MESKI PENGANUT Katolik, ia tak menolak ketika warga desa memintanya menjadi Ketua Panitia Pembangunan Masjid Asyamat Luki, Desa Pantai Harapan, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). “Ini amanah yang harus saya jalankan,” katanya.
Fransiskus Lua Mudaj, menjalani tugas “membangun” masjid tersebut ketika menjadi guru SD Inpres Luki, Pantai Harapan, 1989-2000. Umat Muslim Luki sendiri yang meminta kesediaannya menjadi Ketua Panitia Pembangunan Masjid Asyamat Luki. Frans -demikian sapaan akrabnya- saat itu juga menjabat Ketua Lembaga Kemasyarakat Desa (LKMD) Pantai Harapan.
Frans menuturkan, waktu itu warga Muslim Luki sangat membutuhkan tempat ibadah. Yayasan Amal Muslim Pancasila menyumbang sekitar Rp. 100 juta lebih. Kepanitiaan pun segera dibentuk. Sayang, karena masih ada perbedaan satu sama lain maka kegiataannya sempat mandeg.
Kemudian, kepala tukang akhirnya berembuk dengan kepala desa dan tetua adat. “Mereka sepakat dan meminta kesediaan saya menjadi ketua panitia. Sebagai guru saya terpanggil mengemban tugas mulia itu. Akhirnya, atas doa dan kerja keras umat Muslim maka Masjid Asyamat bisa dirampungkan dalam jangka waktu tak sampai satu tahun. Sebagai penganut Katolik saya sangat bangga karena bisa ikut membantu dalam pembangunan rohani umat. Ini pengalaman saya yang tak akan pernah saya lupa selama hidup,” tuturnya.
Frans sangat bangga karena bisa ikut membantu dalampembangunan rohani umat. “Ini pengalaman saya yang tak akan pernah saya lupa selama hidup,” katanya.
Peristiwa aneh
Ada satu peristiwa aneh yang terekam kamera. Sesaat sebelum dipasang menara Masjid, pada malam hari muncul cahaya di atas puncak Masjid. Peristiwa itu terjadi pada Malam Natal. Seorang kameramen dari luar desa mencoba mengabadikan cahaya itu dengan kamera miliknya. Cahaya itu akhirnya terekam jelas.
“Malam itu, para tukang dibantu warga langsung memasang menara Masjid. Menurut warga, mereka heran karena baru pertama kali ada cahaya yang muncul di atas sebuah Masjid yang baru selesai dibangun. Apakah ini sebuah peristiwa aneh atau peristiwa religius, saya tidak tahu. Yang ada dalam hati saya adalah kebanggaan karena bisa menyelesaikan sebuah tugas yang telah dipercayakan kepada saya,” katanya memberi alasan.
Setelah pembangunan fisiknya rampung, dilsaksanakan upacara serah terima dari Yayasan Amal Muslim Pancasila kepada warga Luki. Upacara dilakukan secara simbolis di Larantuka, kota Kabupaten Flores Timur. (kini sudah terpisah dari Lembata). Frans tidak hadir karena ia harus mengawasi anak didiknya yang saat itu sedang menempuh ulangan umum kenaikan kelas.
Masjid pun membutuhkan penerangan. Guru Frans meminta Asisten II Setda Flores Timur, Ir Feliks Sari Kobun (almahrum-red) membantu satu genset untuk penerangan Masjid. Permintaan itu pun bisa dipenuhi.
Pengabdian panjang
Rekam jejak pengabdian guru Frans, terbilang panjang dan penuh dedikasi. Guru yang sederhana ini lulus tahun 1975 di Sekolah Pendidikan Guru Kemasyarakatan (SPGK) Lewoleba, Kabupaten Lembata. Kemampuan ilmu yang ia miliki membuat ia didorong untuk kuliah. Namun, keluarganya keberatan karena masalah biaya.
Nah, dalam sebuah kunjungannya di Boto tahun 1976, camat Nagawutun H. Sengadji memintanya untuk ikut membuka SMP Loang, Kota Kecamatan Nagawutun. Permintaan Pak Haji itu tak ia sia-siakan. Bersama dua rekannya, Aloysius Ose Ama de Ona (almahrum) dan Usmar Adi Sengadji mereka membuka SMP Loang.
Namun, tak lama berselang, pada Desember 1976, mereka langsung mengikuti testing menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Ketiganya akhirnya lulus. Frans menjadi guru di SD Inpres Loang. Di sini, ia mengabdi selama tiga tahun yakni tahun 1976-1979. Selepas dari Loang, ia dipindahkan ke SDK Lamalera. Tugas di desa nelayan ini dijalani dari tahun 1979-1986.
“Saya kemudian diangkat menjadi Kepala SD Inpres Waimuda, Kecamatan Atadei hingga tahun 1989. Saya kemudian dimutasi ke SD Inpres Luki hingga tahun 2000. Setelah 2000, saya dimutasi lagi ke SD Inpres Pasir Putih Mingar hingga tahun 2002,” katanya.
Dua tahun ia mengabdi di Mingar. Ia akhirnya dipindahkan ke SDK Imulolong, Wulandoni. Di sini ia hanya bertahan beberapa bulan karena kepindahannya terpaksa. Meski demikian, karena guru sudah menjadi panggilan jiwa maka ia bertahan menunaikan tugas mulia itu. Ia tetap komit mengingat anak-anak dididknya yang duduk di kelas VI sedang siap-siap menghadapi ujian EBTANAS.
“Usai ujian, saya minta menjadi guru bantu selama satu setengah tahun. Toh, saya akhirnya diminta lagi menjadi kepala SDK Atawuwur mulai 2006 hingga saat ini,” katanya. (Paulus Lima/Ansel Deri)
Sumber: Mingguan Flores Pos Jakarta edisi 19 Agustus 2007
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!