Headlines News :
Home » » Nikodemus Langin Wuwur, Dari Koster ke Koster

Nikodemus Langin Wuwur, Dari Koster ke Koster

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, December 31, 2007 | 7:27 PM

SETIAP awal bulan Nikodemus Langin Wuwur membawa klombu (kantong terigu) mengambil bulgur. Bulgur itu adalah gajinya sebagai koster.

Suatu malam pada 2005, Nikodemus Langin Wuwur didatangi Ketua Dewan Stasi Boto, Paroki St Joseph Boto, yaitu Apolonaris Dua Baon. Ia diminta kesediaannya menjadi koster. Tugasnya, membantu Pastor Paroki Boto untuk membantu persiapan Misa, baik di gereja atau lingkungan.

Ia sempat menolak dalam hati. Ia pernah menjalani tugas sebagai koster sejak masih muda hingga berumah tangga. Karena itu, ia berpikir tugas koster sudah saatnya beralih kepada orang lain. Minimal, muda-mudi Katolik (Mudika) Stasi Boto.

Ia menyarankan perlu ada regenerasi dalam tugas sebagai koster. Ia sendiri pernah menjadi Ketua Mudika Paroki dan Stasi Boto beberapa periode. “Saya juga menjadi pemain gitar untuk mengiring koor saat berlangsung Misa di gereja,” cerita Demus Langin, sapaan akrab Nikodemus Langin Wuwur.

Namun dalam hatinya ia merasa berdosa menolak tugas mulia ini. Istrinya, Magdalena Pukan, justru mendorongnya agar menerima tugas itu. Begitu pula keluarga dekatnya, Bernardus Buga Wuwur, yang saat itu hadir menemaninya saat menerima Apolo Baon. Ia akhirnya bersedia.

“Saat menerima tugas itu saya tidak merasa terbebani. Dalam hati saya bahwa tugas ini cuma pengabdian sehingga mesti diterima dalam suasana hati yang lapang. Apalagi, istri saya juga mendorong saya untuk menerima tugas itu. Lucunya, tak diberitahu batas waktu jadi koster. Semua itu saya lakukan karena panggilan. Tak ada gaji tetapi pada akhir tahun diberi Rp. 200 ribu sebagai tanda terima kasih,” cerita Demus Langin.

Bergaji bulgur

Jauh sebelum itu, Demus Langin juga dikenal sebagai aktivis Paroki Boto. Pada tahun 1962-1963 ia sudah menjadi koster melalui serangkaian test. Pastor Paroki Boto, Pastor Jan Knoor, SVD melakukan test bagi para calon. Misalnya, kemampuan bahasa Latin atau menghafal doa-doa harian berbahasa Latin. Nah, Demus Langin termasuk salah satu yang lolos.

“Setelah lolos, saya jadi koster bersama beberapa teman. Saat itu kami digaji dengan bulgur. Setiap awal bulan kami membawa klombu untuk ambil bulgur di pastoran. Bulgur itu warnanya mirip beras merah dan kalau dimakan rasanya agak kasar. Katanya orang barat pake untuk makanan babi. Selain bulgur, pas Natal atau Paskah Pastor Jan beri kami buku tulis dan obat-obatan,” kenang Demus Langin.

Ia juga termasuk pemain gitar handal tahun 1978-1983. Keahlian itu ia dapat dari Martinus Payong Pukan yang kala itu menjadi guru di SMP Lamaholot Boto. Namun, setelah Payong Pukan pindah ke Lewoleba, poisisinya beralih ke tangan Martin Wato Pukan sebelum akhirnya ia ambil alih. “Kami sangat senang karena gitar itu dihadiakan Sr Almaria SSpS. Suster ini orang Jerman yang bertugas di susteran SSpS Boto. Sr Dorotildis SSpS yang selalu setia mengeluarkan dan mengamankan kembali di gudang usai digunakan di gereja,” cerita Demus Langin.

Memerankan Jesus

Badannya yang agak kurus membuat Demus Langin dipercayakan rekan-rekan Mudika Stasi Boto menjadi pemeran tokoh Yesus Dalam drama Kisah Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus saat Upacara Jalan Salib. Tak hanya itu. Pada periode 19800-1982, ia masih dipercayakan sebagai Ketua Mudika Stasi dan Paroki Boto. Ia juga mengisahkan pengalaman pribadinya saat memutuskan menikah.

“Semua perlengkapan pengantin hingga acara di gereja dan ramah tamah di rumah saya ditanggung para suster SSpS Boto. Belanja minyak tanah pun mereka yang atur. Ya, ini mungkin karena saya dan calon istri sudah aktif di Mudika. Rekan kami, Valens Batafor menjahit pakaian penganti saya. Sedangkan suster menyiapkan gaun pengantin, tempat tidur, sprei, dan sarung bantal. Tempat tidur pengantin itu dibuat tukangnya dalam waktu singkat,” katanya.

Ia mengaku, meski rekan-rekannya di Mudika dulu sibuk dengan tugas masing-masing, toh mereka masih saling memberikan dukungan. Valens Batafor, misalnya, hanya bertahan dengan satu kaki karena ditabrak sebuah truk di stasi Belang beberapa tahun lalu. Kini Valens adalah guru SMP Lamaholot Boto. Sedangkan, rekan lainnya Suster Helena, SSpS, kini pimpinan rumah tangga SSpS Balela, Larantuka, Flores Timur. Begitu juga Lazarus Baon, kini camat Nagawutun, Lembata.

Bekas penjaga gawang keseblasan Desa Labalimut (Boto) ini juga pernah menjadi buruh migran di negeri Jiran Malaysia tahun 1999-2000. Hasilnya, ia bisa membangun rumah permanen di kampungnya. Ia juga menyekolahkan ketiga anaknya. Anak pertama, Fransiska Xaveria Nogo Wuwur tamat SMAN 1 Lewoleba dan kini tenaga kontrak di Lembata. Anak kedua, Theresia Paskalina Kemoung Wuwur, siswi SMAN 1 Lewoleba, dan Gertrudis Kenuka Wuwur, siswi SMP Negeri Nagawutun 2 di Boto.

Saat ini, Demus Langin mengaku enjoy dengan tugas sebagai koster. Ia bisa membantu Pastor Piet Maing Pr setelah Pastor Yan Sasi Pr dipindahkan ke Larantuka. Namun, ia masih gelisah dengan peran Mudika yang masih jauh dari harapan. Terutama keterlibatan dalam hal-hal rohani. Justru yang nampak lebih banyak orangtua.

“Saya harapkan agar pihak Keuskupan Larantuka turun ke paroki-paroki untuk memberikan pemahaman tentang apa sesungguhnya peran orang muda Katolik ke depan. Itu salah satu tugas penting yang mesti dilakukan keuskupan. Jangan sampai peran Mudika makin mengendor di saat paroki membutuhkan peran Mudika,” kata koster kelahiran, 15 Maret 1951 ini. (Ansel Deri)
Sumber: Mingguan Flores Pos Jakarta edisi 19-26 Desember 2007
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger