Headlines News :
Home » » Mentalitas Kolektif dan Kosmologis Orang Lamaholot

Mentalitas Kolektif dan Kosmologis Orang Lamaholot

Written By ansel-boto.blogspot.com on Friday, January 04, 2008 | 8:49 PM

Yoseph Pati Mudaj
Mahasiswa Filsafat-Teologi
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Dalam dunia psikologi, term mentalitas dipahami sebagai cara pandang, pola pikir, pola tingkah laku dan karakter dari orang tertentu atau sekelompok orang tertentu. Karena menyangkut hal-hal yang tidak kelihatan, mentalitas kedengaran bernuansa abstrak.

Itu tidak berarti bahwa mentalitas tidak bisa dipahami atau dikenal. Ia dapat dipahami dan dikenal melalui perilaku fisik, habitus dan hal-hal yang kelihatan. Mentalitas manusia merupakan bagian dari hidup dan diri manusia yang otonom tetapi tetap tidak bisa dipisahkan dari kesatuan diri manusia.

Mentalitas orang Lamaholot merupakan bagian dari kehidupan budaya Lamaholot yang sudah tertanam kuat dalam akar budaya kehidupan orang-orang Lamaholot. Mentalitas orang Lamaholot dapat dengan mudah dikenal apabila terlebih dahulu kita mengenal secara sepintas latar belakang budaya Lamaholot.

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan kata Lamaholot untuk menunjuk orang-orang Flores Timur (Flores daratan, Adonara, Solor) dan Lembata. Dengan kata lain, tinjauan yang dipakai adalah tinjauan budaya.

Sistem suku

Secara geografis, orang-orang Lamaholot termasuk dalam bagian Propinsi NTT. Dalam perkembangan mutakhir, orang-orang Lamaholot tinggal dalam dua kabupaten yaitu Flores Timur dan Lembata. Meskipun telah menjadi kabupaten yang mandiri, Lembata, secara budaya tetap merupakan bagian dari budaya Lamaholot.

Orang-orang Lamaholot umumnya memiliki keterikatan yang kuat dengan kampung halaman atau tempat tinggalnya. Keterikatan yang kuat ini disebabkan oleh kesamaan tempat tinggal atau kampung halaman.

Di dalam kampung tersebut, biasanya terdapat hampir sebagian besar suku atau penduduk asli. Memang dewasa ini hampir setiap suku memiliki beberapa penduduk atau suku pendatang, namun posisi suku asli belum tergeser oleh suku atau penduduk pendatang. Dalam budaya Lamaholot, suku biasa disebut dengan ama.

Suku merupakan basis sosial terkecil dan otonom. Sebagai suatu basis yang otonom, setiap suku memiliki aturan dan ritus tersendiri yang harus dihormati dan dihargai oleh setiap anggota suku maupun dari suku-suku yang lain.

Semua hak dan kewajiban individu diarahkan pada kebersamaan suku. Lalu di manakah peran keluarga? Dalam budaya Lamaholot, keluarga memang tetap berperan, namun peranannya kecil dalam proses pendidikan dan sosialisasi.

Bisa dikatakan bahwa keluarga bukanlah tujuan tetapi merupakan sarana sebagai pembentukan kelompoksosial (suku) yang menjadi inti masyarakat dan menentukan suku. Mengenai hal ini, F. A. E. van Wouden dalam Klen, Mitos, dan Kekuasaan (Grafiti Press: Jakarta, 1985), memberi batasan mengenai suku. Yang disebut suku adalah klen organisasi sosial yang bertugas dalam upacara pengorbanan hewan dalam rumah adat.

Dalam upacara ritual ini, terbentuklah kohesi sosial dan legitimasi status sosial. Ritus pengorbanan hewan mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial pada berbagai lapisan sistem suku dalam budaya Lamaholot. Dalam budaya Lamaholot, organisasi suku dalam suatu kampung biasanya terdiri dari pola empat yaitu: Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint.

Nama-nama suku itu berkaitan dengan fungsi para kepala suku dalam ritus pengorbanan hewan. Selain itu, para kepala suku juga memangku jabatan yang berkaitan dengan kekuasaan duniawi atau pun yang berkaitan dengan kekuasaan ilahi.

Dalam ritus pengorbanan hewan, Ama Koten memegang kepala hewan korban. Dia adalah kepala dari panitia empat, tuan tanah, dan memegang kekuasaan dalam kampung. Ama Kelen memegang bagian belakang hewan korban.

Dia bertugas mengurus hubungan dengan kampung-kampung lainnya dan bertanggung jawab atas masalah perang dan damai. Ama Marang bertugas untuk membacakan doa, menceritakan sejarah asal-usul untuk mendapatkan restu dan kekuatan dari para leluhur. Dialah yang bertugas menjaga tatanan adat dalam kampung.

Ama Hurint bertugas untuk membunuh hewan korban, meneliti urat hati hewan. Ama Hurint dan Ama Marang bertugas untuk memberi nasehat atau pendapat bila terjadi perbedaan pendapat antara Ama Koten dan Ama Kelen dan mencari jalan keluar bersama para tua-tua adat ‘Kelake’ (Yapi Taum Yoseph: 1997).

Menurut Ernst Vatter, dalam Ata Kiwan, Nusa Indah Ende: 1984, sistem pengelompokan suku orang Lamaholot didasarkan pada satu tradisi adat wilayah yang membentuk sebuah kakang. Organisasi kakang terdiri atas sepuluh wilayah dibentuk dan ditetapkan oleh Raja Sira Demong Pagong Molang.

Raja ini dikenal sebagai raja pertama Kerajaan Larantuka karena dialah yang meletakkan dasar pemerintahan dan penataan kerajaan. Kesepuluh wilayah kakang itu adalah: Kakang Hadung dan Kakang Lamalera (di Lembata), Kakang Boleng dan Kakang Horowura (di Adonara), Kakang Pamakayo dan Kakang Lewolein (di Solor), dan Kakang Wolo, Kakang Mudakaputu, Kakang Lawingo, dan Kakang Lewotobi (di ujung timur Flores Timur).

Penetapan kesepuluh kakang itu dilaksanakan dengan pemotongan kerbau. Kesepuluh kakang itu disebut Demon Lewo Pulo (sepuluh wilayah demon) dan dikuasai oleh Raja Larantuka sebagai Raja Koten Demon Lewo Pulo. Masing-masing kakang memiliki sistem administrasinya sendiri tetapi tetap mengakui kekuasaan Raja Larantuka.

Masih menurut Ernst Vatter, selain wilayah kakang yang dihuni oleh kaum Demon, orang Lamaholot pada zaman dahulu mengenal wilayah watan (pantai)yang dihuni oleh kaum Paji. Ada lima wilayah paji yang disebut Paji Watan Lema, yakni Lewotolok, Labala dan Kedang (di Lembata), Lamahala dan Trong (di Adonara), Lamakera dan Lewayong (di Solor), serta Tanjung Bunga (Flores Timur daratan). Wilayah Paji Watan Lema dikuasai oleh Raja Adonara sebagai Raja Paji Watan Lema.

Menurut catanan sejarah Vatter, antara Paji dan Demon selalu terjadi pertentangan dan peperangan. Perang antara pengikut raja-raja Kristen dari Larantuka (Demon) melawan pengikut raja-raja Islam dari Adonara dan Solor (Paji). Dari sinilah kemudian dibedakan antara orang Demon (Demon Nara ) dan tanah Demon dengan orang Paji dan tanah Paji.

Bahasa orang Lamaholot

Selain beraneka ragam suku, dan ritusnya, orang Lamaholot memiliki banyak bahasa. Memang pada awalnya, hanya ada satu bahasa yang digunakan yaitu bahasa Lamaholot, namun dengan adanya percampuran penduduk dari suku-suku lain mempengaruhi penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

Adanya bermacam-macam bahasa ini sangat dipengaruhi oleh letak geografis. Meskipun demikian, perbedaan ini bukanlah sebuah penghalang dalam menciptakan dan melestarikan budaya Lamaholot yang telah ternanam dalam diri setiap orang Lamaholot. Justru perbedaan ini menjadi sumber kekayaan, aset dan daya tarik baik bagi orang Lamaholot sendiri maupun bagi orang lain.

Berdasarkan pengamatan, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, ada tiga bahasa yang digunakan oleh orang Lamaholot, selain bahasa Lamaholot itu sendiri. Bahasa Lamaholot terbagi menjadi dua yaitu Lamaholot dengan dialek barat (dipakai di bagian barat Kabupaten Flores Timur) dan Lamaholot dengan dialek timur (dipakai di wilayah Tanjung Bunga, Adonara, Solor dan sebagian Lembata).

Selain bahasa Lamaholot, orang-orang yang ada di Lembata bagian selatan menggunakan bahasa Lebala-Boto, sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Kedang digunakan oleh orang Lembata bagian timur.

Sedangkan di Kota Larantuka sendiri, para penduduknya menggunakan bahasa nagi (perpaduan antara bahasa Indonesia dengan Melayu/Malaka). Hampir semua orang Lamaholot generasi sekarang dapat menguasai beberapa bahasa itu, khususnya bahasa nagi.

Mentalitas orang Lamaholot

Bagi budaya Lamaholot, keberadaan suku sangat menentukan keberlangsungan hidup individu. Hidup setiap individu sebagian besar dicurahkan bagi suku. Kenyataan ini sangat mempengaruhi cara pandang atau cara pikir orang Lamaholot.

Umumnya orang Lamaholot akan berpikir, berkehendak, bertingkah laku secara kolektif. Artinya berbuat sesuatu karena didasari oleh pemahaman bahwa manusia tidak mungkin hidup sendirian atau tidak dapat berbuat sesuatudari dirinya sendiri. Manusia membutuhkan orang lain untuk membuktikan bahwa ia ada.

Dalam hal ini kebersamaan merupakan tekanan utama sebagai suatu suku, kelompok dan masyarakat. Maka, yang dipentingkan dalam suku, kelompok atau masyarakat adalah kepentingan, kerukunan, kebersamaan, keharmonisan dalam suku atau kelompok tersebut.

Sebagai contoh, dalam budaya Lamaholot perkawinan seseorang dalam sebuah suku merupakan pesta suku tersebut. Karena merupakan pesta suku, maka penyelenggara pesta tersebut adalah semua anggota suku.

Dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau, setiap anggota wajib menyumbang sesuatu untuk suku, sebab kalau tidak memberi sesuatu, betapa malunya orang itu. Maka, entah bagaimana caranya orang harus memberi sesuatu, tidak peduli hal tersebut diperoleh dengan cara pinjam-meminjam dan sebagainya.

Mentalitas yang demikian sangat dipengaruhi oleh jiwa kekerabatan yang ditopang oleh ikatan darah dan tanah leluhur. Jiwa kekerabatan tersebut muncul dari struktur perkampungan atau tempat tinggal, yang umumnya dikelompokkan berdasarkan suku dan garis keturunan.

Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang anggota suku sangat berpengaruh pada anggota lainnya. Bila ada perbuatan salah yang dilakukan oleh salah seorang anggota suku, maka kelompok suku secara keseluruhan memiliki kewajiban untuk menegur, bahkan menghukum orang yang bersangkutan. Sebab kesalahan seseorang menjadi aib bersama.

Berkaitan dengan rasa bersalah itu, ada dua penting yang harus diperhatikan, yaitu tentang rasa malu dan kejujuran. Rasa malu dalam hal ini berkaitan dengan kesadaran seseorang akan orang lain serta apa yang orang lain pikirkan tentang dirinya.

Dalam hal ini, orang yang bersalah diwajibkan untuk membayar denda dalam wujud gading, atau uang yang seharga dengan gading, atau menurut kesepakatan kedua belah pihak. Denda ini dimaksudkan sebagai tanda bahwa orang yang bersalah bersedia menanggung kesalahan dan memikul akibat dari perbuatannya.

Rasa malu ini tidak hanya terjadi karena sesorang berbuat salah, tetapi juga karena seseorang tidak dapat berbuat sesuatu yang baik seperti yang dilakukan oleh orang lain. Orang merasa kehilangan gengsi atau harga diri, di hadapan kelompok atau sukunya, meskipun sebenarnya suku tidak menuntut demikian.

Sedangkan mengenai kejujuran, hal ini merupakan hal utama dalam sebuah suku. Seorang anggota suku yang kedapatan mencuri, misalnya, akan mendapat hukuman bahkan ada suku yang bisa membunuh orang tersebut.

Hal ini sangat ditekankan untuk menunjukkan bahwa setiap anggota suku memiliki harga diri, dan bahwa berbuat sesuatu yang menimbulkan aib merupakan penghinaan bagi diri sendiri dan terlebih bagi anggota suku.

Seorang anak sejak kecil sudah ditanamkan bahwa betapa suku memegang peranan penting dalam perkembangan hidupnya. Dengan pola penanaman yang demikian, jelaslah seorang anak dalam perkembangan selanjutnya memilikitanggung jawab moral terhadap sukunya. Maka tidaklah heran bahwa ia akan berpikir bagaimana memberikan sesuatu yang terbaik bagi suku.

Selain cara pandang yang kolektif, orang-orang Lamaholot juga memiliki cara pandang yang kosmologis. Cara pandang kosmologis artinya melihat keberadaan seluruh alam atau kosmos bukanlah sebagai sebuah obyek melainkan sebuah subyek yang sama dengan dirinya. Manusia merasa bersatu dengan alam.

Bila manusia menjamin keselarasan dengan alam akan terwujudlah kebaikan, kemakmuran, kedamaian bagi manusia dan kosmos. Namun bila tidak, akan terjadi malapetaka, bencana, perang dan sebagainya. Maka setiap anggota suku harus menciptakan keharmonisan dengan alam semesta (kosmos), baik dunia indrawi, dunia roh-nenek moyang, roh-roh dan Yang Tertinggi.

Kepercayaan akan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam tampak dalam sikap orang-orang lamaholot terhadap benda-benda tertentu, seperti barang-barang warisan nenek moyang, pohon-pohon besar yang dianggap keramat, atau tempat-tempat yang dianggap angker dan berbahaya.

Tempat-tempat tersebut diyakini sebagai tempat tinggal para nenek moyang serta roh-roh. Karena itu, orang sering datang membawakan persembahan untuk nenek moyang dan roh-roh. Berada di tempat itu orang harus bersikap sopan dan hormat. Rasa persatuan dengan dunia mistis ini membuat orang merasa tenteram, aman dan tidak mengalami gangguan.

Selain benda-benda tertentu, kejadian-kejadian yang luar biasa juga sangat berpengaruh terhadap sikap manusia. Kejadian-kejadian itu antara lain gempa bumi, gerhana bulan, bunyi burung-burung tertentu.

Bila kejadian-kejadian alam itu benar menimpa manusia, orang akan berpikir bahwa penyebab dari hal tersebut adalah ketidakharmonisan antara manusia dengan alam. Maka orang harus mengadakan upacara pemulihan untuk memperbaiki situasi sehingga ketentraman kembali terwujud.

Keprihatinan bersama

Seiring dengan perkembangan zaman, mentalitas orang-orang Lamaholot tersebut di atas mulai pudar. Nilai kejujuran dan rasa malu mulai mengalami perubahan dan cenderung mengarah pada penurunan atau degradasi karena semakin banyaknya orang yang tidak berlaku jujur.

Banyak orang sudah tidak mempunyai rasa malu lagi, entah karena apa? Pengontrolan adat lewat upacara-upacara syukuran, permohonan dan pemulihan demi keseimbangan kosmos sedikit banyak telah terganti dengan ajaran agama, yang menekankan keharmonisan hidup dengan sesama.

Ide keharmonisan atau kelestarian lingkungan hidup telah disesuaikan dengan ilmu pengetahuan modern dan bukan lagi dengan mitos. Padahal, kalau melihat situasi zaman sekarang yang sudah menunjukkan dekadensi moral dan degradasi nilai-nilai, mentalitas berpikir secara kolektif dan berpikir secarakosmologis akan memberikan nilai-nilai kehidupan yang berarti bagi hidup manusia pada umumnya.

Lalu pertanyaan bagi kita orang-orang Lamaholot; apa yang harus diperbuat agar mentalitas itu tetap ada dan bertumbuh dalam diri orang-orang Lamaholot?
Sumber: Pos Kupang, 14 Nov 2006
SEBARKAN ARTIKEL INI :

1 comment:

  1. Saya merinding membaca tulisan ini. Tanpa bermaksud menyepelekan penulisnya, saya harus jujur mengatakan bahwa tulisan ini menyesatkan. Secara teknis, hal itu disebabkan oleh literatur yang dirujuk. Literatur yang dirujuk ditulis oleh orang luar yang tidak mengerti budaya Lamaholot secara utuh. Ketika penulis artikel ini menggunakan defenisi suku menurut F. A. E. van Wouden dari Buku berjudul Klen, Mitos, dan Kekuasaan (Grafiti Press: Jakarta, 1985), yang mnyebut suku adalah klen organisasi sosial yang bertugas dalam upacara pengorbanan hewan dalam rumah adat (koten-kelen-hurit-maran, maka pertanyaan saya adalah bagaimana dengan klen-klen di luar Koten-kelen-hurit-maran yang oleh orang lamaholot juga disebut sebagai suku? Apakah klen-klen di luar koten-kelen-hurit-maran itu bukan suku? Atau ketika suku dihubungkan dengan sistem kakang; bagaimana dengan klen-klen dari kelompok paji watan lema? apakah klen-klen dari paji watan lema bukan suku? Saya orang lamaholot, dan menurut saya suku secara fundamental berarti kolektivitas sosial yang dibangun berdasarkan kesadaran akan kesamaan asal-usul genealogis yang ditetapkan berdasarkan garis patrilineal. Jadi ada dua hal yang mendasar berkenaan dengan suku, yaitu kesadaran historis genealogis dan prinsip patrilinial. Saya kira masih banyak hal yang kurang jelas dari tulisan ini. Tulisan ini mencerminkan bahwa tidak ada kajian yang mendalam dan serius mengenai tema tulisan itu sendiri. Tapi saya salut dengan tulisan ini karena menyadarkan pada kita bahwa sudah saatnya kita berkata tidak pada kajian atas lamaholot yang dilakukan oleh outsiders, apa lagi kajian yang sudah tua seperti ata kiwan-nya Vatter. Maaf dan terima kasih. Kanis Ehak Wain

    ReplyDelete

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger