Headlines News :
Home » » SMP Lamaholot Boto Minta Dinegrikan

SMP Lamaholot Boto Minta Dinegrikan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, November 15, 2007 | 10:05 AM

SEKOLAH Menengah Pertama (SMP) Lamaholot Boto, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, NTT sudah berusia 46 tahun. Kini, pihak Yayasan Pendidikan Lamaholot tak mampu lagi membiayai dan meminta Pemerintah Kabupaten Lembata menegrikannya demi pendidikan anak-anak.

Menurut Ketua Yayasan Pendidikan Lamaholot Boto, Hendrikus Galot Pukan, sekolah swasta itu berdiri tahun 1960. Kehadiran sekolah yang terletak di bawah lereng Gunung Labalekan itu merupakan keinginan seluruh masyarakat akan pentingnya pendidikan.

Keinginan itu pun disponsori tiga kepala kampung. Mereka adalah Gabriel Grosek Ketoj dari kampung Boto, Yohanis Bala Wuwur dari Belabaja, dan Karolus Kia Pukan dari Kluang. Tiga kampung itu yang akhirnya membentuk desa gaya baru bernama Labalimut. Kini tiga kampung itu dimekarkan menjadi Desa Labalimut dan Belabaja.

“Saat itu, ide masyarakat tiga kampung sederhana. Bahwa pendidikan menjadi garansi penciptaan sumber daya manusia (SDM) bagi kelangsungan pembangunan desa. Nah, bersama tiga sponsor tadi, mereka ingin mendirikan sekolah ini guna mendekatkan pelayanan pendidikan kepada anak-anak di desa,” jelas Hendrik Galot Pukan belum lama ini.

Menurut Hendrik yang juga bekas Kepala SMPL Boto, keinginan ini disambut baik masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Flores Timur (saat itu). Awalnya, Pemkab Flotim dan utusan Vedapura/Keuskupan menjadi pengasuh sekolah ini. Karenanya, segala biaya sekolah saat itu ditanggung uskup berdasarkan surat keputusannya (SK) dikeluarkan pihak Vedapura.

Awal berdiri tahun 1960, untuk sementara kepala sekolah dijabat Mateus Lepan Liman dibantu Petrus Lilibala Wujon, dan dua guru SD yaitu Ignasius Begaju dan Petrus Lidun Lein. Setahun kemudian, tahun 1961, sekolah ini mendapat tambahan seorang guru lulusan SGA Angkatan II yaitu Wilhelmus Wato Raring (bekas anggota DPRD Flotim).

“Setahun kemudian yaitu tahun 1962, saya juga diminta membantu mengajar dengan SK Vedapura. Sayangnya, tahun 1965 terjadi kekurangan murid sehingga pihak Vedapura menyatakan melepaskan bantuan.

Sekolah itu akhirnya untuk sementara waktu ditutup. Para guru juga diberi kesempatan melanjutkan studinya. Guru yang tak mampu diberi kesempatan mengajar di bawah sekolah-sekolah asuhan Vedapura. Mereka antara lain mengajar di SMP Paladia dan SMP Pankrasio Larantuka,” kenang Hendrik.

Kepala kampung

Merasa punya beban moril terhadap masa depan pendidikan anak-anak di desa, Hendrik dan rekan-rekan gurunya mengadakan rapat dengan tiga kepala kampung bersama para pembantunya.

Peserta menyepakati bahwa sekolah bisa dilanjutkan jika para guru, para kepala kampung, dan masyarakat mau. Tapi, kalau hanya salah satu pihak yang mau maka sekolah itu tentu tidak bisa jalan.

Atas nama masa depan pendidikan anak-anak maka mereka sepakat melanjutkan sekolah ini. Hendrik ditunjuk sebagai kepala sekolah dibantu dua guru sekampungnya yaitu Viktor Oseama, Petrus Lilibala Wujon menjadi pengajar.

Sejak saat itu, kata Hendrik, statusnya menjadi semakin tidak jelas menyusul dihentikannya bantuan dari pihak Vedapura. Sekolah itu akhirnya menjadi sekolah rakyat. Namun, Tuhan bermurah hati karena lulusan sekolah ini yang melanjutkan studi hingga tamat SMA maupun SPG bersedia mengabdi kembali.

Satu misi yang diemban bersama yakni memberikan pelayanan pendidikan bagi anak-anak desa. Juga sekaligus menjadi tempat latihan mengajar.“Kami bangga karena lulusan SMP Lamaholot sudah menyebar di mana-mana di Indonesia. Baik sebagai guru, pastor, pengacara, dosen, dan wartawan. Semua itu merupakan berkat usaha dan kerja keras disertai doa dari semua pihak yang terlibat langsung dalam memajukan pendidikan di kampung ini. Bahkan Pak Lazarus Baon (kini Camat Nagawutun, Lembata) juga bekas guru dan kepala sekolah dari SMP Lamaholot Boto,” kata Hendrik saat berlangsung acara Sosialisasi SMPL Boto menjadi SMP Negeri di kantor Desa Belabaja, Rabu, 26/6 lalu.

Acara sosialisasi dihadiri antara lain Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kabupaten Lembata Alex T Making mewakili Kadis Diknas Drs Pukan Payong Martinus, putra kampung Kluang yang juga anggota DPRD NTT Drs Simon Sanga Mudaj, camat Nagawutun, Lazarus Baon, Kepala UPT Nagawutun, Lodofikus Gone Pattyona, Kepala SMP Lamaholot Boto Theodorus Tena Kalang, dan kepala desa Labalimut, Belabaja, Atawai, dan Ile Boli serta masyarakat.

“Kami sepakat dan bertekad menyerahkan sekolah ini kepada Pemkab Lembata tanpa ganti rugi. Kesepakatan dan keinginan masyarakat ini juga sudah kami sampaikan melalui surat tertulis yang ditandatangani yayasan, komite sekolah, dan tokoh-tokoh masyarakat. Jika rencana ini terlaksana maka kami sangat berterima kasih. Dan masyarakat tentu tidak pusing dan bingung lagi mengelola sekolah ini,” ujar Hendrik menambahkan

Pendidikan inklusif

Menurut Alex, saat ini pemerintah mau mendorong pendidikan inklusif bagi anak didik. Pendidikan inklusif ini baik bagi siswa-siswi sekolah luar biasa maupun mereka yang mempunyai potensi kecerdasan yang lebih. Jadi, pendidikan luar biasa itu bukan saja anak-anak cacat tetapi juga anak-anak yang memiliki kemampuan lebih.

“Dengan dibukanya akses pendidikan oleh pemerintah maka kita harapkan agar anak usia sekolah bisa mempunyai akses terhadap pendidikan. Karena itu, kita berharap agar tidak ada lagi cerita kalau ada anak usia sekolah tidak pernah masuk dalam sebuah jenjang pendidikan,” ujar Alex Making.

Menurutnya, terkait dengan perluasan akses maka sarana pendidikan di Lembata baik di sekolah negeri maupun swasta, tidak ada perbedaan lagi. Apabila sekolah itu mempunyai ruang kelas tidak memadai maka diberikan dana perluasan ruang kelas baru (RKB). Begitu pula dana untuk rehabilitasi sekolah yang sudah tidak memadai atau rusak total. Dengan berbagai sumber dana yang ada. Baik dari APBD II, I, maupun APBN.

Dikatakan, rata-rata sarana pendidikan di Lembata sudah memadai. Dalam artian bahwa semua sekolah sudah mendapat jatah untuk rehabilitasi maupun pembangunan ruang kelas baru mulai dari TK hingga SLTA. Tahun 2007, misalnya, Lembata mendapat alokasi dana untuk rehabilitasi RKB sebanyak 56 sekolah dengan kisaran dana Rp. 150–200 juta/sekolah.

Pengelolaan DAK selama ini, katanya, sudah berjalan baik dan wajah sekolah pun terlihat lebih bagus lagi karena pengelolaannya langsung diserahkan kepada sekolah bersangkutan. Dijelaskan, tujuan DAK yakni menggalang partisipasi orangtua/wali murid, masyarakat, dan komite sekolah sehingga tidak berjalan sendiri-sendiri. Khusus di Boto (Desa Belabaja dan Labalimut), rata-rata sekolahnya sudah bagus.

“Mudah-mudahan bapak dan ibu sekalian bisa menata sekolah ini untuk menarik minat orangtua menyekolahkan anaknya. Jangan sampai fisik sekolahnya bagus tetapi isinya kosong. Nah, ini yang harus diperhatikan. Di Lembata, secara fisik sekolah kita bagus sekali tetapi isinya kosong,” jelasnya.

Menanggapi keinginan masyarakat Boto menyerahkan sekolahnya untuk dinegrikan maka pihak Dinas Pendidikan Nasional Lembata sangat mendukung. Jika hari ini masyarakat sudah sepakat maka ia mengajak agar masyarakat punya komitmen bersama dan sukarela menyerahkannya untuk dinegrikan. Dengan demikian, tahun ajaran baru anak-anak sekolah di Boto dan sekitarnya sudah menikmati sekolah negeri.

Berkualitas

Anggota DPRD NTT Simon Sanga Mudaj mengatakan, sejak berdiri tahun 1960, sudah banyak lulusan berkualitas yang dihasilkan oleh SMP Lamaholot Boto. Mereka berkarya sebagai guru, pastor, suster, dosen, usahawan, wartawan, perawat, dan lain-lain.

Simon yang juga bekas seminaris ini menyebut beberapa nama yang dihasilkan sekolah ini. Mereka antara lain praktisi hukum nasional Petrus Bala Pattyona, SH, MH, dua staf pengajar Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Drs Hironimus Jati de Ona, MS dan Drs Beatus Bala de Ona. Kini, Beatus tercatat sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, Jawa Timur.

Juga Drs Krispinus Kedati Pukan, MS yang kini dosen sebuah universitas di Semarang, Jawa Tengah, politisi yang juga wartawan harian Suara Karya Jakarta, Drs Bonefasius Bejor Pukan dan Simon Soge Baon, staf Dinas P & K Kecamatan Telukrama, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.

“Kita harus bersyukur karena sekolah ini telah memberikan yang terbaik bagi kita. Sebetulnya, sama saja untuk dialihan dari swasta ke negri. Tapi, saya garis bawahi bahwa ada nilai plus kalau sekolah ini dinegrikan. Kita tahu, aspirasi masyarakat menghendaki sekolah ini sebaiknya dinegrikan,” ujar Simon.

Dikatakan, tujuan yang ingin dicapai dari pengalihan adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat pedesaan. Biaya SPP sampai saat ini tentu sangat memberatkan orangtua murid. Kalau sudah beralih maka tentu SPP akan lebih murah karena sebagiannya ditanggung pemerintah melalui dana BOS.
Ansel Deri/Paulus Lima 
Sumber: Majalah EDUCARE Jakarta, edisi September 2007
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger