Puluhan tahun ia mengabdikan diri sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada Dinas Peternakan Provinsi Papua.
Ia anak seorang perantau asal Roworeke, Kabupaten Ende, Flores. “Ayah saya adalah anggota Romusha dan ia jadi pekerja di Bintuni,” kata Marthen Siwa.
Ia anak seorang perantau asal Roworeke, Kabupaten Ende, Flores. “Ayah saya adalah anggota Romusha dan ia jadi pekerja di Bintuni,” kata Marthen Siwa.
Marthen Siwa mungkin tak pernah menyangka kalau suatu saat ia tinggal di Provinsi Papua.
Apalagi, akhirnya mendapat predikat sebagai orang Papua keturunan selain suku-suku asli di daerah itu sekalipun ayahnya berasal dari kampung Roworeke, Ende. Ini gara-gara sang ayah, Stanilaus Siwa, dijadikan sebagai pekerja paksa alias anggota Romusha saat Jepang berkuasa di Ende dan Flores.
Apalagi, akhirnya mendapat predikat sebagai orang Papua keturunan selain suku-suku asli di daerah itu sekalipun ayahnya berasal dari kampung Roworeke, Ende. Ini gara-gara sang ayah, Stanilaus Siwa, dijadikan sebagai pekerja paksa alias anggota Romusha saat Jepang berkuasa di Ende dan Flores.
Marten Siwa menceritakan, ayanya, Stanilaus Siwa, meninggalkan kampungnya, Roworeke setelah Perang Dunia II. Saat itu ayahnya direkrut untuk menjadi pekerja paksa alias Romusha di Bintuni, Papua untuk mengerjakan benteng pertahanan Jepang.
“Setiba di sana, mereka dijadikan pekerja untuk membangun benteng-benteng pertahanan Jepang. Tuhan berbaik hati kepada ayah dan teman-teman sehingga mereka tak mengalami siksaan yang bisa berakibat kematian. Saya akhirnya lahir di Bintuni setelah ayah menemukan gadis pilihannya asal Pulau Seram, Maluku,” ujar Marthen Siwa kepada penulis di Hotel Kartika Chandra Jakarta belum lama ini.
“Setiba di sana, mereka dijadikan pekerja untuk membangun benteng-benteng pertahanan Jepang. Tuhan berbaik hati kepada ayah dan teman-teman sehingga mereka tak mengalami siksaan yang bisa berakibat kematian. Saya akhirnya lahir di Bintuni setelah ayah menemukan gadis pilihannya asal Pulau Seram, Maluku,” ujar Marthen Siwa kepada penulis di Hotel Kartika Chandra Jakarta belum lama ini.
Pria kelahiran 10 Oktober 1947 juga menikmati masa kecil di sejumlah daerah seperti Pokas, Sorong, Kaimana, Biak, Jayapura dan Merauke. Pada tahun 2000 lalu, ayahnya meninggal di Merauke. Untungnya, pada jaman Belanda ia berkesempatan menikmati pendidikan dasar atau OSB. Pada 1962, Belanda meninggalkan Irian Barat sehingga daerah itu ditangani Untea.
“Setelah Belanda kembali, saya dan beberapa siswa OSB Bintuni dan wilayah lain di Papua dikirim ke Jawa untuk melanjutkan sekolah karena kami berstatus pelajar Trikora. Setiba di Jakarta kami semua dari seluruh Indonesia ditampung di asrama Kelapa Dua selama tiga bulan. Saya kemudian ditempatkan di Bandung, Jawa Barat,” kenang Marthen Siwa.
Ia mengaku, saat itu kesempatan untuk sekolah sangat terbatas. Sekolah-sekolah banyak menampung anak-anak Eropa ketimbang pribumi. Makanya, untuk anak-anak pribumi yang lahir dan besar di Papua masuk OSB. Untungnya, ia mendapat kesempatan sekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Bandung tahun 1962 - 1964.
“Setelah itu saya kembali ke Papua dan mulai bekerja tahun 1965 - 1966 di Kantor Dinas Peternakan Provinsi. Awaknya sebagai tenaga lepas. Tahun 1967, saya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas Peternakan Provinsi hingga pensiun pada 2003. Jadi, hitung-hitung saya bekerja sebagai PNS selama 37 tahun. Terakhir, saya dipercayakan sebagai Kepala Seksi Produksi di Dinas Peternakan Provinsi Papua,” jelas Marthen Siwa.
Meninggal DuniaMarthen menceritakan, banyak anggota keluarga mengira kalau ayahnya sudah meninggal dunia setelah sekian tahun tak ketahuan kabarnya. Untungnya, saat Anis Pai, anggota keluarga asal Ende di Papua pulang kampung maka baru diketahui bahwa Stanilaus Siwa mempunyai keturunan di Bintuni, Papua.
“Saat Pak Anis Pai berlibur ke Roworeke, saya mengusulkan agar beliau membawa foto ayah kami. Pertimbangan saya karena banyak anggota keluarga ayah ada di Roworeke. Saya juga dengar kalau seorang anggota keluarga besar ayah adalah pastor. Saya sangat bersyukur karena pastor ini bisa membuat silsilah keluarga ayah sehingga kami juga bisa tahu,” kata Marthen Siwa, seorang penganut Kristen Protestan.
Setelah keluarga di kampung tahu bahwa Stanilaus Siwa memiliki keturunan di Papua, cerita Marten, ia diminta saudara-saudara ayahnya agar satu waktu harus pulang ke Roworeke sekadar melihat keluarga ayahnya. Baik di Papua maupun Ende, kata Marthen, marga Siwa termasuk keturunan darah biru.
“Saat itu saya memang tidak menjanjikan akan ke Ende, tetapi saya mengatakan bahwa kalau ada waktu saya berlibur untuk bertemu keluarga besar di kampung. Apalagi, saya juga termasuk anak tertua dari marga Siwa di Papua. Saya bahagia karena Pak Anis Pai juga banyak cerita dan membawa foto-foto keluarga di Ende,” katanya.
Pendidikan Marthen Siwa dan istrinya menyadari pentingnya pendidikan bagi putra dan putrinya. Karena itu, ia dan istrinya berusaha menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi (PT) dan ada yang sudah memiliki pekerjaan tetap. Putra pertamanya, Isak Pieter Siwa, S.Pt, M.Pt adalah dosen di Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Pattimura (Unpati) Ambon, Maluku.
Sedang anak kedua, Linda Siwa kini adalah pegawai Dinas Perhubungan Darat Provinsi Papua. Anak ketiga, Stanley Siwa, saat ini bekerja di PT Freeport Indonesia di Timika. Begitu juga anak keempat, Rius Siwa dan anak kelimanya, Hebe Siwa bekerja pada perusahaan yang sama.
“Saya berprinsip bahwa sebagai orangtua kami punya kewajiban mendidik anak karena mereka juga punya hak untuk mendapatkan pendidikan. Saya dan istri saya sudah bertekad bahwa kalau ijasah kami SLA misalnya maka anak kami harus lebih dari itu. Nah, jika anak-anak sudah sekolah dan menggunakan ilmu dan kemampuan bagi orang lain maka itu merupakan kebanggaan bagi kami sekeluarga,” ujarnya bangga.
Ia menegaskan bahwa jika anak dan cucunya punya potensi yang perlu dikembangkan maka ia dan istrinya akan mendukung penuh. Hal ini ditunjukkan pada Agnes Dewi Maria Siwa, cucu dari anak keduanya Linda Siwa.
Saat itu Marthen Siwa bersama Linda mendampingi Agnes Dewi Maria Siwa mengikuti ajang Pemilihan Wajah Model Bintang 2007 yang diselenggarakan Jakarta Model Production & Sobri Enterprise di Hotel Kartika Chandra Jakarta 17 Juni 2007 lalu. (Ansel Deri)
“Setelah itu saya kembali ke Papua dan mulai bekerja tahun 1965 - 1966 di Kantor Dinas Peternakan Provinsi. Awaknya sebagai tenaga lepas. Tahun 1967, saya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas Peternakan Provinsi hingga pensiun pada 2003. Jadi, hitung-hitung saya bekerja sebagai PNS selama 37 tahun. Terakhir, saya dipercayakan sebagai Kepala Seksi Produksi di Dinas Peternakan Provinsi Papua,” jelas Marthen Siwa.
Meninggal DuniaMarthen menceritakan, banyak anggota keluarga mengira kalau ayahnya sudah meninggal dunia setelah sekian tahun tak ketahuan kabarnya. Untungnya, saat Anis Pai, anggota keluarga asal Ende di Papua pulang kampung maka baru diketahui bahwa Stanilaus Siwa mempunyai keturunan di Bintuni, Papua.
“Saat Pak Anis Pai berlibur ke Roworeke, saya mengusulkan agar beliau membawa foto ayah kami. Pertimbangan saya karena banyak anggota keluarga ayah ada di Roworeke. Saya juga dengar kalau seorang anggota keluarga besar ayah adalah pastor. Saya sangat bersyukur karena pastor ini bisa membuat silsilah keluarga ayah sehingga kami juga bisa tahu,” kata Marthen Siwa, seorang penganut Kristen Protestan.
Setelah keluarga di kampung tahu bahwa Stanilaus Siwa memiliki keturunan di Papua, cerita Marten, ia diminta saudara-saudara ayahnya agar satu waktu harus pulang ke Roworeke sekadar melihat keluarga ayahnya. Baik di Papua maupun Ende, kata Marthen, marga Siwa termasuk keturunan darah biru.
“Saat itu saya memang tidak menjanjikan akan ke Ende, tetapi saya mengatakan bahwa kalau ada waktu saya berlibur untuk bertemu keluarga besar di kampung. Apalagi, saya juga termasuk anak tertua dari marga Siwa di Papua. Saya bahagia karena Pak Anis Pai juga banyak cerita dan membawa foto-foto keluarga di Ende,” katanya.
Pendidikan Marthen Siwa dan istrinya menyadari pentingnya pendidikan bagi putra dan putrinya. Karena itu, ia dan istrinya berusaha menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi (PT) dan ada yang sudah memiliki pekerjaan tetap. Putra pertamanya, Isak Pieter Siwa, S.Pt, M.Pt adalah dosen di Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Pattimura (Unpati) Ambon, Maluku.
Sedang anak kedua, Linda Siwa kini adalah pegawai Dinas Perhubungan Darat Provinsi Papua. Anak ketiga, Stanley Siwa, saat ini bekerja di PT Freeport Indonesia di Timika. Begitu juga anak keempat, Rius Siwa dan anak kelimanya, Hebe Siwa bekerja pada perusahaan yang sama.
“Saya berprinsip bahwa sebagai orangtua kami punya kewajiban mendidik anak karena mereka juga punya hak untuk mendapatkan pendidikan. Saya dan istri saya sudah bertekad bahwa kalau ijasah kami SLA misalnya maka anak kami harus lebih dari itu. Nah, jika anak-anak sudah sekolah dan menggunakan ilmu dan kemampuan bagi orang lain maka itu merupakan kebanggaan bagi kami sekeluarga,” ujarnya bangga.
Ia menegaskan bahwa jika anak dan cucunya punya potensi yang perlu dikembangkan maka ia dan istrinya akan mendukung penuh. Hal ini ditunjukkan pada Agnes Dewi Maria Siwa, cucu dari anak keduanya Linda Siwa.
Saat itu Marthen Siwa bersama Linda mendampingi Agnes Dewi Maria Siwa mengikuti ajang Pemilihan Wajah Model Bintang 2007 yang diselenggarakan Jakarta Model Production & Sobri Enterprise di Hotel Kartika Chandra Jakarta 17 Juni 2007 lalu. (Ansel Deri)
Sumber: Mingguan Flores Pos Jakarta, edisi 21 – 28 November 2007
Ket foto: Marthen Siwa bersama putri dan cucunya saat sang cucu mengikuti sebuah fesitival tingkat nasional di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Foto: dok. Ansel Deri
Ket foto: Marthen Siwa bersama putri dan cucunya saat sang cucu mengikuti sebuah fesitival tingkat nasional di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Foto: dok. Ansel Deri
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!