Headlines News :
Home » » F Djoko Poerwoko: Eks Merto Jadi Penerbang Handal

F Djoko Poerwoko: Eks Merto Jadi Penerbang Handal

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, May 14, 2007 | 11:19 AM

Ada dua hal penting yang harus dilakukan seorang penerbang jika sukses dalam penerbangan. Siap terbang dan siap menghadapi keadaan darurat.

MARSEKAL Muda Pnb (Purn) TNI Faustinus Djoko Poerwoko adalah satu dari sekian pilot pesawat tempur berprestasi di Indonesia. Ia menjalani tugasnya sebagai pilot di lingkungan TNI, khususnya TNI Angkatan Udara.

Baginya, dua hal di atas penting dimiliki seorang penerbang dalam sebuah misi penerbangan. “Dua hal penting itu harus dilakukan. Kecelakaan terjadi bisa karena kita tidak siap,” ujar Djoko saat ditemui di rumahnya, Kompleks Trikora, Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Pernyataan itu tentu beralasan. Apalagi, belakangan ini kerap muncul kecelakaan pesawat terbang. Apakah ada yang salah dengan dunia penerbangan kita? Menurut pilot tempur yang sempat menjadi siswa Seminari Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah ini, ada dua hal penting yang harus dipahami. Pertama, tidak ada penerbang yang ingin celaka. Kedua, tidak ada kecelakaan yang direncanakan. “Kita enggak ingin celaka dan kecelakaan tidak pernah direncanakan. Itu adalah proses alamiah jadi tidak perlu takut,” ujar Djoko.

Sebelum terbang

Selama berada di udara dengan pesawat tempur Djoko tak pernah merasa takut. Ia selalu mencurahkan perhatiannya pada intrumen pesawat. Ketakutan kadang justru muncul saat sebelum dan sesudah terbang. Ayah dari Amelia Dini Poerwoko dan Bernard Deny Poerwoko ini mengemukakan, ada langkah yang harus dipersiapkan seorang penerbang sebelum menjalankan misinya di udara.

Mantan Dan Lanud El Tari/Kupang ini mengatakan, mesin memang bisa rusak kapan saja. Tapi kalau pilot sudah siap menghadapi mesin saat rusak, tidak akan menjadi masalah. Begitu pula menghadapi cuaca jika tiba-tiba buruk, itu yang harus dipelajari dan disiapkan sebelumnya.

Pesawat tempur yang dikemudikan Djoko pernah beberapa kali sempat mati di udara. Ia mengaku tidak cemas karena sudah ada prosedur yang mesti dilalui sehingga tetap bisa terbang dengan aman dan lancar. Umumnya, kalau mesin mati kemudian pilot salah mengoperasikan, mesin tambah mati. “Makanya, kalau ditugaskan untuk terbang maka laksanakan misi itu sebaik mungkin. Persiapkan juga segala sesuatu semaksimal mungkin,” jelas Djoko.

Menurut Djoko, aturan-aturan penerbangan di Indonesia sudah lengkap dan bagus sekali. Meski demikian, kecelakaan tetap saja terjadi. Djoko mengimbau agar aturan-aturan yang sudah dikeluarkan pemerintah dijalankan sebaik mungkin. Jika hal itu sudah berjalan maka semua akan lancar.

Djoko juga mengingatkan, jika seorang penerbang belum waktunya jadi penerbang, janganlah terbang. Jika belum siap, jangan dipaksa terbang karena bisa celaka. “Sekarang kan banyak pemaksaan aturan terbang. Saya lihat kalau di dunia penerbangan sudah ada aturannya dan sekarang tinggal dijalani saja,” tegas Djoko.

Jual koran

Selama menapaki hari-hari dalam hidupnya, Djoko termasuk prajurit yang sangat loyal pada tugas. Ia mengaku, waktu untuk keluarga mungkin hanya tersisa 25 persen. Praktis tugas mendidik anaknya dilakukan istri tercinta, Stefani Nining Poerwoko.

Pengalaman yang tak pernah ia lupakan saat seorang anaknya masuk rumah sakit. Saat itu Stefani harus bergadang sendiri di rumah sakit untuk menjaga anaknya karena mereka tak mampu bayar pembantu.

Pernah seorang anaknya yang lain merengek minta dibelikan mainan. Padahal, saat itu ia tidak punya uang. “Koran-koran dan botol-botol bekas yang ada kami jual. Setelah dapat uang baru kita beli mainan anak. Kehidupan saat itu memang keras karena kita hanya mengandalkan gaji yang pas-pasan. Tapi, semua itu ada hikmahnya,” katanya.

Diam-diam ternyata Stefani menyimpan bakat melukis. Seiring perjalanan waktu, bakat ibu ini terus terasa hingga ia terlibat dalam berbagai kegiatan pameran lukisan. Sedang Djoko menunaikan tugas-tugasnya sebagai penerbang tempur. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Anak sulungnya, Amelia Poerwoko berhasil meraih gelar Sarjana Ekonomi. Kini ia tengah mendalami studi tentang design di Kuala Lumpur, Malaysia. Sedang putranya, Bernard Deny Poerwoko, saat ini bekerja di BRI Semarang, Jawa Tengah.

Eks Merto

Djoko Poerwoko lahir di Klaten, Jawa Tengah, 9 September 1950. Ia terlahir sebagai anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Djoko memiliki enam saudara laki-laki dan tiga perempuan. Ia tumbuh dan besar di Delangu, sebuah dusun kecil antara Klaten dan Solo.

Djoko dan keluarga besarnya adalah penganut non Katolik. Saat di kelas 4 SD ia dibaptis secara Katolik. Seiring usia yang bertambah, di akhir tahun 1978, Djoko menyunting gadis pilihannya, Nining, dalam sebuah ikatan perkawinan meski berbeda keyakinan. Saat itu keduanya sepakat bahwa anak pertama lahir dibaptis secara Katolik. Sedang anak kedunya dibiarkan mengikuti keyakinan istrinya.

Namun, setelah 12 tahun mengarungi bahtera rumah tangga dengan perbedaan keyakinan, akhirnya Tuhan memiliki rencana lain. “Saat saya bertugas di Kupang tahun 1992, ibu dan anak kami yang kedua dibaptis secara Katolik. Upacara pembaptisan dipimpin Pastor Sebastianus Wajang, SVD. Saya percaya semua ini adalah rencana Tuhan dan indah adanya,” kata Djoko.

Sejak kecil, Djoko sudah jadi misdinar. Tak ayal, pada perayaan Natal dan Paskah ia selalu ambil bagian dalam tugas. Bersama dua temannya, mereka masuk Seminari Mertoyudan namun karena tidak krasan, Djoko dan seorang temannya berhenti. Seorang rekannya, Ageng Marwoto berhasil menjadi imam Yesuit (SJ). Romo Ageng Marwoto kini jadi dosen sekaligus direktur SMU de Brito Yogyakarta.

Jadi penerbang

Meski gagal bertahan di seminari, Djoko merasa dirinya dibentuk oleh model pembinaan ala seminari. Ia mengaku menjadi sosok yang tertib dan disiplin. Setelah lulus SMA St Joseph Solo, ia masuk AKABRI tahun 1970 dan lulus 1973. Djoko muda melanjutkan studi di Sekolah Penerbang Yogyakarta dan lulus tahun 1975. Sejak lulus hingga 1990, menjadi penerbang tempur di Madiun.

Prestasi yang ia tunjukkan membuatnya mendapat kepercayaan sebagai Kepala Dinas Operasi Pangkalan Udara Hassanudin, Makassar. Selepas dari kota Anging Mamiri, Djoko terbang ke Kupang, NTT, sebagai Komandan Pangkalau Udara El Tari selama tiga tahun. Selepas dari Kupang, ia dipindahkan ke Pekanbaru dan mendapat kenaikan pangkat kolonel.

Kemudian, pada 1997, ia kembali ke Jakarta. Tak lama berselang, sejak 1999 sampai 2002 ia menjadi Komandan Pangkalan Udara Iswahyudi Madiun. Ia mendapat promosi dan naik pangkat Bintang Satu.

Setelah dari Madiun, ia kembali ke Jakarta. Ia sempat bertugas di Mabes AU dan Mabes TNI. Sejak 2003, Djoko menjabat Panglima Komando Pertahanan Nasional (TNI-AU/Mabes TNI?) hingga pensiun 2006. Pria yang murah senyum ini pensiun dengan bintang dua berpangkat Marsekal Muda.

Warga stasi St Agustinus Halim Perdanakusuma, Paroki St Antonius Bidaracina Jakarta ini ternayat punya bakat menulis. Selama masih aktif, artikel-artikel tentang kedirgantaraan kerap muncul di majalah Angkasa dan TSM. Kemudian ia juga meluncurkan tiga buku kedirgantaraan, antara lain Perjalanan dan Pengabdian Skadron Udara 11 (1999), My Home My Base (2001), dan Dog Fight (2001), Great Airman (2002), The Long Journey of Air Combat (versi bahasa Ingrris, 2003), dan Propatria Fulcrum (2005). Buku terakhir Fit Via Vi (2006) merupakan otobiografinya. Sejumlah artikel opininya tentang kedirgantaraan sering muncul di Kompas.

Djoko mengatakan, “Saya percaya sampai saat ini saya masih hidup, itu karena sentuhan tangan Tuhan. Itu sangat saya yakini sehingga hidup ini dijalani apa adanya.” Setiap tugas dan karya,s elalu diawali dan diakhiri dengan doa.

Pria yang punya motto Laksanakan Tugas Sebaik-baiknya dan Kerjakan Tugas Secepat-cepatnya itu, percaya Tuhan selalu hadir sekalipun ia berada di udara. Itulah yang membuatnya tak gentar dalam menerbangkan pesawat. (Ansel Deri)
Sumber: HIDUP No. 19 Tahun ke-61 tanggal 13 Mei 2007
Ket foto: F Djoko Poerwoko bersama istri. Foto: Istimewa
SEBARKAN ARTIKEL INI :

8 comments:

  1. Pak Djoko bukan saja seorang penerbang handal tetapi juga penulis hebat. Patut dicontoh

    ReplyDelete
  2. Beliau adalah salah satu senior yang patut diteladani..semangat fighter-nya masih melekat walaupun sudah pensiun...

    Condor "elang 22"

    ReplyDelete
  3. Saya benar-benar kagum dengan alumni SMA St. joseph ini. Sayang saya gagal mengikuti jejaknya sebagai penerbang.

    ReplyDelete
  4. bener...salut dengan beliau

    walau sudah pensiun pun tulisan2 beliau masih dapat menggetarkan jiwa yang membacanya

    salam kenal pak

    ReplyDelete
  5. Pak Djoko tak hanya jago mengendalikan pesawat tempur, tapi juga piawai dalam menuangkan ide dan gagasan melalui buku-buku karyanya. Saya bahagia karena sempat diberi kesempatan ngobrol di rumahnya dan ternyata sharingnya sangat menarik. Ya, sekalian saja saya nulis buat HIDUP. Dan ternyata dimuat. Salam kenal juga.

    ReplyDelete
  6. Almarhum telah melakukan yg terbaik untuk bangsa dan negara. Ia seorang penerbang tempur dan pemimpin yang handal. Tulisan-tulisan yang dimuat di media massa sangat kritis dan inspiratif. Di masa pensiunnya, Pak Djoko menyibukkan diri sebagai redaktur khusus di Majalah Angkasa. Kami, keluarga Angkasa, sangat kehilangan beliau. Selamat jalan Marsekal.. Beristirahatlah di sisi Bapa..

    ReplyDelete
  7. Saya teman seangkatan. Saya masih tanda tanya tentang wafat beliau di Brazil. Benarkah seorang Penerbang yg setiap saat di chek up.kesehatannya kena sakit jantung?

    ReplyDelete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger