Headlines News :
Home » » Mengenang Tragedi Minamata

Mengenang Tragedi Minamata

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, August 31, 2007 | 10:17 AM

Oleh Ansel Deri
putra Lembata, tinggal di Jakarta

MENGAPA studi banding tambang dilakukan di PT Newmont Minahasa Raya (NMR) di Kabupaten Minahasa Selatan (sekalipun kunjungan hanya di Bolaang Mongondow) dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di NTB yang nota bene perusahaan itu milik Pak Yusuf Meruk?


Pertanyaan itu saya ajukan kepada Bupati Lembata Drs Andreas Duli Manuk di Hotel Aston Atrium Senen, Jakarta Pusat, Minggu (19/8) malam. Jawabannya, tentu tidak mungkin ke perusahaan lain.

Saya (dan Pastor Michael Peruhe, OFM dari JPIC-OFM) beruntung diajak Keluarga Besar Leragere Jakarta (KBLJ) yang dipimpin ketuanya, Ola Tukan Agustinus bertemu Bupati Manuk. KBLJ ingin mendapat penjelasan terkait kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata memberikan rekomendasi kepada Merukh Enterprises Coopers (MEC) melalui anak perusahaannya, PT Merukh Lembata Coopers (MLC) melakukan kegiatan eksplorasi tambang di wilayah Kedang dan Lebatukan. 

Sedang Bupati didampingi Paul Tokan, salah seorang dari kurang lebih 80 orang peserta studi banding. Paul masuk dalam rombongan studi banding di NMR. Ternyata, malam itu rekan Paul mengaku ia adalah wartawan yang baru 15 tahun berkutat di dunia jurnalistik. (Saya tidak tahu apa nama medianya. Apa terbit di Jakarta, Kupang atau Lewoleba) Dan setelah mengikuti studi banding selama beberapa waktu, hasil amatan rekan ini juga menginformasikan bahwa suasana lapangan sangat bagus. Artinya, kekhawatiran yang selama ini muncul terutama persoalan lingkungan hidup hanya dilebih-lebihkan.

Dalam pertemuan itu, Bupati mengaku bahwa agar ada gambaran tentang tambang maka masyarakat yang setuju dan tidak setuju (pro-kontra) dengan rencana tambang, maka pihaknya menyuruh masyarakat melihat langsung situasi di lapangan. Kemudian, tentu diharapkan memberikan persepsi tentang pentingnya tambang di Lembata nanti. Saya teringat dengan kehadiran kurang lebih 80 orang peserta di Hotel Ritz Carlton, kawasan Mega Kuningan, Jakarta pada 13 Agustus 2007. Seorang peserta mengabarkan saya kalau utusan masyarakat itu baru pulang dari lokasi studi banding. 

Pada hari itu, mereka akan memaparkan hasil studi banding di Minahasa dan Nusa Tenggara di hotel itu. Seorang rekan wartawan malah heran. Ia bertanya, “Kenapa mesti sosialisasi di depan calon investor dan bukan di depan masyarakat Lembata? Bukankah perjalanan mereka itu dengan APBD Lembata? Mengapa pula di hotel sekelas Ritz? Berapa besar dana rakyat Lembata yang dikuras untuk membiayai hotel dengan jumlah peserta sebesar itu?” Saya tahu dan bisa memahami pertanyaan rekan ini. Hotel high class itu menjadi tempat pendeklarasian pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo – Prijanto yang baru saja terpilih memimpin DKI. Saya termasuk satu dari puluhan wartawan media cetak dan elektronik yang hadir. Tapi, lupakan saja cerita ini.

Janji perusahaan

Bagaimana dengan janji perusahaan kepada masyarakat lokal, terutama para pemilik tanah, misalnya? Inilah pengakuan pihak Merukh Lembata saat berlangsung pertemuan di Ritz Hotel Carlton Jakarta, Senin (13/8) lalu. Pemilik tanah akan diberikan ganti untung satu unit apartemen lengkap dengan fasilitasnya. Tanah dibayar dengan harga sesuai nilai jual obyek pajak (NJOP). Putra-putri dan keturunan pemilik tanah mempeoleh “hak utama dan hak pertama” untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan pada perusahaan.

Hak utama dan pertama? Sabar dulu! Saya pernah diundang Care International Indonesia (CII) bersama sepuluh wartawan dari Jakarta melakukan peliputan di wilayah pertambangan marmer desa Fatumnasi dan sekitarnya, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Kebetulan di pesawat saya bertemu dengan Om Anzis Kleden yang saat itu wartawan harian Indonesian Observer. Ia termasuk dalam rombongan wartawan ini. Kami sempat diskusi soal tambang dengan data yang masih sangat terbatas. Di lapangan, ternyata banyak persoalan yang kami temukan terutama menyangkut manfaat kehadiran perusahaan. Begitu pula jangan berharap bisa masuk sampai lokasi. Tapi, jika diundang perusahaan yang sudah kongkalikong dengan Pemda, misalnya? Semua oke. Sejak dari airport menuju hotel, Anda diservis all out. Tapi apa hasil pengamatan Anda nantinya? Ya, idem dito pengundang.

Perlu dicatat, praktek-praktek pembangunan yang bias daratan pasca diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 (sebelumnya UU No. 22 Tahun 1999) tentang Pemerintahan Daerah, telah mendorong percepatan eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan lingkungan. Bergesernya kepentingan eksplorasi menjadi eksploitasi meninggalkan prinsip-prinsip keselamatan lingkungan. Jika hal ini dipaksakan di Lembata dengan luas daratan yang begitu kecil, maka tanpa sadar kita sedang mendesain sebuah malapetaka besar bagi masa depan lingkungan kita.

Tragedi minamata

Mungkin sebagian masyarakat Lembata belum pernah mendengar tragedi Minamata, Jepang. Tapi, bagi masyarakat yang bermukim di lokasi pertambangan di beberapa tempat di Indonesia, tragedi ini tentu tak asing. Apalagi, masyarakat Kabupaten Minahasa Selatan, tempat PT Newmont Minahasa Raya, misalnya. Tragedi Minamata yang berlangsung tahun 1953 – 1960 disebabkan oleh pencemaran merkuri yang mengakibatkan 1.800 orang meninggal. Hingga kini kepedihannya masih dirasakan penduduk Minamata. Selain meninggal, ribuan warga lainnya menderita cacat fisik dan mental akibat limbah Chisso Corporation yang digelontorkan ke laut Jepang sejak tahun 1932.

Mau tahu merkuri? Merkuri itu logam berat yang terakumulasi di lingkungan perairan (sedimen, biota) dan tidak terurai. Merkuri (Hg) merupakan unsur cair dan dikenal juga dengan nama air raksa. Dalam industri Khlor-alkali, merkuri digunakan untuk menangkap logam Natrium dari Natrium Chlorida (NaCl). Campaign Manager Walhi Kalimantan Barat, Hendi Chandra menjelaskan, pada industri manufaktur vinilkhlorida di Jepang merkuri digunakan sebagai katalis. Pemakaian merkuri pada industri tersebut mengakibatkan tersebarnya merkuri di perairan teluk Minamata. Di mana limbah industri manufaktur vinilkholrida dibuang ke laut.

Nah, pada tahun 1960 dunia dihebohkan dengan penyakit kerapuhan tulang yang mengakibatkan penderita sama sekali tidak bisa bergerak. Setiap gerakan yang yang dilakukan akan menyebabkan tulang patah. Ternyata, setelah melewati serangkaian uji medis, misteri itu terkuak. Penyebab penyakit tersebut berawal dari keracunan logam berat merkuri yang masuk melalui ikan yang ditangkap nelayan di perairan teluk Minamata. Setelah ikan hasil tangkapan dikonsumsi masyarakat, perlahan-lahan bencana kematian justru mengintai masyarakat Minamata. Nah, bisa dibayangkan bagaimana jika sebuah perusahaan diijinkan menambang di Lembata. Saya tak habis pikir dengan ngototnya Pemerintah Kabupaten Lembata meloloskan ijin perusahaan pertambangan masuk di daerah itu.

Pesan Presiden SBY

Pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada acara Peresmian Pembangunan Infrastruktur Nasional di Pacitan, Jawa Timur pada 12 April 2006 lalu masih relevan untuk dipahami para bupati dan walikota di era otonomi daerah. Menurut Kepala Negara, pembangunan infrastruktur itu penting mengingat dalam kehidupan keseharian masyarakat, kita tidak dapat terlepas dari kebutuhan tersedianya infrastruktur yang memadai. Dengan ketersediaan infrastruktur maka diharapkan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kesejahteraan rakyat, makin hari makin meningkat. Infrastruktur sesungguhnya berkaitan erat dengan kebutuhan hajat hidup orang banyak.

Pemerintah dituntut bekerja lebih keras untuk dapat memenuhi keperluan itu sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Keberhasilan pembangunan seringkali diukur dengan beberapa banyak ketersediaan infrastruktur yang benar-benar bermanfaat bagi kepentingan rakyat. Rakyat memerlukan jalan yang mulus, bukan jalan yang penuh lubang. Jembatan yang kokoh, bukan jembatan yang sudah miring. Irigasi yang dapat mengatur penyaluran air, bendungan yang memadai serta berbagai infrastruktur lainnya, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Di Lembata? Justru yang dikejar adalah industri pertambangan sekalipun ditolak keras masyarakat. Tapi, jika sudah keputusan final maka bencana lingkungan bakal mengintai Lembata dan pulau-pulau sekitarnya seperti Alor, Solor, Adonara, dan Flores. Bukan tidak mungkin, tragedi Minamata menunggu di depan mata.
Sumber: Flores Pos, 30 Agustus 2007
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger