya.
Lalu, Aloysius berusaha agar bisa memperoleh pekerjaan tetap. Dengan demikian ia bisa mewujudkan keinginan ibunya. Setelah itu, ia mulai membidik gadis desanya, Aloysia Kewa de Ona. Gadis sederhana itu menawan hatinya. Mula-mula ia menulis surat kepada Aloysia untuk mengungkapkan isi hati sekaligus perasaan cintanya. Namun, jawaban surat Aloysia membuatnya kecewa. Gadis itu menolak cinta Aloysius!
Penyebabnya, orangtua Aloysia tidak berkenan melihat watak Aloysius yang dinilai kasar dan keras. Awalnya, orangtua Aloysia menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Aloysius. Kemudian dengan terus terang mereka mengingatkan Aloysius agar tidak boleh main gila dengan putrinya. “Kalau memang benar-benar saya mencintai anaknya, saya harus menghadap keluarganya,” kenang Aloysius.
Karena merasa diancam oleh keluarga Aloysia, Aloysius mengungsi ke Lamalewar, kampung tetangganya. Selama dua minggu ia bertahan di Lamalewar. Selama dua minggu ia bertahan di sana dan rajin mengikuti kebaktian mingguan. Sekembali dari Lamalewar, sang ibu mendatangi rumah orangtua Aloysia. Ia menyampaikan kesungguhan niat Aloysius mempersunting Aloysia.
Setelah melintasi masa pacaran, tahun 1948, kedua sejoli yang dimaduk asmara itu menyatakan akan menjadi pasangan suami-istri. Namun, pernikahan itu sempat tertunda selama dua tahun.
Aloysius memutuskan untuk merantau terlebih dahulu ke Kupang selama beberapa waktu. Setelah mempertimbangkan kembali hingga matang, akhirnya tahun 1950 pasangan Aloysius dan Aloysia saling menerimakan Sakramen Perkawinan di Gereja St. Joseph Boto. Janji saling setia pun berkumandang di hadapan Pastor Bernard Bode, SVD. Saat itu, imam asal Jerman itu berkarya di Paroki Lamalera.
Jatuh sakit
Di awal menjalani kehidupan rumah tangga, Aloysus mengalami cobaan besar. Tahun 1951, ketika anak pertamanya lahir, Alo jatuh sakit. Selama lima tahun ia hanya terbaring di atas tempat tidur karena pendarahan. Dari hidungnya selalu mengalir darah segar. “Saya serahkan hidup dan mati saya kepada Bunda Maria. Selama itu, saya pertaruhkan hidup saya hanya kepada Bunda Maria dan Hati Kudus Yesus. Setiap malam saya berdoa Rosario,” kenang Aloysius.
Dalam situasi yang serba sulit, ia hanya bisa berpasrah. Ia serahkan penderitaan pada kebesaran Tuhan dan Bunda Maria. Ia berpikir, kalau benar-benar Tuhan memanggil dirinya, maka ia menyerahkan diri sepenuh hati. Dalam kondisi demikian, ia teringat pesan Almahrum ayahnya bahwa meminta berkat dan rahmat dari Tuhan dan Bunda Maria, bukan hanya sekali atau dua kali. Hal itu harus dilakukan terus-menerus. “Menurut ayah saya, kalau hal itu kita lakukan terus-menerus akan ada mujizat dalam hidup kita,” sitir Aloysus.
Ternyata, pesan ayahnya bukan omong kosong belaka. Keajaiban Tuhan dan Bunda Maria sungguh ia rasakan. “Doa Rosario yang kami lakukan setiap malam ternyata sangat ampuh. Bunda Maria mendengar doa dan permohonan saya atas penderitaan saya,” kata Aloysius menegaskan.
Nyatanya, usahanya mendatangi orang-orang di desa tetangga untuk membantu menyembuhkan pendarahan yang menimpanya dibarengi dengan doa, tidaklah sia-sia.
Makin dekat
Kesembuhan dari penyakit pendarahan selama bertahun-tahun membuat Aloysius makin dekat dengan Tuhan dan Bunda Maria. Sejak itu, ia kian menghidupkan devosi kepada Bunda Maria dan keluarga kudus dari Nazareth. Tak ada hari terlampaui tanpa berdoa dengan perantaraan Bunda Maria.
Padahal, untuk berdoa dan berdevosi saat itu mereka menghadapi sedikit kendala. Gambar-gambar suci Bunda Maria, Tuhan Yesus, dan Santu Yoseph merupakan barang langka saat itu. Kalau pun ia memilikinya, gambar suci itu makin buram. Warnanya telah pudar.
Aloysius tak kehilangan akal. Syukurlah, ia bisa menggambar ala kadarnya. Dengan sedikit keahlian menggambar, Aloysius pun menggambar sendiri wajah Bunda Maria, Tuhan Yesus, dan Santu Yosep. Lalu, gambar-gambar itu, ia letakkan di pojok kamar keluarganya. “Gambar itu menjadi salah satu sarana kami untuk berdoa bersama-sama,” imbuh Aloysius.
Tak hanya itu. Aloysius juga mengukir patung Bunda Maria dan Tuhan Yesus yang tergantung di salib. Ia berusaha semampu mungkin agar patung bikinannya bisa mirip dengan wajah Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang ia lihat di gambar-gambar. Setelah patung-patung itu jadi, ia tak ragu membawanya ke Pastor Paroki Boto untuk diberkati. “Semua itu menjadi sarana kami berdoa,” tambahnya lagi.
Sejak anak-anak masih kecil, Aloysius dan Aloysia sudah membiasakan mereka berdoa. Setiap malam mereka selalu berdoa bersama. Begitu juga setiap pagi mereka selalu mengawali aktivitas harian dengan berdoa. Sejak Aloysius masih muda, ia sudah berharap agar Tuhan berkenan memanggil putra sulungnya untuk berkarya di ladang-Nya. "Toh, Tuhan mempunyai rencana lain. Bukan anak pertama yang dipanggil-Nya menjadi imam tetapi justru putra ketujuh.”
Bagi Aloysius dan Aloysia, doa dan kerja merupakan dua hal yang penting yang selalu seiring sejalan. Mereka selalu menegaskan kepada anak-anak agar kapan pun dan di mana pun, selalu mengawali dan mengakhiri tugas masing-masing dengan doa. “Selain itu, disiplin dalam bertugas juga kami tanamkan kepada mereka dalam segala aktivitas mereka,” tandas Aloysius.
Tak mengherankan, seiring waktu yang bergulir, anak-anaknya berhasil menamatkan pendidikan tinggi. Dan, mereka bias menempati posisi yang baik sebagai Pegawai Negeri Sipil. “Saat ini, kami seperti menuai apa yang dulu kami tabur,” tandas Aloysius.
Hingga kini di usia senja, pasangan Aloysius dan Aloysia tetap menggarap lahan mereka. Meski anak-anak mereka telah berhasil, mereka tak mau merepotkan. Dan, hingga kini pula Aloysius dan Aloysia tetap mengawali dan mengakhiri aktivitas keseharian mereka dengan doa. (Ansel Deri/Hermien Botoor)
Sumber: HIDUP No. 19 Tahun ke-61 tanggal 13 Mei 2007
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!