Para pastor di Dekanat Lembata, Keuskupan Larantuka sepakat menolak rencana pertambangan emas dan tembaga di Lembata.
Kesepakatan ke 22 orang pastor itu dibuat dalam sebuah rekoleksi bersama 10 Mei 2007. “Kolegiolitas para pastor di Lembata sudah sepakat untuk bersama masyarakat menolak rencana pertambangan yang akan dilakukan PT Merukh Enterprises Coopers (MEC),” ungkap aktivis Divisi Advokasi JPIC-SVD Provinsi Ende, Pastor Marselinus Vande Raring, SVD melalui telepon jarak jauh, Rabu 15/8.
Penolakan tersebut, lanjut Pastor Vande, didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem yang akan terjadi. Kedua, masyarakat tercabut dari dari akar budayanya karena dipindahkan secara paksa. Ketercabutan tersebut akan menimbulkan perpecahan sosial.
Ketiga, masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan mengenai hal tersebut. Keempat, masyarakat akan kehilangan hak-hak ulayat atas tanah dan air yang merupakan sumber utama hidup. “Tanah merupakan bagian dari sebab-musabab keberadaan manusia dan tempat akhir riwayat hidup manusia. Mengapa harus merampas hak para petani yang hidupnya bergantung pada tanah,” tegasnya.
Pastor Vande juga menyoroti sikap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata, yang menyetujui pertambangan dengan alasan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). “Untuk meningkatkan PAD dan kesejahteraan rakyat bukan hanya lewat tambang. Kemiskinan yang dialami masyarakat disebabkan oleh salah urusa pemerintah dan kemiskinan struktural,” tambahnya seraya mendesak DPRD Lembata mengambil sikap terhadap kegelisahan masyarakat terkait rencana kegiatan itu.
Berbagai aksi
Para pastor mewujudkan penolakannya dengan mendampingi warga masyarakat menggelar aksi penolakan. Warga masyarakat juga menyelenggarakan ritual adat untuk menolak rencana yang sama.
Aksi damai dilakukan pada 23 – 24 Juli. Pada kesempatan itu sekitar 1.600 warga dari Kecamatan Lebatukan –dari Desa Lewoeleng, Lodoblolong, Seranggorang, Ledotodokowa. Lamadale, Desikare, Tapo Baran dan Tapolangu- Kecamatan Omesuri dan Buyasuri melakukan aksi demonstrasi damai di gedung DPRD. Mereka menuntut bupati mencabut izin yang sudah dikeluarkan.
Namun, Bupati Lembata Andreas Duli Manuk tak mau bertemu masyarakat. “Bupati benar-benar mengkhianati rakyat yang telah memilihnya. Kami harus mengeluarkan mosi tidak percaya pada bupati. Kami menolak tamang apapun. Ini harga mati,” kata Pastor Vande yang juga pastor pembantu Paroki St Arnoldus Jansen Waikomo, Lewoleba.
Menurut Pastor Vande, secara kelembagaan baik Dekanat Lembata maupun Keuskupan Larantuka, belum menunjukkan sikap konkret terkait hal tersebut. “Bapa Uskup hanya menganjurkan dialog dengan berbagai pihak. Tindakan konkret seperti membentuk tim investigasi atau surat gembala pun belum ada,” jelasnya.
Aksi penolakan tersebut disukung berbagai elemen seperti Lembata Center, Forum Komunikasi Antar Petani Leragere (Fokal), Forum Komunikasi Desa Pesisir (Forkomdisir), dan Forum Komunikasi Tambang Lembata (FKTL).
Keputusan Kontroversial
Penolakan rencana tambang bermula dari keputusan kontroversial Pemkab dan DPRD Lembata. Keputusan yang dimaksud adalah penandatanganan nota kesepahaman antara pihak-pihak MEC melalui anak perusahaannya, PT Merukh Lembata Cooper (MLC) dengan kedua institusi tersebut pada 23 Agustus 2006 di Hotel Grand Kemang Jakarta. Selain itu, Bupati Lembata juga mengeluarkan SK Bupati No 37/2005 tentang izin eksplorasi kepada MEC.
Menurut Pastor Vande, tindakan Pemkab dan DPRD Lembata itu tidak pernah melibatkan masyarakat. Tindakan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap kepercayaan masyarakat.
Sumber: Mingguan HIDUP edisi 26 Agustus 2007
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!